Minggu, September 7, 2025

Romo Johanes Robini OP: Sempat Hilang, Namun Menemukan Kembali Panggilannya

Romo Johannes Robini Marianto OP masih ingat salah satu bagian dalam perjalanan panggilannya. Tahun 1996, ia telah menyelesaikan studi filsafat dan teologi. Saat itu sebagai calon imam Keuskupan Sanggau, ia juga sudah melewati ujian Ad Audiendas¸yang menjadi syarat seorang bisa menjadi pelayan Sakramen Pengakuan. Sebagai calon imam, ia tinggal menunggu saat untuk ditahbiskan menjadi diakon, dan selanjutnya menerima Tahbisan Imamat.

Namun di saat bersamaan, ada perubahan besar terjadi di Kalimantan Barat. Korporasi besar mulai masuk merambah hutan Kalimantan. Masyarakat mulai menjual tanah dengan harga murah, di mana pembelinya adalah perusahaan besar yang tidak menunggu lagi langsung membabat habis pohon-pohon di hutan Kalimantan. Ada perubahan budaya yang berlangsung cepat, masyarakat menjadi sangat materialistis, sedangkan Gereja tak berdaya menahan laju perubahan ini.

Frater Robini saat itu melihat, Gereja seakan tidak memiliki kekuatan apapun untuk menahan laju perambahan hutan ini. apapun yang dikatakan Gereja untuk mencegah Masyarakat menjual tanah, nyatanya tak didengar. Frater Robini pada satu titik kecewa, untuk apa ia menjadi bagian dari “Gereja” kalau pada akhirnya, sebagai gembala, ia tidak didengar.

Pada titik inilah, Frater Robini memutuskan untuk tidak melanjutkan panggilannya. Pada tahun 1996 itu, Frater Robini mundur sebagai calon imam Keuskupan Sanggau. Meskipun semua syarat untuk tahbisan sudah ia pegang, namun ia memilih mundur. Baginya, tidak ada lagi ia menjadi imam, kalau pada akhirnya suaranya tidak didengar.

“Saya melihat saat itu, Gereja seperti tidak lagi punya suara, Gereja tidak bisa berbuat apa-apa menahan laju perambahan hutan di Kalimantan,” kenang Romo Robini.

Romo Robini Marianto OP saat Grand Launching Universitas Katolik Santo Agustinus Hippo Ngabang.

Menemukan Lagi

Setelah memilih keluar dari jalan panggilan, Robini kemudian bekerja di sebuah perusahaan farmasi di Jakarta. Dalam pikirannya Ketika itu, ia ingin sepenuhnya “lari” dari Gereja. Ia lalu bekerja di sebuah perusahaan di Jakarta. Ia tak lagi memiliki atensi untuk mengurusi semua hal terkait Gereja.

“Saya ke Jakarta dan masuk dunia bisnis. Saya memutuskan untuk tidak ada lagi hubungan dengan Gereja,” kenang Romo Robini.

Tahun 1998, sekitar dua tahun setelah Robini mulai tinggal di Jakarta, pecah kerusuhan di Jakarta. Robini melihat, Ketika itu kerusuhan begitu besar. Ia melihat masyarakat yang ketakutan.

Pada saat inilah, dua peristiwa bertubi datang dalam kehidupan Robini. Pertama, padasuatu sore Ketika Jakarta sudah rusuh, ia diundang untuk datang oleh sebuah keluarga. Awalnya, Robini mengira akan diundang makan. Namun ternyata, ia diundang untuk diajak berdoa bersama. Keluarga yang mengundang ternyata ketakutan, di Tengah situasi rusuh di Jakarta. Robini mengingat saat itu ada isu bahwa tentara akan rusuh.

“Saya kira diundang makan, saya senang karena waktu itu situasinya untuk makan saja sulit, tapi ternyata diajak untuk berdoa. Keluarga itu ketakutan, maka mengundang saya untuk berdoa bersama mereka,” kenang Romo Robini.

