LONDON, Pena Katolik — Dalam sebuah konferensi kepemimpinan yang dihadiri 6.000 peserta dan diselenggarakan oleh Alpha, sebuah pelayanan ekumenis global yang dipimpin oleh Pastor Anglikan Nicky Gumbel, Kardinal Luis Antonio Tagle berbagi refleksi mendalam tentang bagaimana para pemimpin Kristiani menghadapi realitas penderitaan yang meluas. Percakapan ini berakar dari pengalaman panjang Kardinal Tagle sebagai pastor di Filipina dan sebagai Presiden Caritas International (2015–2022), lembaga kemanusiaan resmi Gereja Katolik.
1. Cerita lebih kuat daripada solusi
Ketika ditanya tentang kesulitan terbesar dalam kepemimpinan, Kardinal Tagle mengakui bahwa menjadi uskup adalah perjuangan iman: menerima bahwa Allah mempercayakan tugas besar kepada dirinya. Ia juga menuturkan bahwa banyak orang datang membawa beban hidup, dan sering kali ia merasa frustrasi karena tidak mampu memberi solusi. Dari pengalaman bencana alam di Filipina, ia belajar bahwa banyak persoalan bukanlah masalah yang bisa diselesaikan, melainkan dilema tanpa jawaban jelas.
Sebagai pemimpin, ia menemukan bahwa menjadi pencerita lebih penting daripada sekadar pemecah masalah. Dengan mendengarkan kisah orang lain dan kisah Allah, seorang pemimpin dapat menghadirkan penghiburan. Ia mencontohkan peristiwa seorang anak jalanan yang bertanya kepada Paus Fransiskus, “Mengapa Tuhan membiarkan anak-anak tak berdosa menderita?” Paus hanya memeluknya dan berkata, “Ada pertanyaan yang tak punya jawaban mudah. Mungkin air mata membersihkan mata kita agar melihat lebih jelas.”
2. Jangan biarkan penderitaan menghentikan Injil
Kardinal Tagle menekankan bahwa penderitaan harus dijawab dengan tindakan nyata. Ia mengajak para pemimpin bisnis dunia, termasuk di Forum Ekonomi Dunia Davos, untuk memeriksa motivasi mereka: apakah digerakkan oleh ambisi atau hati nurani. Ia juga menantang mereka untuk memasukkan orang miskin dalam visi perusahaan dan menjalin perjumpaan langsung dengan mereka. “Sentuh tangan orang miskin. Mereka bukan statistik. Mereka bisa saja saya, orang tua saya,” ujarnya.
3. Temukan tawa dalam perjuangan bersama
Selain kemiskinan fisik, Kardinal Tagle mengakui adanya “kemiskinan rohani” yang dialami banyak orang, termasuk dirinya. Ia berbagi bahwa setiap pagi ia bermeditasi dengan Kitab Suci, meski tidak selalu mendengar suara Roh Kudus. Dengan rendah hati ia bergurau kepada Gumbel, “Roh Kudus bicara setiap hari padamu, ya?” Candaan itu menegaskan pentingnya tawa sebagai ungkapan iman: tanda bahwa kita bukan penyelamat dunia, sehingga tidak perlu selalu berwajah muram.
Bagi Kardinal Tagle, humor, senyum, dan tawa adalah bagian dari hidup dalam Roh, sekaligus bentuk penghormatan kepada orang lain, termasuk mereka yang berbeda pandangan. Percakapan dengan Gumbel berakhir dengan pelukan hangat, menjadi teladan dialog penuh rasa hormat di tengah perbedaan teologis.
Narasi ini menunjukkan bahwa kepemimpinan Kristiani bukan hanya soal solusi, tetapi juga soal cerita, tindakan nyata, dan sukacita yang membebaskan.




