“Adalah sumber kegembiraan melihat ziarah perdamaian ini … tidak pernah terputus dan terus tumbuh,” kata Paus Fransiskus dalam pesan yang ditujukan kepada Kardinal Carlos Osoro Sierra, Uskup Agung Madrid, dan kepada para peserta Pertemuan Doa untuk Perdamaian.
Pertemuan Doa untuk Perdamaian yang dilaksanakan oleh Komunitas Sant’Egidio itu didirikan 33 tahun lalu dan tahun ini berlangsung di Madrid, dari 15-17 September 2019, dengan merefleksikan tema “Perdamaian tanpa batas.”
Paus memulai pesannya dengan mengenang rontoknya Tembok Berlin 30 tahun lalu, saat “berakhirnya perpecahan menyayat hati dari benua Eropa yang menyebabkan begitu banyak penderitaan.” Hari itu, kata Paus, membawa “perdamaian dan harapan baru” di seluruh dunia. Kita yakin, lanjut Paus, “doa untuk perdamaian dari begitu banyak putra dan putri Allah ikut menyebabkan kerontokan itu.”
Paus kemudian merujuk kisah biblis tentang Yerikho, yang mengingatkan kita bahwa “tembok-tembok roboh kalau mereka“ dikepung ”dengan doa, bukan dengan senjata, dengan kerinduan akan perdamaian, bukan dengan penaklukan, karena yang dimimpikan adalah masa depan yang baik untuk semua.” Karena alasan ini, lanjut Paus, “selalu perlu berdoa dan berdialog dalam perspektif perdamaian” karena “Tuhan mendengarkan doa umat-Nya yang beriman.”
Selama dua dekade pertama abad ini kita telah melihat “karunia Tuhan yakni perdamaian” disia-siakan, dengan peperangan dan “pembangunan tembok-tembok dan penghalang-penghalang baru,” kata Paus. “Menutup ruang dan memisahkan orang adalah perbuatan bodoh,” lanjut Paus. Itu kebodohan bagi kebaikan manusia dan kebaikan dunia, kata Paus. Dunia kita, rumah kita bersama, kata Paus, “menuntut cinta, perhatian, rasa hormat … sama seperti umat manusia menuntut perdamaian dan persaudaraan.”
Kalau “terbok-tembok memisahkan,” lanjut Paus, rumah bersama “perlu membuka pintu agar bisa berkomunikasi, bertemu, bekerja sama untuk hidup bersama dalam perdamaian, menghormati dan menghargai keragaman serta mempererat ikatan tanggung jawab.”
Paus lalu menyatakan kedekatan dengan semua yang ikut pertemuan itu, dari berbagai Gereja Kristen dan berbagai agama di seluruh dunia. Doa ini, kata Paus, “menyatukan kita semua, dalam perasaan yang sama, tanpa kebingungan,” karena, jelas Paus, perdamaian adalah keinginan bersama dalam berbagai agama dan tradisi yang berbeda.
Paus mengenang penandatanganan “Dokumen tentang Persaudaraan Manusia, untuk Perdamaian Dunia dan Hidup Bersama” di Abu Dhabi bulan Februari. Bersama Imam Besar Al-Azhar, kata Paus, “kami menegaskan bahwa ‘agama-agama tidak pernah boleh menghasut perang, sikap kebencian, permusuhan dan ekstremisme, juga tidak boleh menghasut kekerasan atau penumpahan darah’.”
Akhirnya, Paus mendesak semua peserta untuk bersama memekikkan, “dengan satu hati dan satu suara” bahwa “perdamaian tidak punya batas.” Dengan satu hati dan dari hati, kata Paus, karena “di dalam hatilah perasaan-perasaan perdamaian dan persaudaraan harus ditaburkan.” (PEN@ Katolik/pcp berdasarkan Vatican News/Francesca Merlo)