Selasa, November 26, 2024
27.3 C
Jakarta

Lebih dari Sekedar Talenta

Talenta

MINGGU BIASA KE-33

19 November 2017

Matius 25: 14-30

“… Karena itu aku takut dan pergi menyembunyikan talenta tuan itu di dalam tanah…” (Mat 25:25)

Frater Valentinus Bayuhadi Ruseno OP

Talenta adalah satu dari sedikit kata-kata dari Kitab Suci yang telah menjadi bagian dari bahasa kita sehari-hari. Talenta sering diartikan sebagai bakat yang diberikan Tuhan atau keterampilan yang unik seperti memiliki suara yang indah, kemampuan memecahkan persoalan matematika yang rumit, atau kemampuan berolahraga, namun belum sepenuhnya dikembangkan. Dengan demikian, kita dipanggil untuk menggunakan dan memanfaatkan talenta kita untuk mencapai potensi maksimal kita dan memberikan kontribusi pada kemajuan masyarakat.

Kembali ke Injil kita, kata talenta memiliki artian yang sedikit berbeda. Bahasa Yunani “talanta” dalam Injil kita hari ini berarti jumlah uang yang luar biasa besar. Mungkin, talenta itu bernilai lebih dari lima belas miliar rupiah dalam perhitungan saat ini. Dari perumpamaan kali ini, kita tahu sang tuan adalah sangat kaya sehingga dia bisa dengan mudah mempercayakan talentanya pada para hambanya. Dan ketiga hamba tersebut diharapkan bisa memanfaatkan talenta yang mereka terima, dan menghasilkan lebih banyak talenta. Dalam waktu singkat, kedua hamba pertama menggandakan talenta, dan sang tuan pun memuji mereka. Hamba ketiga tidak melakukan apapun, dan mengubur talentanya. Hal ini menyulut kemarahan sang tuan dan dia langsung menghukum sang hamba karena ketidakmampuan dan kemalasannya. Kita pun setuju dengan keputusan sang tuan, dan menarik pelajaran dasar dari perumpamaan ini bahwa kita juga harus mengembangkan “talenta” kita dan menghindari kemalasan.

Namun, tidak seperti perumpamaan tentang sepuluh gadis (kita mendengarkan hari Minggu yang lalu), Yesus tidak secara eksplisit menyebutkan bahwa kita harus meniru sang tuan atau dua hamba yang sukses. Ada sesuatu yang lebih rumit di sini. Dengan membaca perumpamaan hari ini lebih seksama, kita mungkin bertanya apakah sungguh hamba ketiga malas, atau ada hal yang lain? Jika dia memiliki begitu banyak uang di tangannya, mengapa dia menguburkannya dan menunggu penghakiman yang berat? Dia bisa saja lari dengan uang itu ke tempat yang jauh dan mencari keuntungan di tempat lain? Jawabannya terungkap dalam pembelaan hamba ketiga ini. Hamba tersebut sadar bahwa tuannya adalah manusia yang kejam yang “menuai di mana dia tidak menabur, dan mengumpulkan di mana dia tidak menanam.” Ini berarti bahwa dia tahu bahwa tuannya memperoleh kekayaannya melalui cara-cara yang tidak jujur. Anehnya, alih-alih menyangkal tuduhan tersebut, dengan angkuh, sang tuan mengakui kesalahannya. Dia adalah manusia yang kejam dan tidak jujur, dan mungkin, dia ingin para hambanya meniru cara-cara tidak jujurnya dalam melipatgandakan talenta mereka. Dengan demikian, untuk membungkam hambanya yang jujur ini, dia melemparkannya ke dalam kegelapan yang paling gelap.

Hamba ketiga mengatakan bahwa dia takut dan karenanya, dia mengubur talenta tersebut. Dia mungkin takut pada tuannya, tapi mungkin dia lebih takut kepada Tuhannya yang benar. Dengan melakukan perbuatan tidak jujur, dia melakukan ketidakadilan, dan membuat orang lain menderita. Dia mungkin dihakimi sebagai hamba malas, tapi dia berpihak kepada kebenaran. Meski hidup dalam budaya kebohongan, ia tetap teguh dalam kejujurannya dan apa yang benar.

Mungkin interpretasi perumpamaan kali ini tidak biasa, tapi pelajaran yang kita petik lebih radikal dan mendalam daripada hanya sekedar mengembangkan talenta kita. Melalui hamba ketiga, Yesus mengundang kita untuk menjadi tanda Kerajaan Allah di dunia. Dengan merajalelanya hoax dan kebohongan di sekitar kita, kita diajak untuk mencari dan berbicara kebenaran. Dengan begitu banyaknya ketidakadilan dan kemiskinan, kita dipanggil untuk melakukan apa yang benar namun tetap berbelas kasih. Izinkan saya mengakhiri refleksi ini dengan mengutip Uskup Agung Oscar Romero, “Sebuah Gereja yang tidak memprovokasi suatu krisis, sebuah Injil yang tidak meresahkan, sebuah Firman Tuhan yang tidak menantang hati nurani siapa pun, Injil macam apakah itu? Pewarta yang menghindari isu-isu sensitif agar ia selalu aman, dia tidak menerangi dunia.”

 

 

Komentar

Tinggalkan Pesan

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Terhubung ke Media Sosial Kami

45,030FansSuka
0PengikutMengikuti
75PengikutMengikuti
0PelangganBerlangganan

Terkini