Membuat Tanda Salib yang Benar

JAKARTA, Pena katolik – Beberapa kali kita mungkin memperhatikan bahwa umat Katolik membuat tanda salib dengan cara yang sedikit berbeda, terutama pada bagian “dan Putra”. Ada yang menyentuh dada bagian tengah, ada pula yang menunjuk ke perut bagian atas. Bahkan, ada yang mengatakan bahwa perut melambangkan “rahim”, tempat kehidupan bermula. Maka muncul pertanyaan: cara manakah yang benar?

Gereja sebenarnya tidak pernah menetapkan aturan khusus mengenai bagaimana membuat tanda salib. Ada yang menafsirkan bahwa saat menyebut “Putra”, tangan menyentuh dada, sebab di sanalah hati terletak: sumber kasih dan kehidupan. Ada pula yang menyentuh perut sebagai lambang inkarnasi, mengingatkan bahwa Sabda Allah telah menjelma dalam rahim Maria.

Tidak ada jawaban tunggal yang mutlak benar. Setiap orang dapat melakukannya sesuai dengan devosi dan penghayatan pribadinya. Yang terpenting gerakan itu membentuk salib, yang bermakna menandai tubuh kita dengan “tanda salib”, tanda keselamatan. Sehingga bukan dengan jari mana dibuat tanda salib, melainkan “iman dan kesadaran” yang menyertai tanda salib itu.

Sejak awal Gereja, tanda salib telah menjadi semacam “credo mini”, ungkapan iman singkat kepada Allah Tritunggal. Saat kita menyentuh dahi, kita mengingat Bapa yang di surga. Saat menyentuh dada atau perut, kita mengingat Putra (Yesus Kristus) yang turun ke dunia dan menjelma menjadi manusia. Saat menyentuh kedua bahu, kita mengingat Roh Kudus, kekuatan yang menopang hidup kita. Setiap gerakan tangan membawa makna iman yang dalam: Allah yang tinggi di surga telah turun ke bumi dan tinggal di antara kita, serta kini berkarya melalui Roh-Nya.

Di Gereja Katolik Barat, tanda salib biasa dibuat dengan lima jari terbuka, melambangkan lima luka Kristus di salib. Apa pun bentuknya, semuanya mengungkapkan kasih Allah yang menyelamatkan. Dalam tradisi Gereja Timur, tanda salib dibuat dengan tiga jari pertama disatukan — lambang Tritunggal Mahakudus — sementara dua jari lainnya menyatu, melambangkan dua kodrat Kristus: Allah dan manusia. Cara yang terkakhir ini kadang juga dilakukan oleh umat dari kalangan Gereja Katolik.

Tanda salib bukan sekadar kebiasaan, tetapi pernyataan iman, pengingat akan kasih Kristus, dan ajakan untuk hidup dalam semangat salib: rendah hati, berkorban, dan penuh kasih. Saat membuat tanda salib, kita mengenang “sengsara dan wafat Yesus”, sebab peristiwa ini adalah “kemenangan akan dosa dan maut”. Maka, tanda salib mengingatkan akan pembaptisan, kita dibaptis dalam Kristus, yakni dibaptis dalam kematian-Nya, yang darinya kita dapat memperoleh hidup baru di dalam Dia (lih. Rom. 6:3-4), Kristus yang hidup dalam diri kita (lih. Gal. 2:20).

Tanda salib mengingatkan kita pada panggilan untuk memikul salib setiap hari dan mengikuti Kristus (lih. Luk. 9:23). Kita telah dibaptis dalam kematian dan kebangkitan-Nya (lih. Rom. 6:3-4), maka hidup kita pun harus mencerminkan Kristus yang hidup dalam diri kita (lih. Gal. 2:20). Syarat mengikuti Yesus adalah pula memanggul salib hidup kita masing-masing. Salib itu bukanlah kutukan, melainkan tanda dan saran penyelamatan (Gal. 6:14).

Yang jauh lebih penting daripada memperdebatkan bagaimana membuat tanda salib adalah bagaimana kita menghidupi maknanya. Tanda salib mengajak kita menyalibkan manusia lama, meninggalkan dosa, dan mengenakan hidup baru dalam kasih Kristus (lih. Kol. 3:5-15). Karena itu, setiap kali kita membuat tanda salib — sebelum berdoa, bekerja, atau memulai perjalanan — kita sebenarnya sedang menyerahkan diri sepenuhnya dalam kasih dan penyertaan Allah Tritunggal.

Komentar

Tinggalkan Pesan

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Terhubung ke Media Sosial Kami

45,030FansSuka
0PengikutMengikuti
75PengikutMengikuti
0PelangganBerlangganan

Terkini