60 Tahun Dei Verbum: Dokumen yang Merevolusi Cara Membaca Kitab Suci

ROMA, Pena Katolik — Gereja Katolik merayakan 60 tahun lahirnya salah satu dokumen terpenting Konsili Vatikan II, yakni Dei Verbum, Konstitusi Dogmatis tentang Wahyu Ilahi. Dokumen ini dipromulgasikan pada 18 November 1965. Meski sering kalah populer dibandingkan dokumen lain seperti Gaudium et Spes, Dei Verbum telah membawa dampak besar dalam cara umat Katolik mempelajari, menafsirkan, dan menghayati Kitab Suci.

Dokumen ini lahir dari dinamika Gereja pasca Perang Dunia II. Sebelumnya, Paus Pius XII melalui ensiklik Divino Afflante Spiritu (1943) telah membuka jalan bagi studi Kitab Suci dengan metode historis-kritis dan penggunaan bahasa asli Alkitab. Sejak itu, studi Kitab Suci tidak terbatas menggunakan teks Latin Vulgata. Ensiklik tersebut disebut oleh ahli Kitab Suci Raymond Brown sebagai “Magna Carta” bagi kemajuan biblis.

Selain itu, pemikiran St. John Henry Newman pada abad ke-19 turut memengaruhi Dei Verbum. Newman menekankan bahwa wahyu ilahi berpusat pada pribadi Yesus Kristus, serta bahwa doktrin Gereja berkembang seiring dengan kesadaran historis umat beriman.

Dokumen ini menegaskan bahwa wahyu Allah mencapai kepenuhannya dalam Kristus. Ia juga menegaskan pentingnya metode historis-kritis dalam studi Kitab Suci, sekaligus memperjelas hubungan antara Kitab Suci dan Tradisi Gereja.

Dei Verbum menyatakan bahwa Kitab Suci mengajarkan dengan setia dan tanpa kesalahan kebenaran yang Allah kehendaki demi keselamatan. Namun, dokumen ini juga menekankan adanya pertumbuhan dalam pemahaman atas realitas dan sabda yang diwariskan. Dengan demikian, Gereja diajak untuk membaca Kitab Suci secara holistik, menghargai beragam bentuk dan gaya sastra yang terkandung di dalamnya.

Mayoritas Setuju

Dei Verbum disahkan dengan suara mayoritas mutlak (2.344 setuju, 6 menolak). Dokumen ini menjadi tonggak penting dalam kehidupan Gereja. Para teolog besar seperti Yves Congar dan Joseph Ratzinger (kemudian Paus Benediktus XVI) turut memberi pengaruh besar dalam penyusunan finalnya.

Namun, dokumen ini juga menghadirkan tantangan yang relevan hingga kini: Mengajak umat Katolik untuk membaca Kitab Suci secara pribadi dan mendengarkan dengan sungguh saat dibacakan dalam liturgi.

Menekankan pentingnya Perjanjian Lama sebagai bagian integral dari Alkitab Kristen, bukan sekadar latar bagi Kristus. Menolak fundamentalisme biblis, dengan menegaskan perlunya pendekatan historis dan tradisi Gereja dalam memahami wahyu.

Warisan 60 Tahun

Dampak nyata dari Dei Verbum terlihat dalam lahirnya New American Bible pada awal 1970-an, terjemahan resmi pertama seluruh Kitab Suci dari bahasa asli ke bahasa Inggris untuk Gereja Katolik. Terjemahan ini digunakan dalam bacaan Misa hingga kini, dan akan diperbarui sebagai Catholic American Bible pada 2027.

Meski banyak kemajuan telah dicapai, para teolog seperti Gerald O’Collins, S.J., tetap mengingatkan bahwa cita-cita Dei Verbum adalah menjadikan Gereja sebagai umat yang sungguh-sungguh hidup dari Kitab Suci. Pertanyaan yang masih relevan: Apakah umat Katolik sudah benar-benar menjadi umat yang biblis, yang menempatkan seluruh hidupnya di bawah sabda Allah?

Enam dekade setelah dipromulgasikan, Dei Verbum tetap menjadi cahaya yang menuntun Gereja untuk semakin berakar pada Kitab Suci, semakin setia pada Tradisi, dan semakin berpusat pada Kristus sebagai Wahyu Allah yang sempurna.

Komentar

Tinggalkan Pesan

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Terhubung ke Media Sosial Kami

45,030FansSuka
0PengikutMengikuti
75PengikutMengikuti
0PelangganBerlangganan

Terkini