Bacaan dan Renungan Rabu 26 November 2025, Pekan Biasa ke-XXXIV (hijau)

Bacaan I – Dan. 5:1-6,13-14,16-17,23-28

Raja Belsyazar mengadakan perjamuan yang besar untuk para pembesarnya, seribu orang jumlahnya; dan di hadapan seribu orang itu ia minum-minum anggur.

Dalam kemabukan anggur, Belsyazar menitahkan orang membawa perkakas dari emas dan perak yang telah diambil oleh Nebukadnezar, ayahnya, dari dalam Bait Suci di Yerusalem, supaya raja dan para pembesarnya, para isteri dan para gundik mereka minum dari perkakas itu.

Kemudian dibawalah perkakas dari emas dan perak itu, yang diambil dari dalam Bait Suci, Rumah Allah di Yerusalem, lalu raja dan para pembesarnya, para isteri dan para gundik mereka minum dari perkakas itu; mereka minum anggur dan memuji-muji dewa-dewa dari emas dan perak, tembaga, besi, kayu dan batu.

Pada waktu itu juga tampaklah jari-jari tangan manusia menulis pada kapur dinding istana raja, di depan kaki dian, dan raja melihat punggung tangan yang sedang menulis itu. Lalu raja menjadi pucat, dan pikiran-pikirannya menggelisahkan dia; sendi-sendi pangkal pahanya menjadi lemas dan lututnya berantukan.

Lalu dibawalah Daniel menghadap raja. Bertanyalah raja kepada Daniel: “Engkaukah Daniel itu, salah seorang buangan yang telah diangkut oleh raja, ayahku, dari tanah Yehuda?

Telah kudengar tentang engkau, bahwa engkau penuh dengan roh para dewa, dan bahwa padamu terdapat kecerahan, akal budi dan hikmat yang luar biasa. Tetapi telah kudengar tentang engkau, bahwa engkau dapat memberikan makna dan dapat menguraikan kekusutan. Oleh sebab itu, jika engkau dapat membaca tulisan itu dan dapat memberitahukan maknanya kepadaku, maka kepadamu akan dikenakan pakaian dari kain ungu dan pada lehermu akan dikalungkan rantai emas, dan dalam kerajaan ini engkau akan mempunyai kekuasaan sebagai orang ketiga.”

Kemudian Daniel menjawab raja: “Tahanlah hadiah tuanku, berikanlah pemberian tuanku kepada orang lain! Namun demikian, aku akan membaca tulisan itu bagi raja dan memberitahukan maknanya kepada tuanku.

Tuanku meninggikan diri terhadap Yang Berkuasa di sorga: perkakas dari Bait-Nya dibawa orang kepada tuanku, lalu tuanku serta para pembesar tuanku, para isteri dan para gundik tuanku telah minum anggur dari perkakas itu; tuanku telah memuji-muji dewa-dewa dari perak dan emas, dari tembaga, besi, kayu dan batu, yang tidak dapat melihat atau mendengar atau mengetahui, dan tidak tuanku muliakan Allah, yang menggenggam nafas tuanku dan menentukan segala jalan tuanku.

Sebab itu Ia menyuruh punggung tangan itu dan dituliskanlah tulisan ini. Maka inilah tulisan yang tertulis itu: Mene, mene, tekel ufarsin. Dan inilah makna perkataan itu: Mene: masa pemerintahan tuanku dihitung oleh Allah dan telah diakhiri; Tekel: tuanku ditimbang dengan neraca dan didapati terlalu ringan; Peres: kerajaan tuanku dipecah dan diberikan kepada orang Media dan Persia.”

