Reni Artii dari Kedutaan Besar Amerika di Jakarta memberikan apresiasi kepada SMAK Frateran Maumere (Smater) yang sudah lima tahun dipercayakan menjadi tuan rumah seleksi Program Bina Antarbudaya (The Indonesian Foundation for Intercultural Learning) dari Nusa Tenggara Timur wilayah Flores.
“Saya salut dengan Kepala Sekolah SMAK Frateran Maumere Frater M Polikarpus BHK yang tidak pernah berhenti merekrut peserta didik yang tiap tahun antusias mengikuti seleksi Program Bina Antarbudaya ini,” kata Reni yang didampingi Heidy Utami dari Kedutaan Besar Amerika di Jakarta.
Frater Polikarpus membenarkan bahwa program itu sudah memasuki tahun kelima di wilayah Flores. “Program Bina Antarbudaya ini sangat diidolakan oleh peserta didik SMA. Indikasi ini diperkuat dengan setiap tahun calon peserta program ini terus meningkat. Tahun 2017 ini ada 86 peserta didik yang mengikuti seleksi tahap pertama dan 40 peserta didik yang lolos untuk seleksi tahap kedua dan.”
Biarawan asal Maumere itu menjelaskan, “seleksi tahun ini masih didominasi oleh sekolah-sekolah dari Yayasan Mardiwiyata yakni SMAK Frateran Maumere, SMAK Frateran Ndao kabupaten Ende dan SMAK Frateran Podor, Flores Timur, sementara sekolah-sekolah di luar Yayasan Mardiwiyata belum ada respons.”
Diinformasikan bahwa di tahun 2015 Ochto Rensi Hena Ama dari Smater lolos dalam program itu dan belajar di Amerika Serikat selama satu tahun, tahun 2016, Melania Foris dan Veni Creata dari Smater juga lolos dan belajar di Amerika Serikat, dan peserta tahun 2017 dari SMAK Frateran Ndao Ende.
Meski demikian saat pengarahan kepada tim pewawancara, juri, observer Seleksi Tahap II dan III Program Bina Antarbudaya untuk tahun 2018 di Ruang Guru SMAK Frateran Maumere, 10 Juni 2017, Reni Artii mengakui bahwa peserta Program Bina Antarbudaya dari NTT masih minim wawasan internasional.
“Saya minta calon peserta program ini membekali diri dengan wawasan internasional, dengan banyak membaca, mendengarkan berita di televisi tentang pelbagai masalah sosial, politik, ekonomi, dan hal-hal penting yang terjadi di belahan dunia lain. Karena, berdasarkan fakta selama ini, ketika ditanya tentang hal-hal tersebut peserta didik yang mengikuti seleksi program ini tidak mampu menjawab,” katanya.
Menurut Koordinator Sending Chapter Denpasar Luh Yesi Candrika, wawancara itu mencakup kemampuan berbahasa Inggris dan kepribadian yang meliputi kualitas pribadi, visi dan prestasi, empati sosial, berjiwa nasional dan berwawasan internasional.
Bina Antarbudaya didirikan di Indonesia tanggal 2 Mei 1985 oleh Taufiq Ismail, Tanri Abeng, Irid Agoes, Kartono Mohamad dan Sophie Gunawan Satarie sebagai partner AFS Intercultural Program di Indonesia yang berkantor pusat di New York City, AS, dan memiliki partner di 60 negara di dunia.
Bina Antarbudaya adalah organisasi berbasis volunteer, non profit, non pemerintah yang menyelenggarakan pembelajaran antarbudaya dan memberikan kesempatan kepada siswa Indonesia untuk mengembangkan ilmu pengetahuan, pengalaman global dan keterampilan sebagai calon pemimpin masa depan. (Yuven Fernandez)