Ketika St. Carlo Acutis baru berusia tiga tahun, kakeknya dari pihak ibu, Antonio Salzano, meninggal dunia. Beberapa hari sebelumnya, Carlo hadir saat kakeknya menerima Sakramen Pengurapan Orang Sakit.
Tak lama setelah kematian sang kakek itu, Carlo mengenakan mantel peninggalan kakeknya dan memohon kepada sang nenek agar membawanya ke gereja. Dengan polos tapi penuh keyakinan, ia berkata ingin berdoa untuk kakeknya, yang telah pergi menemui Yesus.
Bahkan, dalam mimpi, Carlo mengaku melihat kakeknya datang dan meminta doa darinya. Sebuah pengalaman rohani yang membekas dan memperkuat kesadarannya akan kehidupan kekal. Di usia yang sangat belia, ketika sebagian besar anak baru belajar berbicara dan bermain, Carlo Acutis sudah menunjukkan kepekaan rohani yang luar biasa.

Hidup Misi
Siapa sangka, hidup Carlo adalah pewartaan yang membawa pesan misi untuk sesama. Saat usia Carlo sekitar 4 tahun, keluarganya mempekerjakan Rajesh Mohur. Pria asal Mauritius itu awalnya adalah putra seorang pendeta Hindu Brahman, yang merupakan kasta tertinggi dalam Hindu. Sejak usia 16 tahun, ayah Mohur mengirimnya ke India. Setelah dia diterima di sebuah universitas di Rajasthan, Mohur akhirnya tinggal di India, di mana dia menyelesaikan gelar sarjana fisika.
Dia berencana untuk mendaftar program magister di Inggris, ketika dia menerima kabar bahwa ayahnya telah meninggal. Karena keluarganya mengalami masalah keuangan, dia merasa harus kembali ke Mauritius. Ia pulang untuk membantu keluarganya.
Saat itu, pekerjaan sangat sulit didapat di Mauritius. Mohur telah mendengar bahwa Italia tidak seketat beberapa negara lain, jadi dia berimigrasi ke sana untuk mencari pekerjaan pada pertengahan 1980-an. Setelah lebih dari satu dekade tinggal dan bekerja di Italia, Mohur dipekerjakan oleh keluarga Acutis pada Desember 1995 untuk membantu merawat Carlo.
‘‘Saya bertemu Carlo, anak yang sangat kecil,’’ kenang Mohur.
Mohur mengenang, pada hari-hari hujan, Acutis kadang-kadang menonton kaset video kartun tentang kisah Alkitab dan kehidupan orang-orang kudus bersama dengan Mohur, yang menonton dengan penuh minat karena dia tidak terlalu mengenal Katolik.
“Dia telah membentuk kebiasaan, membaca rosario suci setiap malam sebelum tidur,” kenang Mohur.
Acutis memberi tahu Mohur bahwa seseorang dapat berdoa rosario tanpa dibaptis, tetapi hanya umat Katolik yang taat yang dapat menerima Ekaristi kudus. Acutis menjelaskan bahwa Ekaristi adalah puncak dari amal dan kebajikan diperoleh melalui kehidupan sakramental.
‘‘Dia hafal Katekismus Gereja Katolik dan menjelaskannya dengan sangat cemerlang sehingga dia berhasil membangkitkan semangat saya tentang pentingnya sakramen-sakramen,” kata Mohur.
Mohur akhirnya terpanggil menjadi Katolik. Pelan-pelan, hidup Mohur berubah. Ada rasa cinta pada nilai-nilai kristiani.
Empat tahun setelah pertemuan pertama Acutis, Mohur dibaptis. Dia berusia 30-an saat itu, dan sebagai orang dewasa yang memasuki Gereja Katolik, dia menerima sekaligus semua sakramen inisiasi Katolik: pembaptisan, Komuni pertama, dan penguatan dalam Misa di paroki Acutis pada tahun 1999.