Demikianlah Sabda Tuhan

U. Syukur Kepada Allah

MT Dan. 3:62-67

  • Pujilah Tuhan, hai matahari dan bulan, nyanyikanlah dan tinggikanlah Dia selama-lamanya. Pujilah Tuhan, hai segala bintang di langit, nyanyikanlah dan tinggikanlah Dia selama-lamanya.
  • Pujilah Tuhan, hai segala hujan dan embun, nyanyikanlah dan tinggikanlah Dia selama-lamanya. Pujilah Tuhan, hai segala angin, nyanyikanlah dan tinggikanlah Dia selama-lamanya.
  • Pujilah Tuhan, hai api dan panas terik, nyanyikanlah dan tinggikanlah Dia selama-lamanya. Pujilah Tuhan, hai kedinginan dan pembekuan, nyanyikanlah dan tinggikanlah Dia selama-lamanya.

Bacaan Injil – Lukas 21:12-19

Tetapi sebelum semuanya itu kamu akan ditangkap dan dianiaya; kamu akan diserahkan ke rumah-rumah ibadat dan penjara-penjara, dan kamu akan dihadapkan kepada raja-raja dan penguasa-penguasa oleh karena nama-Ku.

Hal itu akan menjadi kesempatan bagimu untuk bersaksi. Sebab itu tetapkanlah di dalam hatimu, supaya kamu jangan memikirkan lebih dahulu pembelaanmu.

Sebab Aku sendiri akan memberikan kepadamu kata-kata hikmat, sehingga kamu tidak dapat ditentang atau dibantah lawan-lawanmu. Dan kamu akan diserahkan juga oleh orang tuamu, saudara-saudaramu, kaum keluargamu dan sahabat-sahabatmu dan beberapa orang di antara kamu akan dibunuh dan kamu akan dibenci semua orang oleh karena nama-Ku.

Tetapi tidak sehelaipun dari rambut kepalamu akan hilang. Kalau kamu tetap bertahan, kamu akan memperoleh hidupmu.”

Demikianlah Injil Tuhan.

U. Terpujilah Kristus.

***

Bertahan

Kalimat penutup dalam perikopa ini bisa menjadi kata kunci yang terus menerus kita ingat dan kita lakukan. Bertahan menjadi cara dan sikap yang bisa dilakukan siapapun dan terhadap apapun.

Dalam hal ini, ‘bertahan’ menjadi sikap rohani sekaligus jasmani untuk memperoleh keselamatan. Bertahan bukan hanya sekedar strategi, tetapi merupakan sebuah doa atau keutamaan.

Ibarat dalam sebuah pertandingan, strategi menyerang menjadi andalan setiap kelompok. Serangan yang bagus akan mematikan lawan. Namun pelatih yang handal tidak akan pernah mengandalkan sepenuhnya serangan tajam dari penyerang.

Pelatih yang tahu bermain pasti justru akan memperkuat system pertahanan mereka. Sekuat apapun penyerang maju, tidak boleh melupakan kekuatan bertahan. Pertahanan menjadi dukungan utama para penyerang untuk maju.

Konteks injil sepertinya mengajak kita untuk menyiapkan pertahanan yang paling kuat. Saat terakhir adalah saat kita akan diserang habis-habisan, saat iman dan pengharapan kita diuji.

Bagaimana tidak? “Tetapi sebelum semuanya itu kamu akan ditangkap dan dianiaya; kamu akan diserahkan ke rumah-rumah ibadat dan penjara-penjara, dan kamu akan dihadapkan kepada raja-raja dan penguasa-penguasa oleh karena nama-Ku”. Bukan kah ini situasi yang mengerikan? Apakah menjadi pengikut Kristus memang harus demikian?

Hampir pasti setiap orang beriman akan mengalami tantangan itu. Yesus juga menghadapi itu. Apakah Yesus turun dari salib? Tidak. Dia bertahan sampai kesudahannya Persis dikatakan dalam injil “Hal itu akan menjadi kesempatan bagimu untuk bersaksi.” Itulah saat kita menjadi saksi, itulah saat yang tepat kita tahu seberapa dalam iman kita.

Syaratnya adalah membangun pertahanan yang kokoh. Dengan apa kita membuat pertahanan itu? Kalau kita berjuang sendiri, habislah pertahanan kita. Tetapi “Sebab Aku sendiri akan memberikan kepadamu kata-kata hikmat, sehingga kamu tidak dapat ditentang atau dibantah lawan-lawanmu”.

