ROMA, Pena Katolik – Saat ini, termasuk di Indonesia, Halloween telah menjadi “perayaan modern”. Halloween menjadi semacam pesta kostum, permen, dan unsur-unsur menakutkan.
Namun di balik pesta kostum itu, tersimpan akar Kristiani dan rohani yang dalam. Namun, akar rohani ini justru telah “dilupakan” oleh orang-orang yang “merayakan” Holloween di Indonesia.
Akar Katolik
Munculnya Holloween berakar dalam tradisi Katolik yang telah berlangsung berabad-abad. Halloween, secara harfiah berasal dari istilah “All Hallow’s Eve”, yakni malam sebelum Hari Semua Orang Kudus (All Saints’ Day). Dalam Liturgi Katolik berarti malam sebelum Hari Raya Semua Orang Kudus yang jatuh pada 1 November.
All Hallow’s Eve sebenarnya menandai dimulainya triduum untuk menghormati mereka yang telah meninggal, yakni pada Hari Raya Semua Orang Kudus pada 1 November dan pada Peringatan Arwah Semua Orang Beriman 2 November. Sehingga dengan demikian, dimulai pada hari ini, Gereja mengajak umat mendoakan Doa Triduum selama tiga hari sampai pada 2 November.
Tradisi ini lahir dari praktik berzikir, doa, dan misa untuk para kudus serta doa bagi arwah di api penyucian, dan telah menjadi bagian dari kalender religius Eropa sejak Abad Pertengahan.
Makna Modern
Di era modern, makna religius All Hallow’s Eve (Halloween) kerap terdegradasi oleh komersialisasi dan estetika horor. Bagi anak muda di perkotaan, mereka memahami Holloween justru sebagai semacam “pesta hantu”, atau bahkan “uji nyali”, bahwa “setan” sebenarnya tidak menakutkan, bahkan harus dirayakan dengan “pesta pora”. Tidak ada unsur rohani sedikitpun dalam Halloween.
Sebaliknya, bagi sebagian orang Katolik, transformasi ini menimbulkan kecemasan. Tradisi yang bermuatan doa dan pengharapan, telah berubah menjadi perayaan untuk “merayakan kegelapan”. tK heran, di kota besar seperti Jakarta. Halloween justru menjadi saat “party” di mana minuman beralkohol disajikan, dan beraneka pesta-pesta.
Keluarga dan Pendidikan Anak
Namun, alih-alih pusing memikirkan cara “melawan” Hallowen dalam budaya sekular ini, orang kesempatan ini dapat menjadi saat untuk mengajarkan nilai-nilai iman kepada anak-anak. Orang tua dapat menjaga akar rohani anak. Halloween dapat menjadi “pintu masuk” pendidikan iman anak.
Tidak sekadar melarang, orang tua dapat memilih pendekatan edukatif, dengan memberi penjelasan sejarah All Hallows Triduum.
Orang tua dapat mengajarkan tentang doa bagi arwah, mengajak anak untuk mengenang orang-orang kudus dan mendoakan keluarga yang telah meninggal. Orang tua dapat mengajarkan, bahw saat ini adalah “perayaan kemenangan Kristus atas dosa dan maut”.
Merayakan Para Kudus
Salah satu opsi yang banyak diapresiasi oleh keluarga Katolik adalah “mereklamasi” perayaan dengan membuatnya lebih eksplisit mengarah pada iman. Salah satu kemungkinan, pada momen-momen peringayan ini, anak-anak dapat mengenakan kostum bukan sebagai makhluk menakutkan, tetapi sebagai santo-santo yang mereka kagumi.
Perayaan ini dilakukan sambil menceritakan kisah hidup santo tersebut. Tentu, berdoa bersama dapat menjadi alternatif yang mendidik, serta merayakan teladan kekudusan. Pendekatan ini menghubungkan kegembiraan anak-anak dengan teladan hidup orang kudus dan mempertegas pesan bahwa kematian telah dikalahkan oleh Kristus.
Halloween tetap menjadi tradisi yang kompleks, mewarisi akar Katolik yang jelas sekaligus menghadapi perubahan makna di masyarakat modern. Bagi umat Katolik, ada ruang untuk merayakan dengan penuh sukacita, sembari memilih elemen-elemen yang meneguhkan iman: doa, peringatan para kudus, pendidikan rohani bagi anak, dan mendoakan keluarga yang telah meninggal. Dengan begitu, Halloween dapat tetap menjadi hari yang menyenangkan dan sekaligus sarat makna.


