SURABAYA, Pena Katolik – Ada sebuah koper yang ditinggalkan Maria Riawati Surya OP (25 Maret 1948 – 31 Mei 2025), sebelum kepergiannya, atau lebih dikenal dengan panggilan Ibu Gwenny. Di dalamnya, ada beraneka barang: obat-obatan dan aneka barang lain. Tak jelas, barang itu untuk apa, atau akan diberikan kepada siapa. Hanya Gwenny sendiri yang tau.
Namun, itulah “oleh-oleh” terakhir Ibu Gwenny untuk teman-temannya. Siapa sangka, barang-barang yang ia beli sebelum ia menjalani operasi jantung itu menjadi yang terakhir, sebagai kenangan dari Ibu Gwenny untuk teman-temannya.
Ibu Gwenny, Presiden Persaudaraan Dominikan Awam Indonesia (PDAI) periode 2023–2025, berpulang di ketika menjalani perawatan di sebuah rumah sakit di Malaysia pada usia 78 tahun, 31 Mei 2025. “Oleh-oleh” itu menjadi kenangan terakhir dari Ibu Gwenny.
“Ini kenang-kenangan dari Ibu Gwenny, yang di hari-hari terakhirnya, ia tetap ingin memberikan sesuatu untuk Keluarga Dominikan,” pesan Maria Elizabet Juanita OP, anaknya.
Oleh-Oleh untuk Dominikan
Lisa mengenang begitu besarnya perhatian Ibu Gwenny kepada Keluarga Dominikan. Bahkan, Lisa menilai, 90 persen perhatian Ibu Gwenny diberikan kepada Keluarga Dominikan, sementara yang 10 persen yang lain, untuk hal-hal lainnya.
“Mama, hatinya, pikirannya, 90 persen untuk Keluarga Dominikan, dibaktikan hidupnya untuk Keluarga Dominikan, 10 persen yang lain, untuk hal yang lain,”
Di saat-saat terakhirnya, Lisa mengenang bahkan hanya sedikit saja barang yang dibawa Ibu Gwenny, ketika bepergian. Sebaliknya, kopernya selalu penuh dengan barang-barang yang ia beli untuk nanti akan diberikan kepada teman-temannya di PDAI.
“Barang-barang ini untuk teman-teman Dominikan, mereka akan senang kalau dibawakan oleh-oleh,” kenang Lisa.
Lisa mengenang, ada banyak urusan keluarga yang langsung diserahkan kepada anak-anaknya, namun untuk urusan Keluarga Dominikan, Ibu Gwenny akan menanganinya sendiri. Begitulah Ibu Gwenny menunjukkan kecintaannya kepada Keluarga Dominikan. Ia begitu menghayati hidupnya
“Sedemikian ia begitu mencintai, Keluarga Dominikan,” kenang Lisa.
Ibu Gwenny dilahirkan pada Hari Raya Kabar Sukacita. Ia mengawali hidup dengan semangat Maria: “Terjadilah padaku menurut kehendak-Mu.” Dan benar, ziarah panjangnya menjadi ya yang dihidupi terus-menerus dengan kerendahan hati. Seperti Maria yang tergesa melayani Elisabet, Mama Gwenny hidup bukan hanya menerima rahmat, tetapi segera bergerak untuk berbagi kasih.
Kalimat yang tak pernah lepas dari mulutnya: “Saya bisa bantu apa?” Bagi orang-orang terdekat, kalimat ini bukan basa-basi. Ia hidup di dalamnya. Ia tidak menunggu diminta, tapi membaca kebutuhan.
Di Rumah Duka Grand Heaven Surabaya, sahabat-sahabat berkumpul sejak kepergiannya. Bukan hanya keluarga yang hadir, tetapi sahabat-sahabat doa, rekan komunitas Dominikan, para imam, dan orang-orang yang pernah disentuh hatinya. Di ruang itu, antara bunga, lilin, dan Rosario, banyak yang mengenang: kebaikannya yang tak diumumkan, pelayanannya yang tanpa pamrih, dan tatapan lembutnya yang selalu menyiratkan.
Perhatian untuk PDAI
Sebagai pemimpin Dominikan Awam, Gwenny dikenal luas karena semangat pelayanannya yang rendah hati namun teguh. Pernah pada suatu kali, Ibu Gwenny terpaksa “mengungsi”. Saat itu, ia merenovasi rumahnya, yang ia rasa kurang mencukupi kalau dipakai pertemuan yang mengundang banyak orang. Maka, renovasi itu ia lakukan dengan satu intensi, agar rumahnya semakin luas, dan mencukupi kalau digunakan untuk pertemuan para Dominikan Awam.