Itu dia sumber kekuatan pertahanan kita. Apa yang perlu kita lakukan? “Sebab itu tetapkanlah di dalam hatimu, supaya kamu jangan memikirkan lebih dahulu pembelaanmu.” Bahkan lebih mengerikan “kamu akan diserahkan juga oleh orang tuamu, saudara-saudaramu, kaum keluargamu dan sahabat-sahabatmu dan beberapa orang di antara kamu akan dibunuh dan kamu akan dibenci semua orang oleh karena nama-Ku.”

Pertanyaannya sederhana: apakah saya sanggup bertahan?? Jangan-jangan baru saja ide-ide kita yang bagus untuk mengembangkan paroki ditolak, kita sudah putus asa, tidak mau aktif lagi, merasa direndahkan. Jangan-jangan berhadapan dengan keluarga yang sakit, kita sudah beralih kepada kekuatan-kekuatan lainnya. Bertahanlah sebelum kita ditahan.

Doa Penutup Pujilah Tuhan, hai matahari dan bulan, nyanyikanlah dan tinggikanlah Dia selama-lamanya. Pujilah Tuhan, hai segala bintang di langit, nyanyikanlah dan tinggikanlah Dia selama-lamanya. Amin.

***

Santo Yohanes Berchmans, Pengaku Iman

Yohanes Berchmans lahir di kota Diest, Belgia Tengah pada tanggal 13 Maret 1599. Ayahnya yang tukang kayu itu bercita-cita agar Berchmans kelak menjadi orang yang berpangkat tinggi dan masyhur namanya. Dalam sikapnya yang tenang laksana air jernih tak beriak, Berchmans bercita-cita menuntut ilmu setinggi-tingginya. Ia mendapat pelajaran bahasa Latin dari Peter Emerich. Imam ini sering mengajaknya ke biara dan pastoran.

Pengalaman inilah yang mempengaruhi cita-citanya di kemudian hari yaitu menjadi seorang imam. Tetapi karena perusahaan ayahnya, mengalami kemunduran hebat dan ibunya sakit keras, ia dipanggil pulang ke rumah agar bisa membantu ayahnya dalam memperbaiki keadaan ekonomi keluarga. Ayahnya memutuskan untuk menghentikan studinya.

Mendengar keputusan ayahnya, ia diam tertegun sambil merenungkan nasibnya di kemudian hari. Ia lalu memutuskan untuk melanjutkan studinya atas tanggungan pribadi dan berjanji untuk makan roti kering saja dan hidup sederhana, asal cita-citanya tercapai. Ayahnya mengalah. Sambil mengikuti pelajaran di sebuah kolese umum, ia bekerja sebagai pelayan di gereja Katedral untuk memperoleh nafkahnya. Berkat kecerdasan serta kemauannya yang keras, ia selalu lulus dalam ujian dengan nilai yang gemilang. Ia bahkan selalu menjadi juara kelas. Teman-temannya sangat baik dan sayang padanya karena tabiatnya yang tenang dan periang. Kegemarannya adalah menjadi pelakon dalam setiap drama yang di pertunjukkan sekolah.

Ketika menginjak tahun terakhir studinya yaitu tahun retorika, ia pindah ke Kolese Yesuit di Malines pada tahun 1615. Hal yang menarik dia ke sana ialah semangat perjuangan dan kemartiran para misionaris Yesuit di Inggris. Tahun 1616, setelah mengalahkan ketegaran hati ayahnya, ia masuk novisiat Yesuit dan setahun kemudian ia dikirim ke Roma untuk melanjutkan studinya di sana. Dari sana ia mengirim surat kepada orang-tuanya: “Dengan rendah hati, aku berdoa untuk ayah dan ibu. Dan dengan segenap kasih-sayangku dan cintaku . . . saya ucapkan ‘selamat datang dan selamat tinggal’ kepada kalian, karena kalian mempersembahkan kembali aku puteramu, kepada Tuhan. Dia yang telah memberikan aku kepada kalian.”

