Senin, November 25, 2024
31.4 C
Jakarta

Uskup yang ditahbis jadi anggota waligereja, terima kuasa tahbisan penuh, pimpin jemaat

rob_arue1

Bulan Maret lalu, Uskup Agung Pontianak Mgr Agustinus Agus menahbiskan Uskup Sintang Mgr Samuel Otto Sidin OFMCap. Dalam Bulan Mei ini, tepatnya 19 Mei 2017 akan juga berlangsung pentahbisan Pastor Robertus Rubiyamoko sebagai Uskup Agung Semarang, dan nanti bulan Juli, Pastor Rolly Untu MSC akan ditahbiskan menjadi Uskup Manado.

Untuk lebih dalam mengenai uskup dan tahbisan uskup, baru-baru ini Paul C Pati dari PEN@ Katolik dan Arue mewawancarai Pastor Johanes Robini Marianto OP di Pontianak.

Pembicaraan dengan lulusan S3 bidang eklesiologi dari Universitas Santo Thomas Manila itu seputar seluk-beluk teologi mengenai uskup dan keuskupan.

PEN@ Katolik: Bagaimana keyakinan iman Gereja akan seorang uskup dan tahbisan uskup?

PASTOR JOHANES ROBINI MARIANTO OP: Sejak jaman Santo Ignatius Antiokhia, Gereja selalu dilihat sebagai persekutuan umat beriman yang dibaptis, atau yang percaya kepada Kristus, di bawah penggembalaan seorang uskup yang sah ditahbiskan dalam kerangka tujuan Ekaristi.Gereja mempunyai tiga unsur utama. Pertama, iman yang terwujud dalam baptisan. Kedua, hierarki dengan uskup sebagai gembala jemaat. Ketiga, Ekaristi. Di sinilah kerangka Konsili Vatikan II sesuai tradisi suci, bahwa komunitas dapat disebut Gereja secara penuh apabila memenuhi ketiga kriteria itu. Jika ada salah satu kriteria hilang maka mereka bukan disebut Gereja per se.

Untuk menjadi uskup secara sah, seseorang haruslah sudah imam, minimal jaman sekarang, karena dulu Santo Ambrosius dipilih secara aklamasi oleh umat di Milan, tanpa terlebih dahulu menjadi imam. Namun ini bukan praktek sekarang.

Saat ini, uskup adalah seorang imam yang dipilih secara sah oleh Tahta Suci, lalu menerima konsekrasi atau tahbisan sesuai ritus yang ada, salah satunya penumpangan tangan, dan paling tidak dihadiri oleh dua hingga tiga uskup yang mengkonsekrasikannya. Peraturan kuno sejak Konsili Nikea (325) itu berlaku sampai hari ini. Dengan tahbisan uskup, seseorang masuk dalam persekutuan atau kolegium para uskup dan berkat tahbisan uskup seseorang menerima kuasa tahbisan penuh dan lengkap, dan otomatis menjadi pemimpin jemaat di wilayah yang dipercayakan kepadanya.

Apakah setiap tahbisan uskup otomatis sah menjadikan seorang sebagai uskup?

Ada dua pengertian dalam tahbisan dan banyak sakramen lain dalam Gereja, yaitu keabsahan dan kelayakan. Keabsahan adalah legitimasi bahwa memang terjadi sebagaimana diinginkan oleh Gereja dan dengan demikian diakui sah oleh Gereja. Kelayakan artinya dianggap sah secara hukum dan de fakto sah, tapi tidak dianggap layak dilakukan atau diterimakan karena kekurangan satu dua unsur.

Uskup dalam Gereja Latin ditahbiskan sah apabila pengangkatannya dilakukan oleh Tahta Suci, ditahbiskan dengan ritus yang sah diakui Gereja Latin, dan dihadiri minimal 2-3 uskup konsekrator. Ini untuk menjamin keabsahan garis suksesi apostolik, yaitu peran uskup sebagai pengganti para Rasul.