Promotor PDAI, Romo Andre Andreas Kurniawan OP terkesan dengan banyaknya patung dan foto para kudus yang dikoleksi Ibu Gwenny. Salah satu yang dikenang sangat dekat dengan pribadi Ibu Gwenny adalah sosok St. Rosa de Lima.
Ketika ad akelompok Dominikan Awam yang baru berdiri di Surabaya, ia mencari tahu, siapa pelindung untuk komunitas baru ini. Maka Ibu Gwenny mencoba bertanya, mencari tahu, dan akhirnya mengusulkan St. Rosa de Lima, menjadi pelingdung sebuah Chapter PDAI di Surabaya Timur.
“Ibu Gwenny tahu, kapan harus mendengar, tanpa perlu banyak komentar,” ujar Romo Andre.
Setiap pribadi yang mengenal Ibu Gwenny, akan dengan mudah terkesan karena semangatnya. Di usianya yang sudah 70-an tahun, ia masih bersemangat bepergian untuk menghadiri pelbagai kegiatan Ordo Dominikan, di Indonesia juga di negara-negara lain.
“Mumpung masih kuat (untuk bepergian-red),” begitu Ibu Gwenny selalu berucap, menggambarkan aktivitasnya.
Theo Atmadi OP mengenang Ibu Gwenny yang begitu memiliki perhatian pada setiap pribadi. Wujud perhatian ini salah satunya dengan selalu mengajak untuk makan bersama. Theo mengatakan, setiap orang yang mengenal Ibu Gwenny, tentu akan selalu ingat, pernah diajak bersantap bersama Ibu Gwenny.
Bagi Theo, hal ini menunjukkan perhatian dan welas asih Ibu Gwenny yang begitu besar. Theo juga menilai, Ibu Gwenny adalah sosok pemimpin yang rendah hati. Ia mengenal setiap pribadi. Dalam setiap langkahnya, Gwenny senantiasa menjadi pribadi yang bergembira, seperti Santo Dominikus, juga cinta pada kebenaran, semangat pewartaan, dan kesetiaan pada doa.
Sementara itu, Romo J, rekan-rekannya mengenangnya sebagai sosok penuh kasih, bijak, serta tak pernah lelah membangun persaudaraan lintas komunitas. Kepergiannya meninggalkan duka mendalam, namun juga warisan rohani yang akan terus hidup dalam hati para sahabat dan komunitas yang ia layani.
Hidup Sebagai Pemersatu
Rektor Universitas St. Agustinus Hippo Pontianak, Romo Johanes Robini OP mengenang ketika beberapa tahun lalu, Ibu Gwenny memintanya menjadi anaknya. Saat itu, Ibu Gwenny sudah menjadi anggota PDAI.
“Kau mau menjadi anak saya nda?” pinta Ibu Gwenny kepada Romo Robini. Di situlah, Ibu Gwenny mengangkat Romo Robini sebagai anaknya. Hal yang sama juga ia sampaikan kepada Romo Andre.
Romo Robini mengenang kedekatan Ibu Gwenny. Baginya, kepergian Presiden PDAI (2023-2025) ini harus dikenang dengan syukur dan kebahagiaan, bukan dengan kesedihan. Romo Robini mengenang Ibu Gwenny yang telah dipakai Tuhan untuk mempersatukan dan melayani banyak orang.
“Hidupnya sudah kumlit (penuh-red)
Ketika Ibu Gwenny telah pergi, maka orang yang ditinggalkan sebenarnya justru dapat menjadi lebih dekat dengannya. Romo Robini juga mengenang, bagaimana Ibu Gwenny telah mempersatukan begitu banyak orang sebagai Keluarga Dominikan.
“Dia lebih dekat, dengan kita, karena dia bersama dengan Allah,” ujar Romo Robini.
Romo Robini kembali mengajak untuk bersyukur, karena Tuhan telah memakai Ibu Gwenny dengan cara sederhana untuk melakukan hal lebih besar.
“Kita harus bersyukur, bahwa mama kit aitu, ternyata dipakai Tuhan dengan cara sederhana menyentuh orang.”
Merelakan kepergian Ibu Gwenny, maka Romo Robini, OP mempersembahkan lagu “Hasrat dan Cinta”: “Kala sinar cahaya pelita di hamparan padang”. Suatu gambaran puitis tentang hidup Mama—pelita lembut yang menyinari dalam diam.
Duka mendalam juga disampaikan Pastor Eugene A. De Los Santos, OP, Moderator Dominikan Awam Filipina.
“Atas nama Dewan Provinsi Persaudaraan Awam Dominikan Provinsi Dominikan Filipina, kami menyampaikan belasungkawa yang sedalam-dalamnya kepada keluarganya, dan kepada semua anggota Keluarga Dominikan di Indonesia—terutama para suster dan saudaranya di Awam Dominikan yang telah ia layani dengan penuh dedikasi dan kasih.”