Sebagai novis, Berchmans sangat mengagumkan. Hidup asketik dan tulisan-tulisan rohaninya sangat mendalam, sempurna, seperti tampak di dalam kalimat: “Menabung banyak harta dalam bejana yang kecil.” Sekali peristiwa ia membaca riwayat hidup Santo Aloysius. Pedoman yang diambilnya dari Aloysius ialah: “Jika saya tidak jadi orang suci di masa mudaku, maka tak pernah saya akan menjadi demikian.”

Tuhan memberinya waktu tiga tahun untuk mencapai apa yang diidamkannya. Dua hari sebelum pesta Santa Maria diangkat ke Surga, yaitu tanggal15 Agustus 1621, ia meninggal dunia dalam usia 22 tahun.

Meskipun dia meninggal dalam usia yang begitu muda, namun ia dinyatakan ‘kudus’ oleh Gereja karena ia menyempurnakan diri dengan melaksanakan tugas-tugas hariannya dengan sangat baik. Ia berhasil mencapai cita-citanya: menjadi seorang biarawan yang tekun melaksanakan tugas-tugas yang sederhana dengan sempurna penuh tanggung jawab, riang dan senang hati demi cinta akan Tuhan. Berchmans menjadi contoh teladan dan pelindung para pelajar.

Santo Silvester Gozzolini, Abbas dan Pengaku iman

Silvester lahir di Osimo, Italia pada tahun 1177 dari sebuah keluarga bangsawan kaya raya. Pada masa mudanya ia belajar ilmu hukum di Bologna dan Padua sampai selesai dan menjadi seorang ahli hukum di kota asalnya. Namun kemudian ia melepaskan jabatannya itu dan menekuni bidang teologi untuk menjadi imam di Osimo. Kemudian ia meninggalkan semua miliknya dan keramaian kota untuk menjalani kehidupan sebagai seorang pertapa yang miskin di Grotta (gua) Fucile.

Dari Fucile, ia pindah ke sebuah biara pertapaan di Monte Fano, Italia. Di sana jugalah ia kemudian pada tahun 1231 mendirikan sebuah biara pertapaan untuk menghimpun semua orang yang menjadi muridnya. Persaudaraan religius mereka terkenal dengan nama ‘Ordo Santo Silvester’. Mereka menghayati suatu cara hidup yang keras di bawah panduan aturan-aturan Santo Benediktus, tanpa pernah secara resmi menjadi cabang dari salah satu Ordo Benediktin. Di bawah pimpinan Silvester sendiri selama 36 tahun, Ordo Silvestrin ini berkembang sangat pesat. Selama itu ia berhasil mendirikan 25 buah biara di Italia. Ia wafat pada tanggal 26 Nopember 1261 dalam usia 90 tahun, dan dinyatakan ‘kudus’ oleh Paus Klemens VIII (1592-1605) pada tahun 1598.

Santo Leonardus Porto Morizio, Pengaku Iman

Leonardus lahir di Porto Morizio, Italia pada tanggal 20 Desember 1676. Pada umur 13 tahun, ia dipanggil ke Roma oleh Agustinus, pamannya untuk dididik di kolese Yesuit yang dipimpin oleh Santo Philipus Neri. Pamannya menginginkan dia menjadi dokter, namun ia dengan tegas menolaknya. Oleh karena itu ia tidak lagi diakui oleh pamannya. Sejak itu ia mengatur hidupnya sendiri di Roma tanpa bantuan pamannya.

Pada tahun 1697, ia diterima dalam Tarekat Fransiskan di biara Rifomalla di Ponticelli. Oleh pimpinan Ordo ia kemudian dikirim belajar di Universitas Roma. Di Universitas Bonaventura inilah ia ditahbiskan menjadi imam pada tahun 1703. Bersama dengan beberapa rekannya, ia mengambil alih sebuah biara di Florence pada tahun 1709. Di bawah bimbingannya, biara ini kemudian menjadi pusat karya misi di Tuscany. Dari biara inilah, ia berkeliling ke berbagai tempat untuk berkotbah dan mengajar umat, teristimewa umat sederhana dari golongan rakyat jelata.

