Minggu, Agustus 3, 2025

Spiritualitas Air dalam Panggilan Religius Romo Kirjito

MUNTILAN, Pena Katolik – Suatu hari, Bambang Ismawan berani saja mencoba mengkonsumsi “air strum” hasil produksinya. Konon, air itu baik untuk kesehatan. Yang dimaksud dengan “air strum” ini adalah air yang diolah dengan dialiri listrik. Dengan proses ini, maka tingkat keasaman air akan berubah.

Pada hari-hari awal mengkonsumsi air itu, ternyata Bambang justru mengalami sedikit gangguan dalam pendengarannya. Ia pun pergi ke dokter, dan mendapati bahwa tidak ada masalah apapun di dalam organ pendengarannya. Dokter mengatakan, kesehatan dan kebersihan organ dengarnya justru dalam kondisi yang sangat baik.

Mendapati kenyataan ini, Bambang tidak lantas berhenti mengkonsumsi “air strum” itu. Benar saja, lambat laun gangguan pendengarannya hilang dan sebagai hasilnya, kondisi kesehatannya juga semakin baik. Ia meyakini, hal ini berkat kasiat “air strum” yang dikonsumsi itu.

Memanen Hujan

Ide untuk mengolah air dengan cara dialiri listrik didapatkan Bambang dari Komunitas yang diinisiasi Romo Vincensius Kirjito. Imam Keuskupan Agung Semarang ini bersama sejumlah orang telah lama mengolah air hujan dengan cara dialiri listrik. Dengan cara itu, akan dihasilkan air dengan tingkat asam dan basa tertentu yang dapat dikonsumsi.

Cara yang dijalankan Romo Kir dan teman-temannya ini adalah satu cara yang dapat dipilih untuk mengolah air hujan. Ia mengungkapkan, air hujan sebenarnya memiliki banyak manfaat, namun masyarakat masih banyak yang belum sadar untuk mengolah dan memanfaatkannya.

Teknik pengolahan air hujan yang dilakukan Romo Kirjito ini sebenarnya dengan metode ionisasi. Ia menggunakan arus listrik searah (DC) bertegangan 220 volt. Arus listrik dialirkan ke konduktor stainless foodgrade pada dua bejana yang berhubungan dan berisi air hujan. Ia mengatakan makin lama proses ionisasi, perbedaan pH antara dua bejana makin tinggi, satu bejana kian basa, yang lain makin asam. Air basa bisa langsung konsumsi, yang asam untuk pupuk tanaman.

Romo Kir meyakini, bahwa tidak ada air hujan yang keruh. Hal inilah mengapa, kualitas air hujan sebenarnya lebih baik dibanding air tanah.

“Tidak ada air hujan yang keruh, mari kita mulai mengangkat kembali derajat air hujan ini,” ujarnya.

Hingga kini, Romo Kir telah enam tahun meneliti dan mengkapanyekan manfaat air hujan bagi manusia. Tak kurang dari sepuluh ribu orang telah merasakan manfaat air hujan berkat ilmu yang Romo Kir bagikan. Mereka tersebar di berbagai penjuru Indonesia mulai dari Sumatera hingga Papua.

“Saya tidak membentuk organisasi. Mereka belajar ke sini sampai jadi pembelajar lagi di daerahnya,” harapnya.

Salah satu yang saat ini memiliki alat untuk mengolah air hujan dengan dialiri listrik ini dilakukan di Wisma Hijau Depok, Jawa Barat. Kantor pusat Yayasan Bina Swadaya ini sejak setahun lalu memiliki alat untuk mengolah air hujan. Mereka juga memiliki penampungan air hujan yang cukup besar.

Romo Kir mengajak warga untuk mulai menampung dan mengendapkan air tersebut selama dua hingga tiga hari, kemudian dimasak lalu diminum.

“Bisa juga air hujan dimasukkan ke dispenser. Meski belum optimal, tapi itu bisa dilakukan. Per hari paling kita hanya butuh dua liter air minum,” sarannya.

Ia mengandaikan, kalau sepuluh juta rumah penduduk Jakarta, masing-masing menampung sepuluh liter air hujan tiap turun hujan, maka banjir yang melanda Jakarta bakal berkurang.

Romo Vincencius Kirjito saat mengolah air hujan. IST

Dari Merapi

Tahun 2000, Romo Kir mendapat tugas pelayanan di Lereng Merapi, Pakem, Yogyakarta. Saat erupsi satu tahun setelahnya, Romo Kirjito melihat di ketinggian tak sampai 1.000 meter, pepohonan hijau lebat, namun tak ada sumber air yang ditemukan. Sejak itu timbul keinginannya untuk meneliti sekaligus melakukan konservasi masyarakat cinta air. Selama sekitar sembilan tahun dia mengukur TDS dan pH dari berbagai sumber air.

Romo Kir pindah ke Kebon Arum, Klaten, Jawa Tengah pada tahun 2011 dan mulai melakukan konservasi air dan memanen air hujan. Setelah hampir 3,5 tahun berkarya di Paroki Kebonarum Klaten, pada 2014 Uskup Agung Semarang waktu itu, Mgr Johannes Maria Trilaksyanta Pujasumarta, memberi tugas khusus kepada Romo Kir untuk meneliti budaya air hujan dan cahaya, dengan menempati ruang PPSM.

Romo Kir mengajak masyarakat menjaga sumber air, menanam pohon di hulu, dan merawat hingga hilir. Kini, ia melihat warga menampung air hujan. Dia pikir, air hujan tak sehat, tapi faktanya tak ada warga terkena penyakit karena minum air hujan. Lewat uji sederhana, keasaman air dan TDS, dia ukur. Hasilnya, keasaman 7-9 dan oksigen bagus. Berawal dari itulah, Romo Kirjito serius mendorong masyarakat untuk menggunakan air hujan.