Setelahnya, Mohur selalu menemani Acutis menghadiri Misa harian. Ketika ibu Mohur datang dari Mauritius untuk mengunjungi putranya di Milan beberapa tahun kemudian, Acutis mengundang ibu Mohur untuk ikut bersama mereka ke Misa. Acutis berbicara kepada ibu Mohur dalam bahasa Inggris. Acutis menceritakan kisah penampakan Perawan Maria di Lourdes, Prancis, sedemikian rupa sehingga dia ingin mengunjungi situs ziarah itu. Dengan bantuan keluarga Acutis, ibu Mohur tinggal di Lourdes selama seminggu.
Ketika dia kembali ke Mauritius, dia meminta untuk dibaptis. Setelah pembaptisannya, ibu Mohur mengunjungi orang sakit di Mauritius dan berdoa bersama mereka, menggunakan air suci dari Lourdes.
“Itu keajaiban Carlo. Dia juga bisa mengubah saya dan ibu saya,” kata Mohur.

Katekis Belia
Selain Mohur, keluarga Acutis juga pernah mempekerjakan seorang pengasuh asal Polandia. Dari pengasuh ini, Carlo sering mengajukan pertanyaan-pertanyaannya tentang Tuhan dan Gereja yang dijawab oleh pengasuh itu. Namun, Carlo tidak hanya sekadar bertanya, ia juga menghidupi imannya.
Pada usia 12 tahun, ia menjadi seorang katekis di parokinya, Santa Maria Segreta. Ia menjadi katekis termuda, karena pelayanan ini biasanya diberikan kepada para remaja usia 17 tahun ke atas.
Pada tahun 2005, Carlo mulai belajar di sekolah baru yang dikelola oleh para Jesuit. Selama masa ini, Carlo menunjukkan keahliannya dalam segala hal yang berkaitan dengan teknologi informasi, komputer, dan internet. Ia terinspirasi oleh Steve Jobs, mantan CEO Apple. Kebijaksanaan yang dibagikan Jobs menyentuh hati Carlo muda: “Waktumu terbatas, jadi jangan sia-siakan dengan menjalani hidup orang lain.”
Carlo dikenal karena kehidupan rohaninya yang mendalam, juga karena kemahirannya dalam dunia teknologi. Di antara teman-teman dan orang-orang di sekitarnya. Di usia belia, ia menguasai berbagai bahasa pemrograman, seperti Java dan C++, dan tak jarang membantu orang lain menyelesaikan masalah teknis yang mereka hadapi.
Di sini, ia melihat peluang menjadiakan dunia maya sebagai sarana dan tempat pewartaan iman. Carlo diminta oleh pastor parokinya di Santa Maria Segreta, Milan, untuk membuat situs web paroki ketika usianya baru 14 tahun. Kemudian, seorang imam di sekolahnya juga meminta bantuannya untuk membuat situs web yang mempromosikan karya sosial.
Karya terbesar Carlo dalam dunia digital lahir dari cintanya pada Ekaristi. Ia membuat sebuah situs web yang mendokumentasikan dan mengkatalogkan setiap mukjizat Ekaristi yang pernah dilaporkan di seluruh dunia. Tidak hanya itu, ia juga menyusun daftar penampakan Maria yang telah disetujui oleh Gereja Katolik. Carlo meluncurkan situs tersebut pada tahun 2004 dan mengerjakannya dengan tekun selama dua setengah tahun. Ia bahkan melibatkan seluruh anggota keluarganya dalam proyek iman ini.
Pameran perdana dari hasil karyanya tersebut dijadwalkan pada 4 Oktober 2006, bertepatan dengan pesta Santo Fransiskus dari Assisi. Sayangnya, pada masa-masa itu, Carlo mulai dirawat di rumah sakit karena leukemia. Ia tidak dapat menghadiri peluncuran pameran di Gereja San Carlo Borromeo di Roma. Meskipun begitu, karyanya tetap dipamerkan dan disambut hangat, termasuk di sekolahnya, Institut Leo XIII.