Leonardus dikenal sebagai seorang misionaris Fransiskan yang rajin dan tekun dalam tugasnya mewartakan Injil. Ia mengelilingi seluruh Italia untuk berkotbah. Dengan gayanya yang lucu, ia mengemukakan prinsip misionernya sebagai berikut: “Berkotbah kepada orang lain harus dimulai dan diselingi dengan berkotbah kepada diri sendiri” Leo menghayati semangat hidup miskin dan sederhana yang tinggi sehingga banyak orang terpikat padanya.

Salah satu keistimewaannya yang membuat dia dikenal hingga sekarang ialah kesukaannya merenungkan peristiwa Sengsara Yesus. Ia mengabdikan devosinya ini dan menjadikannya milik semua umat Katolik dengan merintis kebaktian “Jalan Salib” lengkap dengan 14 stasinya seperti yang kita kenal sekarang. Untuk mengumatkan devosi itu, ia mendirikan ‘Jalan Salib Kristus’ di berbagai tempat, termasuk di Colosseum, tempat pembantaian dan gelanggang sengsara orang-orang Kristen pertama di Roma. Tentang kebaktian Jalan Salib ini, ia berkata: “Tidak ada sesuatu pun yang lebih mulia dan berguna bagi pengudusan diri kita daripada merenungkan peristiwa sengsara “Kristus.” Selain devosi itu, ia juga menjadi perintis devosi kepada Hati Yesus yang Mahakudus dan devosi kepada Bunda Maria.

Sampai usia tuanya ia berusaha sekuat tenaga untuk menyelamatkan jiwa-jiwa dengan doa-doa pribadi dan perayaan Misa Kudus setiap hari. Pada tahun 1744 ia diutus Paus ke pulau Corsica untuk menenteramkan suasana pertikaian antar umat di sana. Namun sayang bahwa usahanya ini kurang berhasil. Dalam keadaan payah ia kembali ke Roma, dan tak lama kemudian ia meninggal dunia di biara Santo Bonaventura pada tanggal 26 Nopember 1751. Pada tahun 1867 ia dinyatakan sebagai ‘santo’.

Santo Sarbel Maklouf, Pengaku Iman

Seorang gadis dan seorang biarawati dengan mata terbelalak memandang ke arah dinding batu karang yang terletak di hadapan mereka. Mereka heran karena melihat bahwa batu (nisan) itu mengeluarkan peluh. Tetesan-tetesan air keluar dari permukaannya. Seperti kena hipnose, gadis itu mengulurkan dan menempelkan tangannya yang lumpuh itu pada batu itu. Sementara itu biarawati itu pun merasa tegang seluruh tubuhnya. Gadis lumpuh yang gemetaran itu, lalu terjatuh di pangkuan biarawati yang sedang tegang itu. Ketika gadis itu siuman lagi, ia merasa sudah terbebas dari penyakit lumpuh yang telah dideritanya selama 14 tahun. Bekas-bekas kelumpuhan pun tidak kelihatan lagi. Sekarang ia telah bersuami dan tinggal di Libanon.

Batu (nisan) yang bertuliskan huruf-huruf Arab itu mengingatkan penduduk setempat akan suatu peristiwa penyembuhan yang terjadi di situ pada tahun 1951. Batu itu adalah batu kubur Sarbel Maklouf, seorang rahib Gereja Maronit Libanon, yang dijuluki “Bapa Kami” oleh orang-orang Libanon, baik Kristen maupun Islam.

