VATIKAN, Pena Katolik – Dalam langkah perdananya, tak sampai enam bulan sejak terpilih, Paus Leo XIV menerbitkan dokumen magisterial pertamanya berjudul Dilexi Te, ‘Aku Telah Mengasihi Engkau’. Seruan apostolik ini berfokus pada inti Injil: pelukan kasih bagi kaum miskin.
Surat Apostolik ini tampkaknya merupakan tindak lanjut dari refleksi terakhir Paus Fransiskus tentang kasih dan solidaritas Gereja untuk mereka yang tersingkir. Dokumen ini menjadi semacam “harta karun ajaran para santo” tentang kemiskinan dan belas kasih. Dilexit Te merangkum perjalanan panjang Gereja, sejak zaman Perjanjian Lama: “Yesus sebagai Mesias yang miskin”, hingga kesaksian para kudus selama 2000 tahun.
Dilexi Te menegaskan kembali ajaran sosial Gereja selama 150 tahun terakhir sebagai “perbendaharaan berharga” tentang perhatian Gereja kepada kaum miskin. Semua dijelaskan dalam dokumen sepanjang 121 paragraf ini dibagi dalam lima bab.
Mengasihi yang Tersingkir
Dokumen ini dibuka dengan kutipan dari Kitab Wahyu: “Aku telah mengasihi engkau” (Why 3:9), yang ditujukan kepada komunitas Kristen kecil yang tak memiliki kekuasaan, namun dicintai Tuhan. Paus Leo mengaitkan teks ini dengan Kidung Maria: “Ia menurunkan orang berkuasa dari takhtanya dan meninggikan orang yang rendah hati.” (Luk 1:52–53).
Melalui pengantar ini, Paus Leo XIV menegaskan pesan utama Dilexi Te: bahwa kasih Allah berpihak kepada yang miskin dan hina, dan Gereja dipanggil untuk menjadikan solidaritas sebagai jantung misinya.
Jejak Santo Agustinus dan Santo Ambrosius
Bagian istimewa dari dokumen ini adalah refleksi pribadi Paus Leo XIV tentang ajaran Santo Agustinus dan pembimbing rohaninya, Santo Ambrosius.
Ambrosius, Uskup Milan, mengajarkan bahwa derma bukanlah kemurahan hati, melainkan keadilan yang dipulihkan. Ia menegaskan: “Apa yang kamu berikan kepada orang miskin bukan milikmu, melainkan milik mereka.”
Dari tradisi inilah, Santo Agustinus menekankan kasih istimewa bagi kaum miskin. Dalam komentarnya atas Kitab Mazmur, ia menulis: “Jika Kristus tinggal di dalam dirimu, tunjukkanlah kasihmu juga kepada orang asing.” Bagi Agustinus, orang miskin bukan sekadar penerima bantuan, melainkan hadirnya Kristus secara sakramental di tengah dunia.
Kasih yang Mengubah Dunia
Dalam Dilexi Te, Paus menyoroti bentuk-bentuk nyata kasih yang telah dihidupi Gereja selama berabad-abad: pelayanan pendidikan, perawatan kesehatan, perhatian bagi para tahanan, dan pendampingan bagi para migran. Ia juga mengingatkan kembali seruan Santo Yohanes Paulus II untuk melawan “struktur dosa” yang memperparah kemiskinan, seraya menegaskan bahwa amal kasih memiliki daya ubah nyata terhadap sejarah.
“Kasih,” tulis Paus Leo, “adalah sumber yang harus menginspirasi setiap upaya untuk mengatasi penyebab struktural kemiskinan — dan hal itu harus dilakukan dengan segera.”
Ia menyesalkan maraknya ideologi dan sistem ekonomi yang merendahkan nilai kemanusiaan, serta sikap dunia yang sering memandang orang miskin sebagai beban. Gereja, katanya, harus menjadi ibu yang menuntun anak-anaknya dengan kelembutan: “Di mana dunia melihat ancaman, Gereja melihat anak-anak. Di mana tembok didirikan, Gereja membangun jembatan.”
Gereja Tanpa Batas Kasih
Menutup seruannya, Paus Leo menulis: “Kasih adalah cara memandang hidup — dan cara menghidupinya.
Gereja yang tidak membatasi kasihnya, yang tidak mengenal musuh untuk diperangi tetapi hanya manusia untuk dicintai, adalah Gereja yang dibutuhkan dunia saat ini.”
Melalui Dilexi Te, Paus Leo XIV meneguhkan kesinambungan ajaran sosial Gereja dan memberikan wajah baru bagi misi Gereja universal: menjadi tanda kasih Allah yang nyata bagi mereka yang miskin, tersingkir, dan terluka, sebagaimana Kristus yang mengasihi tanpa batas.