JAKARTA, Pena Katolik – Societas Verbi Divini (SVD) atau Serikat Sabda Allah adalah nama salah satu serikat para imam dan bruder yang terbesar dalam Gereja Katolik. Kongregasi ini berkarya di lebih dari 79 negara. Untuk melaksanakan karya misi atau kerasulannya, setiap anggota dituntut untuk menguasai salah satu bahasa utama yakni Inggris atau Spanyol ditambah bahasa yang digunakan di negara destinasi karya.
Spanyol menjadi bahasa resmi di negara-negara tujuan karya kerasulan SVD termasuk di dalamnya, Spanyol. Argentina, Brazil, Bolivia, Nikaragua, Kosta Rika, Panama, Chili, Kolumbia, Kuba, Ekuador, Mexico, dan Paraguay. Oleh karena itu tidak heran jika seorang anggota SVD menguasai lebih dari dua bahasa termasuk bahasa negara asal. Dengan menguasai bahasa, komunikasi menjadi lebih mudah dan tidak memancing salah paham.
Mgr Paulus Budi Kleden SVD, sebagai contoh. Sebelum menjadi Uskup Agung Ende, dia adalah orang nomor satu di SVD dengan sebutan Superior Jenderal. Karena fungsi dan jabatannya, superior jenderal harus mengunjungi berbagai negara destinasi misi serikat. Karena bahasa itu penting dalam komunikasi tugasnya, tidak heran jika Mgr Budi Kleden SVD menguasai beberapa bahasa asing termasuk Inggris, Spanyol, Jerman, Portugis, dan Italia, di samping bahasa Indonesia sendiri.
Bagi SVD, komunikasi termasuk di dalamnya bahasa yang digunakan, berakar pada konteks komunikasi Allah kepada manusia melalui misteri inkarnasi di mana Sang Sabda (Yesus) menjadi manusia. Bertitik tolak dari kekuatan komunikasi inilah dipahami bahwa komunikasi termasuk bahasa di dalamnya merupakan jembatan perdamaian.
Dengan pengalaman 150 tahun sejak didirikan, SVD berbagi pengalaman kepada dunia tentang peran komunikasi dalam mewujudkan perdamaian. Seminar ini berjudul: Brigdes of Peace: Communication and Interfaith Dialogue – atau Jembatan Perdamaian: Komunikasi dan Dialog Antariman. Diskusi ini digelar dalam rangka peringatan 60 tahun Dokumen Nostra Aetate dan diselenggarakan Kantor Koordinator Komunikasi Generalat SVD, di Roma, Italia, Kamis (11/12/2025).
Nostra Aetate (1965–2025) merupakan sebuah deklarasi transformatif Konsili Vatikan II yang mendefinisikan ulang hubungan Gereja dengan agama-agama non-Kristen. Enam dekade berselang, kemanusiaan masih dihadapkan pada konflik, prasangka, dan polarisasi yang kerap berakar pada misinformasi. Sebagai pembicara dihadirkan pembicara dari Dikasteri (Kementerian) Dialog Antaragama yakni Rm Markus Solo Kewuta SVD dan Rm Bonaventura Mwenda, serta Sr Nina Benedikta Crapic FMA dari Dikasteri Komunikasi Vatikan.
Dalam diskusi terungkap bahwa komunikasi bukan sekadar alat teknis semata, melainkan sebuah “panggilan perjumpaan” (vocation of encounter). Diingatkan kembali semangat Nostra Aetate dalam terang transformasi digital, sekaligus menekankan urgensi menjadikan komunikasi sebagai jalan menuju kepercayaan, rekonsiliasi, dan perdamaian di tengah dunia yang terpecah.
Oleh Sr Nina FMA yang berasal dari Kroasia ditekankan tentang komunikasi sebagai“pilar kekuasaan keempat”. Para komunikator religius dituntut untuk menavigasi lanskap media hibrida dengan literasi AI dan kompetensi naratif. Untuk mewujudkan perdamaian, dalam era dominasi media sosial, storytelling (bercerita) harus digunakan untuk memulihkan martabat manusia dan menjembatani perpecahan.

Rm Bonaventura melihat adanya perubahan peta Geomisi yang berdampak pada akar komunikasi. Pada saat ini peta geomisi dunia berubah. Afrika dan Asia yang dulunya dipandang sebagai „daerah pinggiran“ kini menjadi pusat iman yang hidup. Para komunikator religius berasal dari negara Asia dan Afrika. Keberhasilan komunikasi diperlukan teologi otentik yang harus berakar pada kepekaan budaya, sebagaimana Yesus sendiri lahir di Betlehem, yang melambangkan kehadiran Tuhan di tengah budaya yang sederhana.
Dalam konteks inilah, Rm Markus Solo SVD, pejabat Vatikan satu-satunya dari Indonesia ini menekankan, dialog merupakan pencarian kebenaran bersama yang berakar pada kebebasan. SVD berkomitmen sebagai “pembangun jembatan” dan “pelintas batas” melalui dialog profetis, kenabian.
Komunikasi dengan penguasaan bahasa merupakan jembatan perdamaian bagi dunia dalam segala dimensinya, Komunikasi dan bahasa negara destinasi karya harus menjadi sarana storytelling yang disebarkan salah satunya melalui berbagai kanal digital untuk mengembalikan martabat manusia. Dalam posisi ini, dialog (bukan perdebatan) terjadi. Dengan terjadinya dialog atau perjumpaan, perdamaian sangat mungkin tercapai. (*)



