JAKARTA, Pena Katolik – Gereja Katolik Indonesia kembali kehilangan salah satu imam terbaiknya. Romo Fransiskus Xaverius Mudji Sutrisno, SJ dipanggil Tuhan di Rumah Sakit St. Carolus Jakarta Pusat, Minggu malam 28 Desember 2025. Romo Mudji adalah salah satu dosen filsafat terbaik yang pernah dimiliki Indonesia.
· Jezazah mendiang Romo Mudji akan disemayamkan di Kolese Kanisius Jakarta pada 29-30 Desember 2025.
· Misa Requiem akan diadakan pada tanggal 29 dan 30 Desember 2025 pukul 19.00 di Kapel Kolese Kanisius, Jakarta.
· Jenazahnya akan diberangkatkan ke Girisonta pada tanggal 30 Desember 2025 pukul 21.00.
· Pemakaman akan diadakan pada tanggal 31 Desember 2025, didahului dengan Ekaristi pukul 10.00 di Gereja Paroki lalu dilanjutkan dengan pemakaman di Taman Maria Ratu Damai, Girisonta.
Fulsuf dan Budayawan
Romo Mudji adalah seorang rohaniwan Katolik, filsuf, dan budayawan terkemuka Indonesia. Lahir di Solo pada 12 Agustus 1954, ia tumbuh dalam lingkungan yang kental dengan nilai nasionalisme dan budaya Jawa. Ayahnya, seorang guru, menanamkan rasa cinta tanah air sejak dini melalui diskusi-diskusi kebangsaan dan pengenalan terhadap seni wayang di Sriwedadi.
Pendidikan formalnya dimulai di SD Pangudi Luhur Solo, berlanjut ke Seminari Menengah Mertoyudan, hingga mendalami filsafat di STF Driyarkara. Dahaganya akan ilmu membawa Romo Mudji hingga ke Italia, di mana ia meraih gelar Doktor bidang Filsafat dari Universitas Gregoriana, Roma, pada tahun 1986. Ia juga sempat mendalami studi agama dan seni di Sophia University, Tokyo.
Sebagai seorang akademisi, Romo Mudji adalah Guru Besar di STF Driyarkara dan aktif mengajar di Program Pascasarjana Universitas Indonesia (UI) serta ISI Surakarta. Baginya, dunia pendidikan adalah “altar kehidupan” tempat ia mengabdikan diri selain di altar gereja.
Pengabdian Masyarakat dan Bangsa
Kepeduliannya pada persoalan bangsa sempat membawanya ke ranah praktis sebagai Anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) periode 2001-2003. Namun, kecintaannya pada dunia literasi dan pendidikan membuatnya memilih mengundurkan diri demi fokus mengajar. Selain itu, ia pernah terlibat dalam Komisi Kebenaran dan Persahabatan (2005-2006) serta menjadi tim penilai Penghargaan Kebudayaan Presiden RI.
Romo Mudji adalah pribadi yang produktif. Sejak tahun 1983, menulis telah menjadi ritual harian yang melahirkan puluhan buku mengenai filsafat, budaya, dan kritik sosial. Tak hanya melalui kata-kata, ia juga mengekspresikan perenungan spiritualnya melalui garis-garis sketsa. Ia dikenal sebagai pelukis yang rutin menggelar pameran untuk membagikan kisah perjalanan ritual dan intelektualnya.
Hingga kini, di usianya yang terus bertambah, Romo Mudji tetap dikenal sebagai sosok yang cerdas, kritis, namun tetap hangat. Melalui keterlibatannya dalam Borobudur Writers & Cultural Festival dan berbagai media massa, ia terus konsisten mengawal nalar budaya dan kemanusiaan di Indonesia.



