JAKARTA, Pena Katolik – Dalam Injil Matius 17:1-2, dituliskan: “Yesus membawa Petrus, Yakobus, dan Yohanes, saudaranya, dan bersama-sama mereka Ia naik ke sebuah gunung yang tinggi. Lalu Ia berubah rupa di depan mereka.” Kata dalam bahasa Yunani untuk “berubah rupa” adalah metemorphothe, yang menjadi akar kata metamorfosis dalam bahasa Inggris. Ini menunjukkan bahwa Yesus benar-benar berubah rupa — bukan sekadar penampakan simbolis — namun sebuah manifestasi sejati dari keilahian-Nya melalui kemanusiaan-Nya.
Wajah-Nya bersinar seperti matahari, pakaian-Nya putih berkilauan seperti cahaya — penampakan yang sungguh melampaui pengalaman manusia. Kilau kemuliaan ini berasal dari kodrat ilahi Yesus sendiri, yang dalam sekejap “menyingkap tirai” kemanusiaan-Nya agar para rasul dapat melihat seberkas cahaya surga yang sejati.
Transfigurasi juga merupakan pratinjau akan Kebangkitan. Dalam momen ini, Yesus memperlihatkan rupa kemuliaan-Nya yang kelak akan dikenakan setelah bangkit dari kematian. Maka, transfigurasi menjadi gambaran tubuh mulia yang akan dianugerahkan kepada-Nya — dan kelak juga kepada semua yang percaya. Dengan memperlihatkan kemuliaan ini sebelum penderitaan-Nya, Yesus ingin menguatkan iman para rasul-Nya yang sebentar lagi akan menyaksikan kegelapan Getsemani dan kehancuran salib.
Musa dan Elia
Yang membuat peristiwa ini semakin istimewa adalah kehadiran dua figur besar Perjanjian Lama: Musa dan Elia. Mengapa mereka? Musa, pembawa Hukum Taurat, melambangkan hukum Allah yang mengatur hidup umat-Nya. Ia juga adalah pemimpin eksodus, pembebas umat dari perbudakan Mesir. Dalam Keluaran 34:29-35, wajah Musa pun bercahaya saat turun dari Sinai, mencerminkan kemuliaan Allah—paralel yang tidak kebetulan dengan wajah Yesus yang bersinar.
Elia, sang nabi agung yang tidak mengalami kematian melainkan diangkat ke surga dengan kereta berapi (2 Raja-raja 2:11), mewakili seluruh nabi. Kehadirannya mengingatkan akan nubuat Maleakhi bahwa Elia akan datang kembali sebelum Hari Tuhan yang besar dan dahsyat (Maleakhi 4:5).
Injil Lukas mencatat bahwa ketiganya — Yesus, Musa, dan Elia — sedang berbicara tentang “kepergian-Nya” (exodos) yang akan digenapi di Yerusalem (Luk 9:31). Istilah exodos ini tidak hanya menunjuk pada kematian, tetapi juga menggemakan kisah keluaran Israel dari Mesir. Maka, Yesus adalah Musa baru yang akan membawa eksodus rohani — bukan dari Mesir, tetapi dari kuasa dosa dan maut.
Makna Eskatologis
Peristiwa ini memuat makna eskatologis mendalam: Yesus tidak hanya menggenapi Hukum dan Para Nabi, Ia melampaui dan menggenapi mereka dalam pribadi dan karya-Nya sebagai Mesias. Transfigurasi menjadi semacam “penegasan ilahi” bahwa seluruh sejarah keselamatan mengarah pada Kristus. Suara dari surga menegaskan: “Inilah Anak-Ku yang Kukasihi, kepada-Nyalah kamu harus mendengarkan!” (Mat 17:5).
Ini adalah wahyu puncak, bahwa Yesus bukan hanya guru, nabi, atau pembuat mukjizat — Ia adalah Anak Allah yang sejati, perwujudan kemuliaan ilahi yang menjadi manusia. Dalam cahaya inilah, perjalanan menuju salib memperoleh makna: kemuliaan hanya bisa diraih melalui penderitaan dan kasih yang total.
Iman dan Transfigurasi
Lebih dari sekadar peristiwa historis, Transfigurasi juga memiliki makna batiniah bagi setiap orang percaya. Seperti yang diajarkan Gereja, kita dipanggil untuk mengalami “transfigurasi” rohani — perubahan hidup — melalui karya Roh Kudus. Santo Paulus menulis: “Kita diubah menjadi serupa dengan gambar-Nya, dalam kemuliaan yang semakin besar” (2 Kor 3:18).
Dengan memandang Yesus yang mulia di gunung, kita juga diarahkan untuk menatap kehidupan kekal sebagai tujuan akhir, sembari menjalani proses transformasi batin sehari-hari — melalui penderitaan, pengorbanan, doa, dan kasih yang tak kenal lelah.
Gunung Tabor ke Kalvari
Transfigurasi Yesus di Gunung Tabor adalah peristiwa luar biasa yang menyatukan masa lalu (Hukum dan Para Nabi), masa kini (panggilan untuk percaya), dan masa depan (pengharapan akan kemuliaan kekal). Di tengah dunia yang sering gelap, Yesus menunjukkan bahwa cahaya ilahi tetap bersinar — dan bahwa penderitaan tidak akan menjadi kata akhir.
Dari Tabor menuju Kalvari, lalu menuju Surga — inilah perjalanan iman yang diwartakan oleh peristiwa Transfigurasi: bahwa di balik salib, ada kemuliaan; di balik duka, ada harapan; dan di balik kemanusiaan, ada ilahi yang mengundang kita untuk menjadi serupa dengan-Nya.