Kamis, November 20, 2025

Septuaginta: Terjemahan Yunani Pertama Kitab Suci Ibrani

ROMA, Pena Katolik – Septuaginta, sering disebut sebagai Perjanjian Lama dalam bahasa Yunani (sɛptjuədʒɪnt) atau “Terjemahan Tujuh Puluh”, merupakan terjemahan Yunani paling awal dari Kitab Suci Ibrani. Dokumen ini dikenal dengan singkatan LXX, merujuk pada angka Romawi untuk “70”.

Kisah tradisional mengenai asal-usul Septuaginta tercatat dalam Surat Aristeas kepada Philocrates. Diceritakan bahwa atas permintaan Raja Ptolemy II Philadelphus (285–247 SM), sebanyak 72 penerjemah Yahudi — enam dari tiap suku Israel — diminta untuk menerjemahkan “hukum orang Yahudi” ke dalam bahasa Yunani.

Para ahli Kitab Suci sepakat bahwa lima kitab pertama (Pentateukh) diterjemahkan dari bahasa Ibrani ke dalam Yunani Koine oleh komunitas Yahudi di Kerajaan Ptolemaik, khususnya di Alexandria, sekitar abad ke-3 SM. Kitab-kitab lainnya diyakini diterjemahkan pada abad ke-2 SM. Pada masa yang sama, muncul pula targum dalam bahasa Aram yang berfungsi sebagai terjemahan atau parafrasa Kitab Suci bagi umat Yahudi di periode Bait Allah Kedua.

Kebutuhan Umat

Pada masa itu, hanya sedikit orang Yahudi yang mampu berbicara, apalagi membaca, bahasa Ibrani. Sebaliknya, Yunani Koine dan Aram menjadi bahasa sehari-hari (lingua franca) komunitas Yahudi. Karena itu, Septuaginta hadir sebagai jawaban atas kebutuhan umat untuk memahami Kitab Suci dalam bahasa yang mereka gunakan sehari-hari.

Istilah Septuaginta berasal dari frasa Latin Vetus Testamentum ex versione Septuaginta Interpretum, ‘Perjanjian Lama dari versi tujuh puluh penerjemah’. Frasa ini sendiri diambil dari bahasa Yunani: Ἡ μετάφρασις τῶν Ἑβδομήκοντα (Hē metáphrasis tôn Hebdomḗkonta), yang berarti “Terjemahan Tujuh Puluh.”

Baru pada masa St. Agustinus dari Hippo (354–430 M), terjemahan Yunani Kitab Suci Yahudi ini mulai dikenal dengan istilah Latin Septuaginta. Hingga kini, singkatan LXX digunakan secara luas sebagai penanda karya monumental ini.

Septuaginta menjadi jembatan penting antara tradisi Yahudi dan dunia Yunani-Romawi. Ia membuka jalan bagi penyebaran Kitab Suci di luar komunitas Yahudi, sekaligus memberi pengaruh besar pada perkembangan teks-teks Kristen awal.

Sebagai terjemahan pertama Kitab Suci Ibrani ke dalam bahasa asing, Septuaginta tetap dikenang sebagai tonggak sejarah yang memperlihatkan bagaimana iman dan tradisi dapat melintasi batas bahasa dan budaya.

Sejarah

Menurut tradisi, Raja Ptolemy II Philadelphus, penguasa Yunani di Mesir, mengundang 72 penerjemah Yahudi dari Yerusalem ke Alexandria untuk menerjemahkan Tanakh (Kitab Suci Ibrani) ke dalam bahasa Yunani Koine. Kisah ini tercatat dalam Surat Aristeas kepada Philocrates dan diulang oleh tokoh-tokoh seperti Philo dari Alexandria, Josephus, bahkan Agustinus dari Hippo.

Dalam versi Talmud Babilonia, Raja Ptolemy menempatkan para penerjemah di ruang terpisah dan meminta mereka menulis ulang Taurat. Tradisi rabinik menyebut bahwa Allah menggerakkan hati mereka sehingga hasil terjemahan identik, meski dikerjakan secara terpisah.

Komunitas Yahudi Alexandria merayakan lahirnya Septuaginta dengan festival tahunan di pulau Pharos, lokasi mercusuar terkenal. Perayaan ini berupa piknik besar di pantai, dihadiri umat Yahudi dan pengunjung non-Yahudi.

Namun ada yang berpendapat, Septuaginta sebenarnya ditulis oleh komunitas Yahudi Alexandria dan kemudian diserahkan kepada Sanhedrin setempat untuk disunting dan disahkan.

Pentateukh (lima kitab Taurat) diyakini diterjemahkan pada abad ke-3 SM, dengan gaya Yunani Koine awal. Kitab-kitab lain menyusul dalam dua hingga tiga abad berikutnya, dengan kualitas terjemahan yang beragam: ada yang literal, ada yang parafrasa, bahkan interpretatif.

Septuaginta kemudian menjadi dasar bagi terjemahan ke bahasa Latin (Vetus Latina), serta ke bahasa Slavonik, Siria, Armenia Kuno, Georgia Kuno, dan Koptik, yang membentuk Perjanjian Lama dalam tradisi Kristen awal.

Bahasa dan Karakteristik

Septuaginta ditulis dalam Yunani Koine, dengan pengaruh idiom Semitik dari bahasa Ibrani dan Aram. Beberapa kitab, seperti Daniel dan Amsal, menunjukkan gaya Yunani yang lebih kuat. Terjemahan ini juga membantu memahami pelafalan Ibrani pra-Masoretik, meski tidak semua bunyi Ibrani memiliki padanan tepat dalam Yunani.

Salinan Septuaginta dari abad ke-4 M memuat kitab-kitab yang tidak ada dalam kanon Yahudi, seperti Mazmur Salomo, 1 Esdras, 3–4 Makabe, Doa Manasye, dan Mazmur 151.

Rabinik Yahudi menolak Septuaginta karena perbedaan dengan teks Ibrani, misalnya dalam Kitab Ayub dan terjemahan Yesaya 7:14, di mana kata ‘almāh (“perempuan muda”) diterjemahkan sebagai parthenos (“perawan”).

Namun, bagi Gereja Kristen, Septuaginta menjadi dasar Perjanjian Lama dalam bahasa Yunani. Gereja Katolik dan Ortodoks Timur memasukkan sebagian besar kitab Septuaginta ke dalam kanon mereka.

Komentar

Tinggalkan Pesan

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Terhubung ke Media Sosial Kami

45,030FansSuka
0PengikutMengikuti
75PengikutMengikuti
0PelangganBerlangganan

Terkini