Di abad II, ketika ada krisis bidaah Gnostik yang mengajarkan dualisme dunia ciptaan, yang material badaniah berlawanan dengan yang rohani (dunia rohani adalah yang asali dan nyata sedangkan dunia material adalah kejatuhan dan dosa), salah satu argumen yang membuktikan keabsahan sebuah komunitas gerejani adalah garis suksesi apostolik yang sah.

Yang bidaah diminta menuliskan para uskup mereka yang bisa dianggap berasal dari salah satu Rasul atau Gereja kuno, yang mendasarkan diri pada tradisi salah satu atau para Rasul. Dengan dijaminnya garis suksesi, maka dianggap tradisi iman dan moral (depositum fidei) bisa terjamin otentisitasnya.

Sedangkan kelayakan berdasarkan salah satu unsur, yang di luar keabsahan tidak terpenuhi. Keabsahannya tidak dipersoalkan, tapi amat disayangkan kalau tidak layak dilakukan, misalnya uskup ditahbiskan tanpa upacara yang dipersiapkan, umat yang hadir hanya segelintir, pengumuman tak diketahui publik. Sekali lagi, kelayakan tidak membatalkan keabsahan, namun pantas disayangkan, karena seharusnya bisa lebih baik dilakukan agar tahbisan yang sah menjadi layak.

Mungkinkah seseorang yang ditahbiskan sah, tapi tahbisannya tidak dianggap, menjadi pemimpin jemaat?

Dalam Gereja Latin Roma, salah satu unsur penting adalah persetujuan. Bahkan pengangkatan dilakukan Tahta Suci, oleh Paus. Bagi Gereja, tahbisan bukan hanya peristiwa rohani, melainkan memberikan kuasa tahbisan (sacra potestas) dan pengangkatan sebagai pemimpin jemaat lokal.

Apabila Paus tidak menyetujui, maka tahbisan itu bisa berarti dua. Pertama, tetap sah karena ditahbiskan oleh uskup yang telah menerima sakramen tahbisan dengan sah, tetapi si tertahbis tidak mendapatkan kuasa formal sebagai gembala jemaat. Dengan kata lain, kuasa kepemimpinannya tidak diakui dan dibekukan (suspend). Kedua, apabila tahbisan tetap dilakukan dan komunitas itu menganggapnya sah, meski Tahta Suci menganggap tidak mendapatkan persetujuan dan pengakuan, si tertahbis tidak bisa melaksanakan kuasa tahbisannya. Maka terjadilah skisma yaitu perpecahan dalam Gereja dengan akibat hukum ekskomunikasi atau dikeluarkan dari komunitas gerejani yang sah.

Contohnya, kasus komunitas Santo Pius X yang dikenal dengan Gereja Lefebvre. Setelah menahbiskan tujuh uskup yang belum disetujui Roma, komunitas Lefebvre dianggap pecah, terpisah, atau skisma dengan Gereja Katolik Roma. Tahbisannya tetap sah, karena ditahbiskan oleh uskup, yang sah ditahbiskan sebelumnya. Namun, kuasa tahbisannya dibekukan dan tidak boleh dijalankan dalam Gereja Roma. Mereka dianggap melawan ketaatan sehingga diekskomunikasi.

Kalau begitu, posisi tahbisan uskup dan uskup dalam Gereja Katolik Roma sangatlah penting!

Tahbisan uskup adalah tahbisan imamat penuh yang menjadikan seseorang sebagai pengganti sah para Rasul (dan tradisi Rasuli) dan sah sebagai pemimpin jemaat lokal. Ekaristi yang dirayakan pun menjadi sah dan membangun Gereja lokal. Gereja lokal, menurut Konsili Vatikan II, adalah pengejawantahan Gereja universal. Gereja universal hadir dalam setiap Gereja lokal yang berkumpul sekitar altar merayakan Ekaristi secara sah di bawah kuasa kepemimpinan uskup yang sah ditahbiskan.

