MERAUKE, Pena Katolik — Lembaga Adokasi Perempuan Merauke (eLADDPer), sebuah organisasi lokal yang fokus pada kesetaraan gender, meluncurkan dua film dokumenter perdana yang menyoroti kehidupan perempuan Papua Selatan, 24 November 2025. Film tersebut berjudul Mama Ibe, Perempuan Malind dari Matara yang menampilkan sosok perempuan asli Papua pembuat minyak kelapa VCO dari Kampung Matara, serta Perempuan Papua Selatan, Tanah Papua.
Peluncuran ini mendapat apresiasi dari Romo Pius Cornelius Manu, imam Keuskupan Agung Merauke. Ia mengaku terharu sekaligus bangga melihat karya para perempuan Papua yang mampu memanfaatkan teknologi sederhana untuk menghasilkan film dokumenter. “Dua karya ini menjadi contoh baik bahwa perempuan Papua berperan ganda dalam kehidupan sosial dan keluarga. Mereka belajar berdiskusi, mengenal alat digital, hingga mampu membuat film dokumenter sederhana yang sangat berarti,” ujarnya. Romo Pius menilai film tersebut menampilkan sisi kemanusiaan perempuan Papua Selatan dengan hasil yang luar biasa.
Menurut Romo Pius, keberhasilan ini tidak lepas dari dukungan program Amahuta Papua, Foker LSM Papua, dan Sandama Institut yang mendidik perempuan Papua agar melek digital. “Awalnya mereka tidak mengerti dunia digital, tetapi dengan membuka diri akhirnya bisa menampilkan karya yang luar biasa. Mereka bahkan memanfaatkan ponsel bukan hanya untuk berswafoto, melainkan untuk membuat film dokumenter yang bermanfaat,” tambahnya. Ia pun mengajak perempuan lain untuk belajar memanfaatkan teknologi secara positif dan berdaya guna.
Film dokumenter tersebut sebelumnya telah diputar di hadapan 25 orang di Susteran PBHK Kelapa Lima, Merauke, pada 22 November 2025. Acara itu juga mendapat apresiasi dari berbagai pihak. Petrus Albert Dewanto Talubun dari Perkumpulan Harmoni Alam Papuana menilai karya tim eLADDPer sangat spektakuler, sementara Paschalina Rahawarin, Direktur Yayasan Wasur Lestari Papua, memuji perjuangan perempuan kampung yang meski terbatas pengetahuan dan akses informasi, mampu menghasilkan karya yang menyentuh.
Pendiri eLADDPer, Harry Woersoek, menegaskan bahwa film dokumenter ini bertujuan membuka pikiran masyarakat agar luka dan penderitaan yang dialami perempuan Papua tidak terulang kembali. “Apa yang mereka alami adalah bagian dari hidup semua orang. Film ini menjadi pengingat sekaligus ajakan untuk peduli,” tutupnya. (Agapitus Batbual/Merauke)