Kedua, di tengah situasi rusuh di Jakarta, ada seorang ibu yang kesulitan untuk mencari seseorang yang bisa memimpin Ibadah Requiem untuk suaminya yang meninggal karena kanker di Rumah Sakit Dharmais, Jakarta. Di Tengah situasi rusuh itu, mereka kesulitan mencari imam, atau siapapun yang bisa memimpin ibadah sebelum jenazah dimakamkan. Atasan Robini yang tau kalau ia mantan frater, memintanya untuk membantu ibu tadi, memimpin Ibadah Requiem untuk suaminya.

“Atasan saya tau kalau saya mantan frater, makanya dia menyuruh saya untuk membantu,” kenang Romo Robini.

Robini pun datang untuk memimpin Ibadah Requiem. Ibu itu seketika memeluknya, ketika ia datang. Ia menyadari, pada saat-saat sulit, seseorang membutuhkan seorang “imam” untuk mengguatkan mereka.

“Saya mencari apa artinya menjadi imam pada kejadian di Kalimantan Barat, ternyata ketemu, pada saat krisi, orang butuh imam,” ujar Romo Robini.

Dari dua peristiwa itu, nyatanya menjadi titik balik untuk jalan panggilan Robini. Robini tiada henti berpikir Kembali tentang panggilannya. Ia seakan menemukan kembali panggilannya. Ia menemukan lagi arti menjadi seorang imam. Akhirnya, Robini memutuskan untuk kembali. Kali ini, ia memilih Ordo Dominikan.

Kini terbukti, Ordo Pewarta menjadi tempat dia dapat mengaktualisasikan panggilannya. Frater Robini mengikrarkan kaul sebagai bagian dari Keluarga Dominikan pada 24 April 2000. Ia kemudian ditahbiskan menjadi Imam dalam Ordo Dominikan pada 20 April 2006.

Romo Johannes Robini Marianto OP saat dilantik menjadi Rektor Universitas Katolik Santo Agustinus Hippo Pontianak. IST
Romo Johannes Robini Marianto OP saat dilantik menjadi Rektor Universitas Katolik Santo Agustinus Hippo Pontianak. IST

Ordo Dominikan

Jalan panggilan Romo Robini telah melewati jatuh-bangun. Seiring waktu, tantangan dan kesulitan menyempurnakan panggilannya. Romo Robini mengenang, pertama kali ia memutuskan akan masuk biara adalah pada 24 April 1988, saat itu Minggu Panggilan.

Pertama kali, Robini memutuskan untuk masuk biara, ia memilih Kongregasi Carmelitae Sancti Eliae (CSE) yang didirikan Romo Yohanes Indrakusuma CSE. Keputusannya memilih CSE karena awalnya ia tertarik hidup monastik kongregasi ini. Ia ingin menjadi pertapa.  Namun, cara hidup pertapa dan cara berdoa karismatik yang ada dalam CSE, sepertinya tidak cocok untuk dirinya. Frater Robini pun memutuskan untuk keluar.

“Saat itu, saya ingin menjadi pertapa,” ujar Romo Robini.

Dari CSE, ia melanjutkan panggilannya dan masuk menjadi calon imam Keuskupan Sanggau. Pilihan ini sepertinya menjadi pilihan tepat, sebab ia berhasil menlewati setiap tahapan pendidikan calon imam di keuskupan ini.

Romo Robini mengenang, pilihannya untuk memilih Dominikan juga setelah perjalanan dan perenungan panjang. Pada satu titik, Romo Robini menyadari, pilihan sebagai Dominikan karena ordo ini sesuai dengan karakter rohani dan pemikirannya.

Ketika ditarik lebih jauh ke belakang, karakter ini terbangun bahkan sejak ia masih di Sekolah Menengah Pertama. Saat itu, Ketika les Matematika, seorang gurunya justru mengenalkan Robini remaja dengan buku-buku filsafat.

“Saya diajak berpikir kritis,” ujarnya.