Maka kehadiran Gereja secara konkret justru terlihat dan nyata dalam Gereja partikular yang tidak lain adalah keuskupan yang dipimpin seorang uskup. Dalam diri seorang uskup mengalir kuasa imamat lain, termasuk kuasa tahbisan diakonat. Maka imamat para imam bahkan kuasa tahbisan diakon bersumber dari kepenuhan tahbisan uskup. Itulah sebabnya yang boleh menahbiskan imam dan diakon hanyalah uskup. Dalam diri uskup, jemaat kristiani yang merayakan Ekaristi terbangun selamanya. Itulah sebabnya tahbisan uskup dan uskup sangatlah penting peranannya dalam Gereja.

Apakah seorang uskup ditahbiskan hanya untuk jemaat lokal yang ia pimpin?

Dengan tahbisan uskup, seorang pertama-tama menjadi pengganti para Rasul dan tradisi Rasuli. Layaknya para Rasul di jaman Tuhan Yesus, uskup menerima perutusan, teristimewa tugas pewartaan, pengudusan dan kepemimpinan jemaat Gereja. Tahbisan uskup menjadikan seseorang ikut serta dalam kepemimpinan gerejani.

Maka, meskipun kelihatannya dengan tahbisan itu dia menjadi de fakto pemimpin Gereja setempat atau keuskupan, namun karena tahbisan episkopalnya, dia bersama Pengganti Rasul Petrus (Paus) memikirkan dan memimpin seluruh Gereja.

Panggilan tahbisannya adalah kepemimpinan Gereja sebagai pengganti Para Rasul bersama dengan pengganti Petrus (Paus). Ini tampak dalam apa yang dikatakan Konsili Vatikan II sebagai kolegium Para Uskup bersama dan selalu bersama ketuanya, Paus. Secara praktis tampak apabila atas kehendak Paus mereka dikumpulkan dalam Sinode Para Uskup, dan paling nyata dalam Konsili Suci. Mereka adalah pemimpin yang ditahbiskan untuk Gereja universal bersama Paus sebagai ketuanya. Bahkan kuasa yang mereka jalankan di lokal keuskupannya adalah dalam kerangka perutusan Gereja universal.

Salah satu tugas Uskup adalah Magisterium atau pengajar yang sah tentang iman dan moral. Apakah maksudnya?

Tahbisan menjadikan seseorang mempunyai tiga tugas yakni kepemimpinan, kuasa menguduskan terutama lewat sakramen, dan pengajar. Magisterium di sini artinya pengajar yang sah menyuarakan pandangan komunitas. Artinya, ketika para uskup mengajarkan iman dan moral, maka mereka menyuarakan iman dan moral Gereja secara resmi (official) dan mewakili iman Gereja.

Sebenarnya banyak pihak bisa mengajarkan dan menyuarakan iman dan moral Gereja. Para teolog atau ahli ilmu teologi bisa mengajarkan ajaran Gereja. Kadangkala mereka lebih spesifik dan ilmiah. Namun, pendapatnya dan bahkan penelitian para teolog tidak dianggap suara resmi dari iman Gereja. Hanya para Uskup, yang masih bersatu dengan Paus dan tidak bidaah dan skismatik, menjadi suara iman dan moral Gereja yang resmi. Maka, mereka juga diberi kuasa untuk menilai dan membuat pernyataan dan pendapat iman dan moral. Tekanannya pada sifat keresmian dan sungguh menyatakan iman dan moral secara sah serta resmi dari Gereja.

Apakah uskup yang sudah ditahbiskan untuk sebuah keuskupan boleh dipindahkan?

Sekali lagi, keputusan untuk sebuah keuskupan dan uskup ada di tangan Tahta Suci. Itu salah satu kriteria keabsahan. Maka adalah hak prerogative Tahta Suci untuk menahbiskan bahkan memindahkan seorang uskup. Dasarnya, meski ditahbiskan dalam kerangka pemimpin jemaat setempat, namun sebenarnya peranan uskup adalah kepemimpinan Gereja universal, Gereja bersama ketuanya, Sri Paus. Maka, sebagai ketua dewan para uskup, Paus berhak memindahkan wilayah kegembalaan seorang uskup. Dan uskup tidak bisa keberatan, karena itu bagian dari kodrat tahbisannya sebagai gembala Gereja universal bersama dengan ketuanya yaitu Paus.

