JAKARTA, Pena Katolik – Semboyan “100% Katolik, 100% Indonesia” yang dicetuskan oleh Mgr. Soegijapranata, SJ, adalah panggilan luhur yang menggambarkan identitas ganda umat Katolik Indonesia: sepenuhnya setia pada iman Katolik, dan sepenuhnya mencintai serta membangun bangsa Indonesia. Namun, seperti yang diuraikan dalam materi di atas, semangat itu kini menghadapi tantangan serius dalam pelaksanaannya, bukan karena umat tak mampu, melainkan karena sistem Gereja yang mengalami pergeseran makna dan orientasi.
Awalnya, Mgr. Soegija mendorong terbentuknya “kring” sebagai komunitas terkecil umat Katolik, yang kini dikenal sebagai “lingkungan”. Lingkungan menjadi tempat di mana awam Katolik hidup sebagai rasul—tidak di altar, tetapi di jalanan, di kantor, di desa, di kampus, di mana saja mereka berada sebagai bagian dari masyarakat Indonesia. Iman diwujudkan dalam tindakan nyata, bukan hanya dalam ritus dan liturgi. Lingkungan menjadi sarana keterlibatan sosial umat Katolik dalam kehidupan bermasyarakat.
Kini, realitasnya berbeda. Lingkungan lebih sering diposisikan sebagai perpanjangan tangan struktur hirarkis Gereja. Aktivitasnya lebih banyak berkutat pada ibadat, seremonial, dan rutinitas keagamaan, bukan pada transformasi sosial atau keterlibatan aktif dalam masyarakat. Identitas awam terseret ke altar, padahal panggilan mereka justru di dunia luar, untuk menyucikan dunia melalui hidup yang penuh kesaksian.
Ada pergeseran bahkan perubahan makna di sini, yang bisa jadi merupakan persoalan serius. Pemahaman awam tentang Lingkungan menyebabkan mereka kehilangan pemahaman atas jati diri dan misinya. Kenyataan ini menjadikan Gereja kehilangan salah satu kekuatan utamanya. Menjadi Katolik tentu tidak hanya berarti tekun misa, berdoa, dll. Menjadi Katolik terlebih diharapkan aktif memperjuangkan keadilan, menjadi garam dan terang di masyarakat, menyatu dengan realitas Indonesia yang plural, kompleks, dan penuh tantangan.
Lingkungan adalah cara yang dipilih Mgr. Soegija untuk membantu umat Katolik mengaktualisasi diri menjadi bagian dari Indonesia. Umat Katolik harus “nyawiji” menyatu dengan Indonesia sepenuh-penuhnya. Inilah esensi dari “100% Katolik, 100% Indonesia”. Maka, ketika berbicara tentang menghidupkan kembali semangat “100% Katolik, 100% Indonesia” berarti mereformasi kembali cara kita memahami Lingkungan dan peran awam.
Gereja harus berani menggeser fokus dari altar ke dunia nyata, dari ritus ke aksi, dari struktur ke relasi. Lingkungan harus menjadi saranan untuk “membawa altar ke pasar”. Praktik keagamaan umat Katolik perlu disatukan dengan realitas duniawi. Dengan demikian, menjadi seorang Katolik bentuk kesaksiannya adalah hidup sepenuhnya di tengah dunia sesuai dengan perannya. Lingkungan menjadi jaringan umat yang hidup, saling menguatkan dalam kehidupan sehari-hari, membentuk iman yang kontekstual, dan relevan bagi masyarakat sekitarnya.
Lingkungan jangan sampai menjadi “batasan” yang menjadikan umat Katolik “eksklusif” dan menjauhkannya dari realitas dunia. Lingkungan justru harus menjadi tanda kehadiran umat di dalam masyarakat Indonesia yang majemuk. Sudah saatnya awam Katolik bangkit dari keterbatasan struktural. Menjadi Katolik bukan soal status eksklusif di dalam dunia, tetapi soal keberanian menjadi saksi Kristus dalam masyarakat Indonesia.
Di sinilah esensi menjadi “100% Katolik, 100% Indonesia” yang tetap relevan sejak kemunculannya dan akan terus relevan di Tengah kehidupan bangsa Indonesia, dengan segala kompleksitas dan tantangannya. Inilah makna sejati dari semboyan itu: iman yang utuh dan nasionalisme yang tangguh berjalan bersama.