Sejak tahun 2014, Romo Kir meneliti budaya air hujan selama lima tahun. Ia mengatakan di beberapa daerah di Kalimantan, Flores, Yogyakarta, Papua dan beberapa daerah lain di Indonesia masih menggunakan air hujan untuk minum dan kebutuhan harian. Air hujan memenuhi standar sumber air bersih dan air minum, relatif sehat. Air hujan lebih baik daripada air tanah.

Sejak Januari 2019, Romo Kir sebenarnya memasuki purna tugas. Namun, imam kelahiran Kulonprogo, 18 November 1953 ini masih diizinkan untuk melanjutkan penelitiannya itu.

Romo Kir meneliti budaya hujan untuk solidaritas bagi masyarakat budaya hujan dan yang kesulitan mendapatkan air minum berkualitas menjaga kesehatan.

“Penelitian yang saya lakukan selama ini bukan penelitian akademik, tapi penelitian budaya air hujan,” jelasnya.

Hasil penelitian Rini Kir menunjukkan kualitas air hujan lebih bagus daripada air tanah, termasuk air kemasan. Ia menularkan ilmu ini ke komunitas-komunitas lain secara meluas. Seperti Yogya, Purwodadi, Bogor, Solo, Semarang, Depok, Bandung, Bekasi Jatim, Bali, Toraja, dan Nabire Papua. Di Semarang ada komunitas Udan, lalu di Purwodadi juga membuat laboratorium udan. Di Nabire Papua didirikan laboratorium udan. Di Jombang juga mendirikan pesantren air hujan.

Kesehatan nomor satu diukur dari kualitas air. Masalahnya, banyak bilang air hujan tak layak, apalagi buat konsumsi. Disebut-sebut asam, tak mengandung mineral, dan polusi. Penilaian negatif ini menjadi tantangan. Karenanya, Romo Kir ingin membantah lewat bukti ilmiah dan praktik langsung. Ilmu pengetahuan itu dari percobaan katanya. Logikanya, jika air hujan buruk pasti alam rusak, tanaman mati ketika terkena air hujan. Namun faktanya tanaman tumbuh.

Hasil penelitiannya, seperti diungkap di Mongabay.co.id, di daerah pengguna air hujan, ternyata kecerdasan anak-anak di atas rata-rata. Penelitian intensnya memperlihatkan, air hujan terbukti memiliki tingkat kepadatan mineral dalam air relatif rendah bahkan bisa dikategorikan air murni. Sementara untuk kadar pH-nya relatif aman untuk dikonsumsi.

Budayawan Rohaniwan

Selain mengkampanyekan air hujan, Romo Kir juga dikenal karena perjuangannya bersama masyarakat Lereng Merapi. Ia memberdayakan masyarakat untuk menjaga kelestarian alam sekitar dari kerusakan ekologis. Dalam aktivitas pelestarian sumber mata air Romo Kir menggunakan pendekatan budaya berupa pagelaran-pagelaran kesenian dengan mengajak warga masyarakat luas lintas etnis, budaya, dan agama.

Budaya baginya merupakan sarana universal yang dapat menampung semua kalangan, dari latar belakang agama apapun. Kiprahnya ini membuatnya lebih dikenal sebagai budayawan dibandingkan sebagai seorang imam. Ia mampu meramu pendekatan budaya untuk menyatukan warga masyarakat dalam melawan pengrusakan sumber-sumber mata air di pedesaan Lereng Merapi.

Atas kiprahnya di bidang lingkungan, agama, dan budaya ini, Romo Kir mendapat Maarif Award tahun 2010. Selain itu pada 2017, Romo Kir mendapatkan pengakuan dan penghargaan dari negara melalui Unit Kerja Presiden Pembinaan Ideologi Pancasila.

 Ia mendapat penghargaan ini bersama beberapa tokoh lintas iman. Bersama umat dan masyarakat, Romo Kir peduli menjaga lingkungan dan budaya serta kemanusiaan. Ia mengajak masyarakat untuk menghargai desa dan segala sumber dayanya. Selama ini potensi desa dikeruk untuk pembangunan kota. Namun, perlakuan masyarakat justru mengidentikkan desa dengan konotasi negatif.

“Penghargaan ini untuk masyarakat Merapi yang selama ini, dengan kesederhanaan sebagai orang desa dan gunung, telah bergulat menghadapi berbagai tantangan zaman,” katanya.

Romo Kir menyebut penghargaan itu sebagai pupuk atas semangat perjuangan masyarakat Merapi dalam menggali kearifan lokalnya.

“Seperti tanaman yang disirami dan dipupuk. Ini (Maarif Award, red.) menjadi dukungan yang luar biasa,” katanya.

Romo Kir mengaku tidak menyangka bahwa kiprahnya selama ini bergaul dengan berbagai kalangan masyarakat terutama di kawasan Merapi ternyata mendapat perhatian besar dari Maarif Institute yang didirikan tokoh nasional, budayawan, dan mantan Ketua Umum Pengurus Pusat Muhammadiyah, Syafi`i Maarif itu.

“Apa yang saya lakukan kecil-kecilan saja, ternyata ada yang memperhatikan dari jauh, oleh lembaga independen dengan pengurus yang kredibel, dewan juri yang independen,” katanya. (Hermina Wulohering/Antonius E. Sugiyanto)

Komentar

Tinggalkan Pesan

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Terhubung ke Media Sosial Kami

45,030FansSuka
0PengikutMengikuti
75PengikutMengikuti
0PelangganBerlangganan

Terkini