TORAJA, Pena Katolik – Pada tanggal 12 Februari 1953, Pastor Harry Versteden CICM didatangi oleh sekelompok orang di pastorannya di Minangga, Tana Toraja. UMat yang datang itu bermaksud meminta pelayanan Sakramen Pengurapan, untuk salah seorang keluarga mereka yang sakit.
Tak banyak cakap, Pastor Versteden pun pergi, bersama kelompok umat yang itu, untuk datang ke rumah keluarga yang sakit.
Namun, hari itu ia tak kembali lagi ke pastoran. Hari berganti, dan Pastor Versteden masih belum kembali. Kemudian barulah disadari, ia telah diculik oleh gerilyawan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII) pimpinan Kahar Muzakka.
Pelbagai usaha telah dilakukan untuk mencari keberadaan Pastor Versteden. Para imam lain dari Kongregsi Hati Maria Tak Bernoda (Congregatio Immaculati Cordis Mariae/CICM) telah menempuh semua cara untuk menemukan dan membawa pulang Pastor Versteden. Namun, usaha itu sepertinya sia-sia.
Butuh waktu Sembilan tahun hingga akhirnya Pastor Versteden dapat dibebaskan. Pastor Verstenden bahkan sudah sempat dipaksa pindah agama menjadi Islam. Lewat sebuah operasi militer, Pastor Versteden dibebaskan dan dapat kembali di tengah saudara-saudaranya keluarga CICM pada September 1961.
Pastoral di Tengah Peperangan
CICM berada di Sulawesi sejak 1936. Saat itu, Kongregasi CICM masih beranggotakan 200 orang dari Belanda, merasa sudah saatnya untuk memulai misi di wilayah Indonesia, yang saat itu disebut Hindia Belanda. Mereka menghubungi para imam Kongregasi Misionaris Hati Kudus (MSC) yang sudah mulai karya di Indonesia. Setelah pembicaraan Panjang yang juga melibatkan Vatikan, akhirnya para imam CICM diberi tanggungjawab untuk melayani di bagian selatan Sulawesi.
Tahun 1953, perlawanan DI/TII baru saja dimulai di Daerah Sulawesi. Pemeberontakan ini awalnya dipimpin S.M. Kartosuwiryo. Kemudian, di Sulawesi, gerakan ini semakin gencar ketika mulai bergabungnya Kahar Muzakar. Proklamasi resmi penggabungan kelompok Kahar ke dapam DI/TII pada 7 Agustus 1953.
Kahar bergabung karena didasari kekecewaan, ketika aspirasi mereka untuk diintegrasikan ke dalam kesatuan TNI tidak diterima. Sebelumnya, mereka adalah kelompok gerilyawan yang berjuang pada masa-masa Agresi Militer Belanda. Saat itu, pemerintah Republik Indonesia menolak masuknya mereka karena profesionalitas ketentaraan. Mereka dianggap kurang cakap untuk dijadikan tentara.
Ketika terjadi pemberontak yang dipimpin Kahar, “pejuang” asal Sulawesi itu bermaksud menyusun kekuatan dan ingin menguasai daerah Sulawesi. Aktivitas Kahar dan kelompoknya dikenal dengan aksi DI/TII di Sulawesi Selatan.
Dengan demikian ketika penculikan Pastor Versteden itu, CICM sudah berkarya hampir 20 tahun. Saat penculikan Pastor Versteden, ia sedang berkarya di Tana Toraja. Ia dikenal sebagai sosok yang ramah. Sumbangannya untuk umat di Toraja tidak hanya bidang pastoral, namun juga bidang pendidikan.
Hidup Sebagai Tahanan
Pastor Versteden mulai menghilang sejak 12 Februari 1953. Menurut para saksi, ia telah dibawa oleh sekelompok orang bersenjata dari pastoran, di mana awalnya ia diminta untuk melayani Sakramen Pengurapan. Kolega Pastor Verstedan, sesame imam CICM, Pastor M. Pijnenburg CICM menceritakan kesaksiannya pada masa-masa ini dalam buku Uit het Oirschotse Roomse leven yang ditulis Clari van Esch-van Hout.
Dalam tulisan itu, Pastor Pijnenburg mengaku mendapat surat tulisan tangan dari Pastor Versteden sendiri yang dikirimkan orang tak dikenal pada 19 Februari 1953. Dalam surat itu, Pastor Versteden memberi kabar bahwa dia masih hidup setelah sepekan diculik sekelompok orang. Belakangan diketahui, mereka merupakan bagian dari pasukan DI/TII pimpinan Kahar.
“Kamis saya ditangkap ketika saya tengah memasuki sebuah kampung. Sekarang saya ditahan sampai ada keputusan lanjutan (tentang nasibnya). Tak perlu mengkhawatirkan saya. Saya baik-baik saja dan diperlakukan baik oleh para penahan saya. Doakanlah saya,” demikian isi surat Pastor Versteden kepada Pastor Pijnenburg.