Pastor Eugene mengungkapkan bahwa kesaksian iman Ibu Gwenny tentang iman dan kepemimpinan akan terus menginspirasi setiap orang. Ia berdoa, semoga jiwa Ibu Gwenny, melalui belas kasihan Tuhan, beristirahat dengan tenang, dan semoga warisannya terus hidup dalam hati dan karya kaum awam Dominikan di Indonesia dan sekitarnya.
Master Ordo Dominikan, Pastor Gerard Timoner III OP juga mengenang Ibu Gwenny sebagai sosok yang sangat berjasa untuk PDAI, dan juga untuk Keluarga Dominikan. Ketika mendengar kabar kepergian Ibu Gwenny, pemimpin Ordo Dominikan ini mengatakan dan meyakini, Ibu Gwenny kini sudah berbahagia di Surga.
Lagu Terakhir
Setelah diberangkatkan dari Surabaya, peti jenazah beliau disambut penuh hormat di Gereja Redemptor Mundi, Keuskupan Surabaya, tempat ia bertahun-tahun berdoa dan melayani.
Pada momen akhir hidup Ibu Gwenny di dunia, ada banyak orang yang mengungkapkan kesannya. Romo Adrian Adiredjo OP menyampaikan, bahwa “Kalimat ‘Saya bisa bantu apa?’ menjadi doa hidupnya. Bukan karena ia harus, tapi karena kasih sudah menjadi kebiasaannya. Demikian juga Romo Agustinus Hermawan OP yang mengungkapkan, “Dulu ia merawat luka saya. Kini Tuhan menyembuhkan lukanya dengan cinta kekal.”
Dari Keuskupan Surabaya, Romo Agus Riadi meyakini, bahwa Ibu Gwenny akan mendapat tempat yang istimewa di Rumah Bapa. “Mama sudah siap. Ia tahu ke mana ia pulang. Dan boarding pass-nya adalah: iman yang teguh.” Sedangkan Romo Dwijoko melihat sisi kehidupan doa Ibu Gwenny, sebagai sosok yang hidup berlandaskan keheningan dan doa. “Sukacita Mama Gwenny bukan euforia, tapi keheningan yang bersumber dari doa dan iman.” Sementara itu, Romo Antonius Sad Budianto CM terkesan akan pribadu Ibu Gwenny, yang tidak banyak berbicara, namun tanggap pada kebutuhan sesama. “Ia tak bertanya: ‘apa yang bisa saya terima?’ tapi: ‘apa yang bisa saya bantu?’”
Tepat pada Hari Raya Pentakosta, saat Gereja merayakan turunnya Roh Kudus, Mama Gwenny disemayamkan di Kolumbarium Piranti Jati, Malang. Tempat ini menjadi perhentian akhir yang penuh makna, sebuah ruang kontemplatif, tempat di mana api kasihnya kini tinggal dalam kenangan dan doa komunitas.
Di saat akhir, sahabat-sahabat mengenang tiga hari suci menandai ziarah hidup Ibu Gwenny: 25 Maret – Kabar Sukacita: hari kelahiran; 31 Mei – Maria Mengunjungi Elisabet: hari wafat; 8 Juni – Pentakosta: hari disemayamkan dalam cahaya Roh.
Ada sebuah lagu yang diciptakan oleh salah seorang rekan Ibu Gwenny yang liriknya dibacakan Romo Andre. Lagu ini menjadi lagu terakhir untuk Ibu Gwenny, sekaligus mengenang pelayanan dan welas asihnya.
“Senyumanmu selalu menghiasi hari kami. Kehadiranmu ada di setiap kebersamaan kami. Ketelusuan, kasih, dan penuh suka cita, terasa tak ada lelah dalam melayani Tuhan. Kau pimpin kami dengan rasa syukur. Tangan dan imanmu adalah hati sucimu. Kami sangat bangga mempunyai sang ibu seperti dirimu.
Oh, ibu memimpin dengan kerendahan hati. Oh, Ibu yang melayani bukan untuk dilayani. Oh, ibu tombak Santa Rosa de Lima. Oh, ibu terima kasih atas kasih sayangmu. Sekarang kau telah berbahagia dengan Bunda Maria dan Santo Dominikus. Tetapi spirit dan semangat cinta kasihmu, selalu ada dalam hati persaudaraan. Oh, salam ya Ibu. Oh Maria Gwenny. Oh, beristirahat dalam damai Tuhan.”
Dalam suasana duka melepas kepergian Ibu Gwenny, PDAI juga mengenang salah satu anggotanya yang Setephanus Suriaputra OP yang dipanggil Tuhan 9 Juni 2025.