Carlo menunjukkan kepada dunia bahwa teknologi modern bukanlah lawan dari iman, melainkan alat yang dapat digunakan untuk menyebarkan kasih Tuhan. Lewat tangan-tangannya yang muda dan pikirannya yang jernih, ia membuktikan bahwa kekudusan bisa berjalan beriringan dengan kecanggihan zaman.
Di tengah tugas itu, Carlo dikenal sebagai pribadi yang jujur, bersahaja, dan berkomitmen untuk mengasihi Tuhan. Ia rajin belajar, baik dalam pelajaran sekolah maupun dalam bidang ilmu komputer yang ia gemari.
Kehidupan spiritualnya pun tidak lepas dari ketertarikan pada teladan para santo dan santa. Ia mengagumi Santo Fransiskus dari Assisi, Santo Antonius dari Padua. Ia juga berdevosi kepada “anak-anak visioner dari Fatima”, Francisco dan Jacinta Marto. Orang kurus lain yang menjadi panutannya adalah: Santo Dominikus Savio, Tarcisius, dan Santa Bernadette, serta Santo Mikael Malaikat Agung. Carlo rutin berdoa kepada malaikat pelindungnya itu.
Kesaksian akhir
Melalui keseharian yang sederhana namun penuh kasih, Carlo Acutis memberi teladan bahwa kekudusan bukan soal tampil mencolok, melainkan tentang kesetiaan dalam hal-hal kecil—doa, kasih, dan ketulusan hati.
Pada tanggal 1 Oktober 2006, Carlo mengalami radang tenggorokan. Orang tuanya membawanya ke dokter yang mendiagnosis parotitis dan dehidrasi, yang dikonfirmasi oleh dokter kedua, seorang teman keluarga. Beberapa hari kemudian, nyeri Carlo memburuk dan terdapat darah dalam urine-nya.
Pada hari Minggu, 8 Oktober, Carlo terlalu lemah untuk bangun dari tempat tidur untuk menghadiri Misa. Ia dibawa ke klinik spesialis penyakit darah, dan didiagnosis menderita leukemia promielositik akut. Ia hanya memiliki sedikit peluang untuk pulih. Ia dilarikan ke unit perawatan intensif dan dipasangi ventilator. Setelah semalaman tidak bisa tidur, Acutis dipindahkan ke Rumah Sakit San Gerardo di utara Milan, salah satu dari hanya tiga rumah sakit di Italia yang memiliki fasilitas untuk merawat kondisinya.
Staf rumah sakit memanggil pendeta mereka untuk memberikan pengurapan kepada orang sakit. Ketika seorang perawat datang untuk merawat Carlo, perawat tersebut memintanya untuk tidak membangunkan orang tuanya karena mereka sudah sangat lelah dan ia tidak ingin membuat mereka semakin khawatir.
Carlo mempersembahkan penderitaannya untuk Paus Benediktus XVI dan Gereja Katolik, dengan mengatakan.
“Saya mempersembahkan kepada Tuhan penderitaan yang harus saya tanggung untuk Paus dan untuk Gereja.”
Para dokter yang merawat penyakit terakhirnya bertanya apakah ia merasakan sakit yang luar biasa, dan ia menjawab, “Ada orang-orang yang jauh lebih menderita daripada saya”.
Sebelum ajalnya tiba, Carlo berpesan kepada ibunya adalah: “Ibu, jangan takut. Sejak Yesus menjadi manusia, kematian telah menjadi jalan menuju kehidupan, dan kita tidak perlu menghindarinya. Marilah kita mempersiapkan diri untuk mengalami sesuatu yang luar biasa dalam kehidupan kekal”.
Carlo dinyatakan mati otak pada 11 Oktober, di usia 15 tahun. Ia meninggal keesokan harinya, 12 Oktober 2006.