Dengan mengucapkan terima kasih kepada Yayasan Centesimus Annus Pro Pontifice karena telah mengundangnya untuk berbicara, Patriark Konstantinopel Bartolomeus I memulai pidatonya dalam pertemuan Centesimus Annus dengan mengatakan bahwa prinsip-prinsip Kristen sendiri dapat menyembuhkan penyakit ekologi, teknologi dan politik.
Centesimus Annus yang berarti “seratus tahun” adalah ensiklik yang ditulis Paus Yohanes Paulus II tahun 1991, pada saat perayaan ke-100 dari Rerum Novarum. Ensiklik ini merupakan bagian dari tulisan mengenai Ajaran Sosial Katolik, yang bermula dari Rerum Novarum, yang dikeluarkan oleh Paus Leo XIII pada 1891, dan terutama Perjanjian Baru.
Menurut laporan Suster Bernadette Mary Reis FSP dari Vatican News, Patriark itu berbicara dalam pertemuan 26 Mei 2018 dengan menggunakan tema konferensi, “Kebijakan Baru dan Gaya Hidup di Era Digital,” sebagai kerangka presentasinya.
Patriark itu mengakui bahwa “kita menghadapi krisis serius dan hasil sosialnya dalam skala global” dan mendefinisikan krisis itu sebagai salah satu “krisis solidaritas” atau “desolidarisasi,” karena krisis itu telah dipengaruhi oleh bidang ekonomi dan ekologi, sains dan teknologi, serta masyarakat dan politik.
Dengan terciptanya lebih banyak kebutuhan yang tak terpuaskan, lanjut patriark itu, tampaknya warisan spiritual umat manusia sedang dimusnakan. Teknologi, tegasnya, telah membuktikan dirinya tidak mampu menyelesaikan masalah seperti “ketidakadilan sosial, perceraian, kekerasan, kejahatan, kesepian, fanatisme dan benturan peradaban.”
Karena masalah-masalah itu bukan “sifat teknologi,” maka mereka “tidak dapat diselesaikan melalui akumulasi lebih banyak informasi.” Dengan mengutip ensiklik dari Dewan Suci dan Agung Gereja Ortodoks Agung yang berkumpul di Kreta bulan Juni 2016, patriark itu mengatakan bahwa “pengetahuan ilmiah tidak memotivasi kehendak moral manusia.”
Akhirnya, patriark itu menarik perhatian pada ketegangan mengenai hak asasi manusia yang telah menyebabkan individualisme ekstrim di Barat dan penolakan hak asasi manusia dalam “peradaban-peradaban non-barat” sebagai reaksi terhadap Barat.
Dia pun melanjutkan bahwa iman kita yang “memperkuat komitmen kita untuk melakukan aksi kemanusiaan, dan imanlah yang memperluas kesaksian kita tentang kebebasan, keadilan dan perdamaian.”
Visi Tradisi Ortodoks menggambarkan manusia sebagai “makhluk hidup untuk didewakan, yang memberikan kepada manusia martabat tertinggi.” Visi itu menjadi inspirasi untuk melihat “krisis multifaset” (beraneka ragam segi) ini sebagai “kesempatan untuk melatih solidaritas,” tegasnya.
Dia pun menyatakan bahwa “Gereja-Gereja kita dipanggil untuk berfungsi sebagai tantangan positif bagi individu dan masyarakat, dengan memberikan model kehidupan alternatif dalam budaya kontemporer yang memberikan karunia berharga bagi umat manusia, tetapi pada saat yang sama tampaknya mendorong orang untuk hidup bagi diri mereka sendiri, dengan mengabaikan orang lain yang hidup bersama mereka dalam dunia yang sama.”(paul c pati berdasarkan Vatican News)