Sudah 100 tahun Suster-Suster Fransiskus dari Perkandungan Tak Bernoda Bunda Suci Allah (Sororum Franciscalium ab Immaculata Conceptione a Beata Matre Dei, SFIC) melayani para pasien penyakit kusta di Rumah Sakit Kusta (RSK) Alverno Singkawang. Karya mereka diawali oleh para imam dari Saudara Dina Kapusin yang didirikan oleh Santo Fransiskus dari Asisi.
Lima suster SFIC pertama datang di Singkawang tahun 1906 atas permintaan para imam Kapusin yang memulai misi pelayanan bagi para penderita kusta setahun sebelumnya. “Kehadiran mereka dinantikan banyak orang miskin yang sakit dan terlantar serta anak-anak yang dibuang, dan sekelompok orang kusta. Para imam secara berkala memberi pelayanan rohani kepada mereka,” kata Mgr Agus saat membacakan sejarah singkat rumah sakit pada Misi Syukur 100 Tahun Kehadiran Pelayanan Rumah Sakit Kusta (RSK) Alverno Singkawang, 30 September 2017.
Mengingat Suster Cayetana van Tiel SFIC setiap hari berjalan kaki dari Singkawang untuk merawat mereka yang tinggal terasing pada pondok-pondok kayu beratap daun di hutan sekitar Gunung Sari dan setiap sore pulang ke komunitas setelah sterilkan diri di ruang kecil yang dibangun oleh misi di situ, Pastor Beatus Bayens OFMCap yang saat itu Kepala Paroki Singkawang menganjurkan agar suster tinggal sekitar rumah sakit.
Maka 14 November 1925, pastor itu memberkati Biara Santo Fransiskus Asisi dan Suster Laurentiana van den Horst SFIC, Suster Cayetana van Tiel SFIC, dan Suster Ursula Bongers SFIC tinggal di situ dan setiap hari merawat dan melayani pasien.
Sampai saat ini, menurut suster provinsialnya, Suster Irene SFIC, para suster tetap meneruskan teladan para misionaris yakni “komit dengan pelayanan demi kemajuan atau keselamatan manusia yang butuh pelayanan, terutama yang terpinggirkan dan terasing yaitu penderita lepra atau kusta.” Bahkan, ceritanya, tahun 1939 Suster Ursula SFIC terjangkit dan harus diisolasi.
Karena waktu itu kusta merupakan penyakit sangat ditakuti, maka dibangun pagar sekeliling kompleks untuk mengasingkan diri dari orang luar. Kesunyian akibat isolasi menjadi tantangan sangat berat bagi para suster dan pasien. Mereka tidak berhubungan dengan dunia luar.
Dalam kaitan dengan Pesta Santo Fransiskus dari Asisi setiap tanggal 4 Oktober, Suster Irene SFIC membenarkan bahwa Spiritualitas Santo Fransiskus dari Asisi menjadi dasar pelayanan para susternya. Suatu hari, menurut sebuah catatan, Bapa Spiritualitas para Fransiskan itu bertemu penderita kusta. Dengan rasa muak ia turun dari kudanya, memberi uang dan memaksa dia mencium tangannya. Namun, orang kusta itu memberikan salam damai dan Fransiskus merasakan perubahan mendalam dalam dirinya. “Apa yang mengerikan, menjadi manis bagi jiwa raga,” tulis Fransiskus dalam wasiatnya.
Spiritualitas Fransiskan dibangun atas fondasi “pertobatan” itu, sebagai tanggapan atas undangan Yesus untuk pengakuan dosa yang menggiring orang kepada hidup sakramental dalam persekutuan Gereja. Persekutuan mistik dengan Kristus membawa pribadi peziarah kepada persatuan dengan Allah. Dalam surat wasiat ia mengatakan kepada pengikutnya, “Pertobatan adalah syarat memperoleh keselamatan dari Allah … dari Dia, oleh Dia dan dalam Dialah segala pengampunan, segala rahmat dan kemuliaan untuk semua orang yang bertobat ……” (AngTBul XXIII:9).
Fransiskus mengalami pertobatan sejati yang mentransformasikan keseluruhan pribadinya. Sejak itu, dia melihat seluruh dunia tidak lagi dengan sikap (ingin) memiliki, melainkan hormat, respek dan keprihatinan mendalam. Dalam perspektif baru ini Fransiskus mengenali nilai-nilai lebih tinggi dan luhur, menemukan Allah saat melayani saudaranya dan orang-orang kusta. Pengalaman pahit-menjijikkan berubah menjadi sedemikian manis. Begitu menemukan Allah, Fransiskus mendengarkan Dia dengan penuh perhatian. Pertobatan bagi dirinya berarti perubahan dari hidup yang berpusat pada diri sendiri menjadi hidup yang berpusat pada Allah, menjadi pengalaman pertobatan dalam arti alkitabiah.
Sebagai tanggapan terhadap kebaikan-Nya, Fransiskus berniat melupakan dan memberikan diri secara total kepada Allah, dengan sepenuh hati dan konkret mengasihi sesama. “Facere poenitentiam” adalah keputusan untuk hidup bagi Allah dalam kontak konkret dengan orang-orang yang membutuhkan pertolongan. Itulah keputusan untuk mempraktekkan perintah Allah yang paling utama.(aop/mssfic)
Para suster SFIC bersama para pasien kusta