Pada tahun 1822, para rahib Maronit di Libanon membangun biara Maron d’Annaya, yang terletak di pegunungan Libanon. Tigapuluh tahun setelah biara itu berdiri, datanglah ke biara itu seorang pemuda sederhana dan miskin dengan pakaian yang tak teratur. Pemuda itulah Sarbel Maklouf. Semula Sarbel adalah petani dan gembala miskin di pegunungan Libanon. Menginjak usia 23 tahun, ia meninggalkan desanya, lalu melangkahkan kakinya ke daerah pegunungan Annaya menuju sebuah biara yang ada di sana. Ia diterima masuk biara itu untuk selamanya. Di sana ia belajar teologi dan giat membantu di paroki. Dalam waktu relatif singkat Sarbel segera terkenal di antara kaum Badui, petani-petani miskin di pegunungan, orang-orang Kristen dan kaum Muslim. Ia selalu menolong mereka yang menderita dan menghibur orang-orang yang bersusah. Pengetahuannya sangat luas tentang rempah-rempah dan aneka jenis tumbuhan yang dapat digunakan sebagai obat. Sesuatu yang luar biasa tidak tampak pada dirinya. Demikian juga setelah ditahbiskan menjadi imam pada tahun 1859, ia tetap seorang rahib yang rendah hati, sederhana dan rajin membantu siapa saja yang meminta bantuannya.

Duapuluh tiga tahun terakhir hidupnya, ia bertapa di puncak gunung Annaya, dekat dengan biaranya. Dalam biliknya yang sempit, Pastor Sarbel kusuk berdoa sampai larut malam. Pada waktu subuh ia sudah bangun untuk berdoa sebelum merayakan Misa Kudus. Ia selalu sendirian dan bekerja keras di kebun. Ia hanya makan sekali sehari dan itu pun tidak sampai kenyang. Sehari-harinya pertapa ini tidak banyak bicara. Dengan selembar kain yang membelit tubuhnya ia melawan panas dan dinginnya udara yang tidak kenal kompromi. Suatu hari halilintar menyambar kapelnya dan mengoyakkan jubah yang sedang dikenakannya. Namun aneh bahwa Sarbel yang sedang berdoa itu tidak terkena sedikit pun dan terus berdoa dengan tenang. Di tempat pertapaannya itu, Pastor Sarbel menghembuskan nafasnya terakhir pada tanggal 16 Desember 1898. Jenazahnya diletakkan di atas dua lembar papan dan dimasukkan ke dalam lobang yang dipahat pada batu karang.

Sehabis penguburan Pastor Sarbel, orang-orang Badui menyaksikan suatu peristiwa ajaib yang membingungkan mereka: dari makam Sarbel itu terpancarlah berkas-berkas cahaya biru selama 45 hari penuh setelah penguburannya. Hal ini pun dilihat oleh rekan imamnya yang lain: Pastor Elie Abi-Ramia yang berusia 97 tahun dan satu-satunya imam Maronit yang masih hidup di antara biarawan-biarawan yang tinggal bersama Sarbel dibiara Santo Maron d’Annaya. Ia juga hadir pada upacara penguburan Sarbel Maklouf rekannya pada tahun 1898. Tentang Sarbel, ia berkomentar: “Sarbel Maklouf semasa hidupnya dikenal sangat sederhana, rajin dan menaruh perhatian besar kepada orang-orang miskin dan bersusah. Tidak ada sesuatu keistimewaan yang luar biasa pada dirinya. Yang tampak menonjol ialah bahwa ia rajin berdoa dan tekun memperhatikan orang-orang miskin.”

Tahun-tahun berikutnya makam itu menjadi tempat ziarah yang ramai dikunjungi. Di sana terjadi mujizat penyembuhan berbagai jenis penyakit. Berpuluh-puluh tahun kemudian, setelah menyaksikan berbagai mujizat penyembuhan di makam itu, makam Sarbel menarik perhatian Vatikan untuk turun tangan menyelidikinya.

