Selasa, Agustus 19, 2025

Taliban Menghapus Kebebasan Beragama, Menyasar Kaum Perempuan dan Minoritas di Afghanistan

KABUL, Pena Katolik— Komisi Amerika Serikat untuk Kebebasan Beragama Internasional (USCIRF) merilis laporan baru yang mengungkap penurunan drastis kondisi kebebasan beragama di Afghanistan, empat tahun setelah pengambilalihan kekuasaan oleh Taliban.

Laporan yang diterbitkan pada 15 Agustus 2025 ini secara khusus menyoroti dampak dari Undang-Undang Penyebaran Kebajikan dan Pencegahan Kejahatan yang diberlakukan oleh Taliban sejak Agustus 2024. Menurut USCIRF, hukum moralitas baru ini tidak hanya menghapus kebebasan beragama secara sistematis, tetapi juga semakin menindas kaum perempuan dan kelompok minoritas agama.

Dalam hukum yang terdiri dari 35 pasal ini salah satu pasalnya secara tegas mengkriminalisasi siapa pun yang menganut agama selain Islam Sunni. USCIRF mencatat bahwa umat non-Muslim terpaksa menjalankan keyakinannya secara sembunyi-sembunyi, karena jika ketahuan bisa berujung pada penangkapan, penyiksaan, bahkan kematian.

Menteri Taliban untuk Penyebaran Kebajikan dan Pencegahan Kejahatan, Khalid Hanafi, bahkan dilaporkan menyebut umat Hindu, Yahudi, Kristen, dan Sikh sebagai “lebih buruk dari binatang berkaki empat” karena dianggap menyimpang dari syariah dan Al-Qur’an.

Kaum perempuan, baik Muslim maupun non-Muslim, menjadi salah satu kelompok yang paling terdampak oleh undang-undang ini. Mereka diwajibkan menutup seluruh tubuh dan wajah. Mereka juga dilarang keluar rumah tanpa pendamping laki-laki, serta tidak diperbolehkan berbicara, menyanyi, atau bahkan melantunkan ayat suci Al-Qur’an di depan umum.

USCIRF menyatakan, “Undang-undang ini memperlakukan suara perempuan sebagai sesuatu yang bersifat ‘intim’ dan harus disembunyikan.”

Sejak 2025, perempuan dan anak perempuan di Afghanistan juga masih dilarang mengenyam pendidikan di atas usia 12 tahun. Larangan ini, dipadukan dengan UU moralitas, membuat partisipasi perempuan dalam kehidupan publik—termasuk dalam ekspresi keagamaan—hampir mustahil.

Persyaratan pendamping pria juga menciptakan hambatan besar, terutama bagi janda yang tidak memiliki kerabat laki-laki, menjadikan mereka lebih rentan secara sosial maupun hukum.

Kementerian Penyebaran Kebajikan dan Pencegahan Kejahatan Taliban yang didirikan kembali pasca pengambilalihan kekuasaan tahun 2021 bertanggung jawab atas penegakan hukum ini. Taktik-taktik penegakan hukum yang digunakan mencakup pengawasan ketat, penangkapan sewenang-wenang, pemaksaan pindah agama, pemukulan, ancaman pembunuhan, hingga penyiksaan.

Dalam salah satu kasus yang dikutip dari laporan PBB, 50 Muslim Ismaili dipaksa berpindah menjadi Sunni, dan seorang pria Ismaili di Provinsi Badakhshan dibunuh setelah disiksa secara brutal saat berada dalam tahanan Taliban. USCIRF menambahkan bahwa identitas etnis atau agama seseorang memengaruhi tingkat kekerasan yang diterima selama dalam tahanan, terutama terhadap umat Kristen dan etnis Hazara.

Laporan ini menegaskan bahwa situasi kebebasan beragama di Afghanistan berada dalam krisis serius. USCIRF menyerukan perhatian dan tindakan dari komunitas internasional untuk melindungi hak-hak dasar semua warga Afghanistan, terutama kelompok yang saat ini paling rentan dan teraniaya.

Komentar

Tinggalkan Pesan

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Terhubung ke Media Sosial Kami

45,030FansSuka
0PengikutMengikuti
75PengikutMengikuti
0PelangganBerlangganan

Terkini