BANGKOK, Pena Katolik – Gencatan senjata sudah disepakati antara Thailand dan Kamboja pada 28 Juli 2025, lima hari setelah permusuhan meletus di sepanjang perbatasan kedua negara. Perdamaian ini terjadi di tengah seruan para uskup Katolik di kedua negara dan dari berbagai kelompok agama.
“Gencatan senjata tanpa syarat” tersebut mulai berlaku pada tengah malam tanggal 28 Juli 2025. Tak lama setelah kekerasan meletus, para uskup di Kamboja dan Thailand memohon perdamaian di negara-negara yang mayoritas penduduknya beragama Buddha itu.
“Dalam beberapa hari terakhir, kita telah menyaksikan banyak saudara-saudari kita meninggalkan desa mereka di perbatasan untuk mencari perlindungan di kamp-kamp,” demikian bunyi pesan perdamaian yang dikeluarkan bersama oleh tiga uskup Kamboja pada 26 Juli.
Ketiga uskup tersebut: Mgr. Olivier Schmitthaeusler, Vikaris Apostolik Phnom Penh; Mgr. Pierre Suon Hangly, Administrator Kampong Cham dan Vikaris Apostolik Koajutor Phnom Penh; dan Mgr. Enrique Figaredo, Prefek Apostolik Battambang. Mereka juga mengajak umat Katolik untuk dengan murah hati membantu mereka yang mengungsi akibat pertempuran, bekerja sama dengan Caritas Cambodia, sayap pelayanan sosial Gereja.
Dalam Doa Angelus Minggu, 27 Juli di Lapangan Santo Petrus, Paus Leo XIV mengenang “mereka yang menderita akibat konflik dan kekerasan di dunia” dan secara khusus berdoa bagi para korban konflik Thailand-Kamboja, “terutama bagi anak-anak dan keluarga yang mengungsi.”
Paus Leo juga mendesak “semua orang untuk mengupayakan dialog dan rekonsiliasi” guna memulihkan perdamaian.
Uskup Agung Bangkok, Mgr. Fransiskus Xaverius Vira Arpondarattana, yang adalah Presiden Konferensi Waligereja Thailand, mengatakan konflik perbatasan merupakan sumber keprihatinan yang mendalam. Sebagai Gereja, kita dipanggil untuk melawan ideologi-ideologi yang memecah belah dan membangun jembatan persaudaraan.
Kantor berita Katolik Italia agensir.it melaporkan pada 26 Juli, bahwa prelatus Thailand tersebut menekankan, Gereja setempat memandang ketegangan di perbatasan dengan keprihatinan yang mendalam.
Sengketa yang Berkepanjangan
Sengketa antara Kamboja dan Thailand ini telah berlangsung lebih dari satu abad. Kamboja menganggap peta kolonial tahun 1907, yang disusun oleh Prancis, sah, tetapi Thailand sebaliknya, mereka menolak.
Sengketa perbatasan dan klaim kedaulatan terutama menyangkut tiga kuil yang terletak di perbatasan bersama. Pada tahun 1962, Mahkamah Internasional menganugerahkan kuil Preah Vihear kepada Kamboja, sebuah keputusan yang dikonfirmasi pada tahun 2013, tetapi hal itu tidak menyelesaikan ketegangan.
Insiden juga terjadi antara tahun 2008 dan 2011 di sekitar wilayah perbatasan yang disengketakan telah menyebabkan bentrokan mematikan.
Pada 13 Februari 2025, ketegangan kembali berkobar ketika pasukan Thailand mencegah wisatawan Kamboja menyanyikan lagu kebangsaan mereka di kuil Prasat Ta Muen Thom.
Pada tanggal 27 dan 28 Mei, bentrokan terjadi di Chong Bok, segitiga perbatasan antara Thailand, Kamboja, dan Laos, yang mengakibatkan tewasnya seorang tentara Kamboja, yang memperburuk situasi.
Gencatan Senjata Tanpa Syarat
Thailand menuduh Kamboja memasang ranjau ilegal, yang melanggar Perjanjian Ottawa, pada 23 Juli, setelah seorang tentara Thailand kehilangan kakinya setelah menginjak ranjau tak dikenal. Namun Kamboja membantah tuduhan tersebut.
Namun, pertempuran semakin intensif keesokan harinya ketika Thailand melancarkan serangan udara F-16 dan menutup semua pos perbatasan.
Setidaknya 35 orang tewas dalam bentrokan selama lima hari, dengan 22 orang tewas di pihak Thailand dan 13 orang di pihak Kamboja.
Gencatan senjata dicapai dalam pertemuan antara para pemimpin kedua negara, yang diselenggarakan di Malaysia pada 28 Juli 2025, yang didukung oleh Amerika Serikat dan Tiongkok.
Perdana Menteri Malaysia Anwar Ibrahim, presiden Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara (ASEAN) saat ini, menjadi penengah perdamaian dan mengumumkan gencatan senjata “segera dan tanpa syarat”, menurut beberapa laporan lokal.