Atas perintah Vatikan, jenazah rahib saleh itu dikeluarkan kembali dari makamnya untuk diselidiki kebenaranriya. Vatikan mengirim dokter-dokter ahli dan para sarjana dari berbagai disiplin ilmu untuk menyelidiki makam dan jenazah Sarbel dan berbagai penyembuhan yang terjadi di makamnya. Makam itu, yang berbentuk sebuah lobang pahatan di dalam batu karang dan ditutup dengan batu itu, disegel dan dipasangi pintu besi yang berjeruji. Kunci pintu makam itu disimpan oleh ketua panitia internasional yang beranggotakan dokter-dokter ahli dan para sarjana itu. Mereka, bersama rekan-rekan Sarbel yang tinggal di biara Maron d’Annaya, heran menyaksikan bahwa meskipun sudah 68 tahun wafat dan dikuburkan, jenazah Sarbel masih dalam keadaan utuh.

Mereka terus menyelidiki kalau-kalau batu makam tersebut mengandung zat-zat kimia yang mempunyai daya pengawet. Tetapi penyelidikan itu tidak menemukan hal itu. Maka selama 6 tahun, jenazah Sarbel Maklouf dimasukkan kembali ke dalam sebuah lobang dalam batu karang untuk melihat apakah jenazah itu masih tetap mengeluarkan peluh keringat. Karena peluh itu tetap mengalir, jenazah Sarbel dikeluarkan lagi dan dijemur selama tujuh bulan. Akibat penjemuran itu, warna kulit Sarbel menjadi sawo matang dan kulitnya mengerut, sambil tetap mengeluarkan peluh sampai tahun 1927.

Dalam penyelidikan selanjutnya terjadi hal-hal baru yang mengherankan para dokter: ketika jenazah itu diiris sedikit dengan pisau keluarlah darah. Memang warna darah itu hitam, namun anehnya bahwa darah itu terus mengalir keluar seperti orang yang masih hidup. Contoh darah ini dengan bukti-bukti lain yang tak terhitung jumlahnya disimpan di dalam sebuah lemari kaca yang disegel. Sementara itu lembaga-lembaga di Italia, Prancis dan Jerman terus menyelidiki darah itu di laboratorium-laboratorium terkenal. Hasil analisa-analisa itu dikirim ke Vatikan.

Setelah melewati berbagai penyelidikan yang mutakhir, akhirnya Sarbel dinyatakan sebagai ‘kudus’ oleh Paus Paulus VI (1963-1978) pada tanggal 5 Desember 1965 di basilik Santo Petrus Roma. Hingga sekarang bekas tempat tinggal dan makam Sarbel Maklouf menjadi tempat ziarah terkenal di Libanon, yang dikunjungi banyak orang dari berbagai penjuru dunia, baik Kristen maupun Islam dan Yahudi, terlebih orang-orang Badui setempat.

Tentang mujizat penyembuhan di makam Sarbel Maklouf, Pater Joseph Ejail, seorang imam dari biara Maron d’Annaya yang menguasai tiga bahasa asing dan mengajar di sekolah-sekolah Libanon, memberikan kesaksian pandangan mata berikut: “Di muka makam itu duduk sepasang suami-isteri dari Syria. Mereka orang Islam. Di samping mereka, berbaring anak lelaki mereka berumur 6 tahun di atas sebuah usungan. Oleh dokter-dokter, anak lelaki itu dikatakan tidak bisa sembuh lagi dari kelumpuhannya. Kira-kira setelah sejam mereka berdoa di makam itu, Bapa anak itu menyaksikan peristiwa ajaib kesembuhan anaknya. Anaknya yang lumpuh sejak kecil itu sekonyong-konyong bangkit dan berjalan tegak. Bapa itu langsung jatuh pingsan melihat peristiwa ajaib itu. Demikian juga isterinya; ia tak berdaya karena lemas seluruh badannya. Setelah siuman dan kuat kembali, ia membimbing keluar anak dan isterinya yang lemas itu”, demikian kisah pandangan mata Pater Joseph Ejail untuk menguatkan mujizat-mujizat penyembuhan yang terjadi di makam Santo Sarbel Maklouf.

Komentar

Tinggalkan Pesan

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Terhubung ke Media Sosial Kami

45,030FansSuka
0PengikutMengikuti
75PengikutMengikuti
0PelangganBerlangganan

Terkini