Kepemimpinan uskup di Gereja setempat harus dalam kerangka pelayanannya kepada Gereja universal. Penempatannya melalui tahbisan di sebuah komunitas setempat sebenarnya merupakan tugas untuk menggembalakan Gereja universal yang diwujudnyatakan dalam keuskupan lokal. Tidak ada uskup yang ditahbiskan hanya untuk sebuah tempat belaka (stabilitas loci). Kita tidak boleh mengecilkan kuasa tahbisan, fungsi dan peranan seorang uskup.

Bagaimana hubungannya seorang uskup dengan Paus?

Paus pertama-tama adalah seorang uskup. Dia uskup Keuskupan Roma yang dianggap primat. Dia juga pengganti Rasul Petrus, yang menurut keyakinan Gereja Roma adalah pemimpin dewan para Rasul dan pengganti para Rasul. Maka ada tiga kedudukan Paus: Uskup Keuskupan Roma, yang memiliki primat, pengganti Petrus sebagai ketua dewan para Rasul, dan gembala agung kaum beriman yang kuasanya bersifat langsung (immediate) dan tertinggi.

Maka, sebagai umat beriman Katolik, seorang uskup harus menjunjung tinggi kuasa Paus sebagai kuasa tertinggi dan primat, dan harus menerima dalam iman bahwa Paus adalah ketua dewan pengganti para Rasul (yaitu Uskup).

Apakah perbedaan antara uskup agung dan uskup suffragan?

Dalam posisi Hukum Gereja setelah Vatikan II, setiap uskup adalah pemimpin sah dan otonom di keuskupannya. Seorang uskup tidak boleh dicampur atau diintervensi kuasanya oleh uskup mana pun. Namun dalam hukum juga dikatakan, uskup agung atau metropolit (bahasa hukumnya) mempunyai kuasa yang lebih daripada uskup suffragan dalam wilayah gerejaninya: turun tangan apabila ada masalah urgen dan besar di sebuah keuskupan di wilayah gerejaninya, menunjukkan administrator apabila uskup suffragan sudah turun tahta atau meninggal, bahkan bisa menyelenggarakan konsili partikular dan sinode lokal wilayah gerenainya apabila ia mau. Namun posisi hukum itu bukan berarti bisa setiap saat melakukan intervensi bahkan campur tangan dalam wilayah keuskupan lain.

Bagaimana dengan Konferensi Uskup (waligereja) di sebuah negara?

Konferensi Uskup seperti Konferensi Waligereja Indonesia (KWI) bukan struktur di atas keuskupan. Konferensi Uskup adalah persekutuan para uskup karena kepentingan misi bersama. Mereka berkumpul karena wilayah negara, bahasa atau kepentingan misi bersama, sehingga pastoral bisa lebih baik di dalam prinsip kerjasama.

Paus Yohanes Paulus II di dalam Konstitusi Apostolik Apostolos Suos telah menetapkan aturan hukum untuk konferensi para uskup. Di dalamnya dikatakan bahwa Konferensi Uskup tidak menjadi lembaga di atas para uskup dan menggantikan hak dan kuasa para uskup yang sah dan otonom di wilayah keuskupannya.

 

Secara hukum tidak ada kewajiban hukum bahwa seorang uskup harus setuju dengan konferensi para uskup, kecuali yang dikatakan dalam Konstitusi Apostolik Paus Yohanes Paulus II, Namun sangat tidak layak apabila ia menentangnya karena dia juga termasuk bagian di dalam dan bahkan ikut serta dalam proses keputusannya.***

 

Artikel sebelum
Artikel berikut

Komentar

Tinggalkan Pesan

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Terhubung ke Media Sosial Kami

45,030FansSuka
0PengikutMengikuti
75PengikutMengikuti
0PelangganBerlangganan

Terkini