Namun, nyatanya Pastor Versteden tak kunjung kembali. Nasipnya tak jelas, apakah sudah mati atau masih hidup sebagai tahanan DI/TII.
Situasi berubah Sembilan tahun kemudian, ketika pergerakan DI/TII mulai terdesak. Kahar terpaksa menerima tawaran TNI untuk masuk dalam perundingan damai.
Entah kebetulan atau disengaja, beberapa waktu sebelum perundingan itu dimulai, Uskup Agung Makassar, Mgr. Nicolas Martinus Schneiders CICM mengutus Pastor Albert Clemens Schreurs, CICM untuk menemui petinggi TNI. Pastor Schreurs diminta untuk menanyakan keadaan Pastor Verstenden, dan memohon apakah memungkinkan untuk bisa bertemu dengannya.
Pastor Schreurs kemudian bertemu Mayor Rais Abin, dan menyampaikan permintaan Uskup Agung untuk bisa bertemu Pastor Versteden. Ketika Yusuf mendengar permintaan itu, ia malah meninginkan agar Pastor Versteden dibebaskan. Dengan syarat, operasi pembebasan ini jangan sampai ketahuan oleh Kahar, karena ditakutkan akan mengganggu perundingan yang sedang berjalan.
“Tapi jangan sampai ketahuan sama si Kahar. Aku ingin selamatkan pastor ini. Mungkin berefek positif bagi negara, di mata internasional,” ungkap Jusuf kepada Rais.
Operasi Penyelamatan
Setelah menerima perintah dai Yusuf, bergegas Rais mengatur strategi. Suatu kali, rombongan perwakilan Kahar terlihat sudah bergerak mendekati Makassar. Di antara mereka, terlihat seorang “bule” yang belakangan teridentifikasi sebagai Pastor Verstenden.
Selama masa penculikan ini, Kahar “memanfaatkan” dan bahkan “mengislamkan” imam asal Belgia itu. Fakta ini dikisahkan Rais Abin dalam biografinya berjudul Abin: Dari Ngarai ke Gurun Sinai.
Perwira denganpangkat terakhir letnan jenderal itu bahkan melihat Pastor Verstenden melaksanakan salat bersama rombongan Kahar yang lain.
“Begitu datang, ia langsung menggelar sajadah dan salat, lengkap dengan peci dan celana panjang dililit sarung,” ungkap Rais dalam biografinya.
Rupanya sejak diculik pada 1953 lalu, selain diislamkan, Versteden juga dimanfaatkan oleh Kahar Muzakkar untuk memantau siaran-siaran radio dan sejumlah surat kabar luar negeri.
Rais pun mengatur siasat, diam-diam, Rais mendatangi Pastor Versteden dan menyampaikan rencana untuk membebaskannya. Ia meminta Pastor Versteden untuk “berbohong” bahwa ia telah diculik sekelompok orang kemudian dibawa pergi ke Jakarta.
“Tolong kita bekerja sama, Anda harus melaporkan kepada kelompok Kahar, bahwa Anda diculik,” ujar Rais kepada Pastor Versteden dalam suatu pertemuan rahasia.
Rais bersama anak buahnya berhasil membawa Pastor Versteden ke Lapangan Terbang Mandai, Maros, Sulawesi Selatan, tentu tanpa sepengetahuan gerombolan DI/TII. Saat itu, kelompok Kahar memang belum datang ke tempat perundingan. Di Mandai, Pastor Versteden mengontak anak buah Kahar, dan mengatakan bahwa dia diculik. Setelahnya, ia diterbangkan ke Jakarta.
Sesampainya di Jakarta, Pastor Versteden dikirim ke Vatikan yang difasilitasi Keuskupan Agung Jakarta. Sesampainya di Vatikan, Pastor Versteden dipulihkan kembali martabat imamnya dan sepenuhnya kembali menjadi imam. Selanjutnya, Pastor Verstenden diutus kembali ke misi di Filipina. Ia tercatat berkarya di satu daerah terpencil di pulau Luzon, Filipina. Ia wafat di Quezon City, Filipina pada 18 Juli 1982.
Selanjutnya, dalam Operasi Tumpas Kilat pimpinan Kolonel Solichin GP, Kahar berhasil ditumpas di dekat Sungai Lasolo, Konawe Utara, Sulawesi Tenggara pada 3 Februari 1965. Ia dimakamkan di makam rahasia yang sampai kini tidak diketahui.
Nama M. Yusuf kemudian dikenal sebagai pemberantas DI/TII pimpinan Kahar Muzakkar, dan penyelamat Pastor Versteden. Sejak itu, Kongregasi CICM di Indonesia terus menjalin hubungan baik dengan pihak militer yang telah membebaskan salah seorang imam mereka. (AES)