JAKARTA, Pena Katolik – Uskup Agung Jakarta, Kardinal Ignatius Suharyo mengingatkan bahwa demokrasi Indonesia berpotensi kehilangan arah ketika prinsip trias politika tidak lagi dijalankan demi kesejahteraan bersama, melainkan menyimpang menjadi praktik sarat kepentingan dan korupsi. Dalam kondisi demikian, menurutnya, yang lahir bukan keadaban publik, melainkan kebiadaban publik.
Pernyataan itu disampaikan Kardinal Suharyo saat membuka peringatan ulang tahun pertama PRAKSIS, Lembaga Riset dan Advokasi yang diinisiasi oleh Ordo Serikat Yesus Indonesia, di Hotel Novotel, Mangga Dua, Jakarta, Sabtu 13 desember 2025.
“Kata trias koruptika sungguh mengganggu nurani saya. Kalau itu benar terjadi, sebetulnya masyarakat kita sedang berjalan ke mana?” ujarnya.
Ia menegaskan bahwa politik sejak awal bertujuan mengupayakan kesejahteraan bersama. Dari kesejahteraan itulah keadaban publik seharusnya tumbuh. Namun, jika pilar-pilar demokrasi saling berselingkuh dan menyimpang dari perannya, yang muncul justru apa yang oleh sejarawan Sartono Kartodirdjo disebut sebagai pembiadaban publik.
Dalam refleksinya, Kardinal Suharyo merujuk pada Nota Pastoral KWI 2004 berjudul Keadaban Publik Menuju Habitus Baru Bangsa, yang menegaskan keadaban publik bertumpu pada tiga poros: negara, pasar, dan masyarakat warga. Negara bertugas menjamin kebaikan bersama melalui hukum, pasar berlandaskan prinsip keadilan (fairness), sementara masyarakat warga hidup dalam saling percaya dan kepatuhan pada aturan bersama.
“Kalau ketiga poros itu berjalan dengan baik, keadaban publik akan tercapai. Tetapi jika yang terjadi adalah perselingkuhan antarporos, kebiadaban publik yang akan muncul,” tegasnya.
Kanal Partisipasi Terbatas
Dalam kesempatan yang sama, tim peneliti PRAKSIS yang dipimpin Romo Angga Indraswara SJ bersama Andi Suryadi dan Maria Rosiana Sedjahtera memaparkan hasil penelitian kuantitatif mengenai keterlibatan politik warga muda Jakarta. Survei dilakukan terhadap 400 responden berusia 16–30 tahun di DKI Jakarta, dilengkapi dengan diskusi kelompok terarah (FGD).
Hasil penelitian menunjukkan adanya paradoks keterlibatan politik. Di satu sisi, warga muda memiliki kepedulian dan aspirasi politik. Namun, di sisi lain, mereka kesulitan menemukan kanal partisipasi yang aman, efektif, dan bermakna.
Hampir seluruh responden tidak memiliki afiliasi dengan partai atau organisasi politik. Partisipasi politik mereka terbatas pada penggunaan hak pilih saat pemilu dan aktivitas di media sosial.
Media sosial menjadi sumber utama informasi politik, tetapi diwarnai keraguan dan rasa takut akibat risiko perundungan daring, serangan buzzer, hingga kekhawatiran hukum.
Faktor ekonomi menjadi penghalang utama: tekanan kebutuhan hidup, sulitnya mencari pekerjaan, dan ketidakpastian ekonomi membuat politik dianggap jauh dari prioritas sehari-hari.
Aspirasi politik warga muda lebih banyak dialihkan ke aktivitas sosial, dukungan terhadap isu-isu viral, serta ekspresi simbolik di ruang digital. Namun, tanpa dukungan institusi dan kapasitas kewargaan yang memadai, aspirasi tersebut jarang berkembang menjadi keterlibatan politik berkelanjutan.
