ENDE, Pena Katolik – Negara Indonesia selalu memiliki bauran cerita antara jejak, perjuangan intelektual, kebudayaan dan politik. Pertumbuhan dan majunya Indonesia juga memiliki dasar filosofis tajam dengan menggabungkan kebudayaan, cara pandang masyarakat, visi dan misi hingga kecerdasan budaya yang kemudian dibaur dan melebur dalam perumusan Pancasila.
Kelahiran dan eksistensi Pancasila itulah kemudian menjadi dasar NKRI sebagai filosofis kehidupan bermasyarakat yang terus-menerus menjadi patokan hidup sebagai manusia Indonesia. Ribuan kandungan nilai dilebur dalam Pancasila karenanya Pancasila menjadi patokan filosofis yang kokoh dan menjadi alasan kuat hidup, tinggal dan berkembang ditengah masyarakat.
Persis di Biara St Yosef Ende, Flores, sejak lama merupakan tempat tinggal sekaligus tempat kerja para pastor ordo SVD (Societas Verbi Divini) atau Serikat Sabda Allah di lingkungan Gereja Katolik. Belakangan atau sejak lebih dua tahun lalu, ruang tamunya diubah menjadi Serambi Soekarno. Bangunan beranda itu bertemali erat dengan jejak sejarah kelahiran Pancasila.

Dua pertanyaan menantang
Bung Karno harus menjalani masa pembuangan di kampung nelayan Ende (Flores), sejak 14 Januari 1934 hingga 18 Oktober 1938. Ia tinggal di kampung nelayan Ende yang kini menjadi kota Kabupaten Ende, yang pada tahun 1930-an hanyalah sebuah perkampungan miskin berpenduduk sekitar 5.000 jiwa.
Ada kisah paradoks dari pengasingan Bung Karno, kisah yang berujung lahirnya Pancasila. Seperti diketahui, musuh utama Bung Karno adalah Pemerintah Kolonial Belanda. Namun ketika menjalani masa tahanan selama lebih empat tahun di Ende, Bung Karno justru bersahabat rapat dengan para pastor yang semuanya berasal dari Belanda. Mereka di antaranya P. Johanes Bouma SVD dan P. Geradus Huijtink SVD. Kedua pastor ketika itu memangku jabatan penting di lingkungan Gereja Katolik.
P. Johanes Bouma SVD sebagai Pemimpin SVD Regio Sunda Kecil (meliputi wilayah Bali, NTB dan NTT). Sedangkan P. Geradus Huijtink SVD sebagai Pastor Paroki Katedral Ende (P. Dami Mukese SVD, dalam buku: …ut verbum Dei currat 100 Tahun SVD di Indonesia, Penerbi Ledalero, 2013). Bersama biarawan se-ordo lainnya, P. Johanes Bouma SVD dan P. Geradus Huijtink SVD ketika itu sebagai penghuni Biara St Yosef, satu kompleks dengan Gereja Katedral Ende.
Berkat persahabatan rapat dengan P. Johanes Bouma SVD dan P. Geradus Huijtink SVD, Bung Karno diizinkan kapan saja berkunjung ke biara itu. Bung Karno bahkan diizinkan pula melahap berbagai jenis buku dan bahan bacaan lainnya yang ada di perpustakaan Biara St Yosef Ende.
Bermodal persahabatan itu pula membuat Bung Karno tak sungkan mendiskusikan berbagai hal dengan para pastor, terutama P. Johanes Bouma SVD dan P. Geradus Huijtink SVD. Tema diskusi macam-macam, termasuk gagasan perjuangan Bung Karno memerdekakan bangsa Indonesia dari penjajahan Belanda. Ternyata gagasan Bung Karno itu mendapat respons positif dari kedua pastor, namun dengan dua pertanyaan menantang.
Kedua pastor di sela sela diskusi hangat dengan Bung Karno, melontarkan dua pertanyaan medasar. Pertama, “di manakah tempat mamamu yang beragama Hindu itu di dalam negara yang mayotitas Muslim?” Lalu pertanyaan kedua: “di manakah tempat bagi orang orang Flores yang mayoritas Katolik dalam negara yang Marxis dan mayoritas Muslim itu?”
Konon, atas kedua pertanyaan menantang itulah yang membuat Bung Karno berpikir keras. Fokusnya, tentang bagaimana merumuskan dasar negara yang akan dibentuknya sungguh menjadi rumah bersama bagi segenap bangsa dengan berbagai latar belakang suku, agama, ras dan antargolongan.
Kedua pertanyaan terus menginspirasi dan menantang Bung Karno untuk mengkajinya secara cermat. Sang Pejuang lalu mematangkan kajiannya melalui permenungan khusus untuk menggali dan menghimpun butir butir dasar negara bernama Pancasila. Uniknya lagi, permenungannya itu dilakukan pada Jumat malam, di bawah naungan pohon sukun, menghadap ke laut Pantai Ende. Pohon sukun “sakral” yang kini bertahan adalah duplikatnya. Posisinya di titik yang sama, persisnya di tepi barat Lapangan Perse Ende, kini dalam kompleks Taman Rendo.