Karakter intelektual Romo Robini yang kritis sangat cocok dengan spiritualitas dan kharisma Ordo Pewarta. Di Dominikan, setiap orang memiliki kebebasan untuk berkembang. Setiap orang bebas memilih cara menjadi pewarta. Romo Robini mengatakan, di dalam ordo, yang paling utama adalah “formandi”, dengan bimbingan Pembina.

“It is you, not me. I guide you, I help you, but in the end, it is your decision,” ujar Romo Robini. 

Romo Robini juga mengenang dua orang yang berjasa dalam panggilannya yakni Uskup Agung Pontianak, Mgr. Agustinus Agus dan Mgr. Valentinus Kartosiswoyo. Ketika menjalani pendidikan sebagai calon imam Keuskupan Sanggau, kedua orang ini menjadi pembimbing. Romo Robini mengenang, Mgr. Agustinus lah yang mengutusnya untuk belajar di Yogyakarta Ketika masih menjadi calon imam Keuskupan Sanggau. Sementara Mgr. Karto, selalu berusaha mencari jalan, agar Romo Robini dapat melanjutkan panggilan dan menjadi imam.

“Kedua orang inilah yang membawa saya kembali menjadi imam, dua orang inilah penyelamat panggilan saya,” kenang Romo Robini.

Peran Keluarga

Tahun ini, Romo Robini mensyukuri 25 tahun mengikrarkan kaul di dalam Ordo Pewarta. Pada momen ini, ia tetap mengenang peran keluarga di dalam panggilannya. Ia menyadari, dasar-dasar hidup rohani sudah tertanam sejak awal saat ia dibesarkan di dalam keluarga kristiani.

“Kami dididik secara Katolik,” ujar Romo Robini mengenang.

Di dalam keluarga, doa telah menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari. Romo Robini mengenang, ketika usia remaja, ketika anak-anak lain bisa menonton film kartun setiap sore, ia bersama keluarganya selalu berdoa bersama. Dari sosok ibu, ia juga mendapat teladan rohani yang mendalam. Sang ibu, berdoa Rosario tiga kali setiap hari.

Romo Robini mengenang, sekitar tahun 1980-an, keluarganya rutin memberikan sumbangan kepada para imam di paroki untuk mendukung kehidupan mereka. Setiap kali Natal, kakeknya akan mengundang para imam dan suster untuk makan di rumah keluarga mereka. Keluarganya bahkan menyumbangkan tanah mereka untuk membangun gereja paroki.

Pada titik ini, Romo Robini menyadari, komunitas menjadi yang paling berharga dan mendukung panggilannya saat ini. Di komunitas, sebagai sesama Dominikan, dapat saling menguatkan. Di dalam komunitas, ia selalu merasa dikuatkan, ada teman bercerita, baik dalam hal panggilan juga dalam karya.

“Yang paling berharga bagi saya 25 tahun adalah komunitas itu sendiri. Merasa hidup sebagai Dominikan, itu adalah yang utama,” kata Romo Robini.

Ia mensyukuri kebersamaan dalam Komunitas Dominikan di Pontianak. Ada keterbukaan, Romo Robini menilai, ini adalah komunitas ideal. Sekarang dengan 5-6 anggota komunitas, ada kebersaman, setiap orang saling mendukung dalam karya dan panggilan. Di dalam komunitas ia merasa didukung oleh anggota komunitas yang lain. Ketika ia sering bepergian untuk banyak tugas, komunitas menguatkannya dan mendukung.

“We are on your back,” kata Romo Robini.

Misteri panggilan kadang berbeda dari apa yang menjadi keinginan pribadi dibanding dengan perutusan sebagai seorang religius. Romo Robini mengenang, ada saat di mana ia tidak mau bekerja di Pontianak. Namun, justru di kota inilah, ia diutus dan berkarya hingga kini menjadi Rektor Universitas Katolik Santo Agustinus Hippo. (AES)

Komentar

Tinggalkan Pesan

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Terhubung ke Media Sosial Kami

45,030FansSuka
0PengikutMengikuti
75PengikutMengikuti
0PelangganBerlangganan

Terkini