Pengakuan Bung Karno
Tentang kisah permenungan khusus Bung Karno menggali dan merumuskan sila sila Pancasila ketika menjalani masa pembuangan di Ende, tentu saja tidak diragukan. Sumbernya justru dari pengakuan Bung Karno sendiri. Setelah menjadi Presiden pertama RI, Soakarno berkesempatan mengunjungi Ende, tahun 1950.
Saat berpidato di Lapangan Perse Ende, Sang Proklamator dilaporkan sempat menunjuk pohon sukun di tepi barat Lapangan Perse Ende. Sang Presiden ketika itu mengakui, di bawah pohon sukun itulah ia merenung dan menggali butir butir mutiara yang kemudian menjadi rangkaian Pancasila.
Tidak bisa disangkal kalau P. Johanes Bouma SVD dan P. Geradus Huijtink SVD meninggalkan jasa amat berharga bagi bangsa dan negara Indonedia yang berlandaskan Pancasila. Mungkin bukan Pancasila yang mejadi pilar idelogis bangsa Indonesia, jika perjuangan Bung Karno tanpa jejak persahabatan dengan kedua pastor Belanda itu. Dua pertanyaan menantang P. Johanes Bouma SVD dan P. Geradus Huijtink SVD dalam percakapan itens dengan Bung Karno, ternyata jadi pendorong kuat bagi Sang Pejuang hingga berhasil melahirkan Pancasila.
Seperti diakui pemrakarsa pembangunan Serambi Soekarno Ende, P Henri Daros SVD, percakapan itens antara Bung Karno dengan P. Johanes Bouma SVD dan P. Geradus Huijtink SVD selalu berlangsung di ruang tamu Biara St Yosef Ende. Karena menjadi jejak sejarah bernilai tinggi, maka ruang tamu lalu dipugar menjadi Serambi Soekarno. Beranda bersejarah itu langsung dilengkapi pojok baca sejarah perjuangan Bung Karno, patung Bung Karno dan juga lukisan yang menampilkan Bung Karno bersama dua sahabatnya, P. Johanes Bouma dan P. Geradus Huijtink (serambinews.com, 29/11/2020).
Ujud pembangunan Serambi Soekarno, jelas. Sepenuhnya mengenang perjuangan sekalian menghormati jejak persahabatan Bung Karno dengan para tokoh misionaris Katolik ordo SVD terutama Pater Bouma dan Pater Huijtink. Karena jejaknya tegas dan monumental pula, maka sepantasnya menempatkan Serambi Soekarno sebagai jejak awal rahim Pancasila.
Kehadiran Serambi Soekarno semakin memperkaya jejak perjuangan Sang Prokalamtor ketika menjalani masa pembuangan di Ende. Masih banyak jejak lainnya. Di antaranya rumah tempat tinggalnya yang telah menjadi Situs Bung Karno. Juga ada patung Bung Karno sedang merenung, di sekitar pohon sukun, yang juga disebut sebagai Pohon Pancasila.
Persahabatan Bung di Ende
Menjalani masa pembuangan selama 3 setengah tahun di Ende yang terpencil, Bung Karno muda menjalin hubungan persahabatan dengan para Pastor di Biara Santo Yoseph. Menghabiskan sebagai waktunya dengan berdiskusi dan membaca buku yang ada di perpustakaan disana.
Menurut cerita Pater Bouma, persahabatan mereka dengan Soekarno sangat dirahasikan, karena terus dipantau oleh Belanda saat itu. Tidak ada foto atau gambar apapun tentang hubungan persahabatan mereka, agar tidak meninggalkan jejak atau bukti apapun. Sementara dari Pater Dr. Mathias seorang sejarahwan menceritakan sejarah perpolitikan Italia, di mana perdana mentri Italia Benito Mussolini yang terkenal saat itulah menjadi topik diskusi mereka. Sementara dari Pater Adriaan membagikan ceritanya bersama Bung Karno adalah ketiak mereka menghabiskan banyak waktu bersama di pendopo biara. Pater Ardiaan kata Henri Daros, sangat mengagumi bung Karno yang memiliki kecerdasan yang luar biasa dan memilikio cita-cita besar untuk Indonesia merdeka.
“Mereka membagikan cerita ini kepada saya, ketiak saya masih sebagai frater muda. Saya senang mendengarnya secara langsung dari para pelaku sekaligus tokoh sejarah,”ungkap Pater Henri. Untuk dua sahabat lainnya yakni Djae Bara dan Ruslan, membagi kisah mereka ketika menjadi pemain tonel. Jika ada tokoh perempuan dalam cerita itu, maka Ruslan yang akan menjadi pemerannya.