Selasa, Juni 17, 2025

Bacaan dan Renungan Senin 23 Juni 2025; Pekan Biasa ke-XII (Hijau)

Bacaan I – Kej. 12:1-9

Berfirmanlah TUHAN kepada Abram: “Pergilah dari negerimu dan dari sanak saudaramu dan dari rumah bapamu ini ke negeri yang akan Kutunjukkan kepadamu; Aku akan membuat engkau menjadi bangsa yang besar, dan memberkati engkau serta membuat namamu masyhur; dan engkau akan menjadi berkat.

Aku akan memberkati orang-orang yang memberkati engkau, dan mengutuk orang-orang yang mengutuk engkau, dan olehmu semua kaum di muka bumi akan mendapat berkat.”

Lalu pergilah Abram seperti yang difirmankan TUHAN kepadanya, dan Lotpun ikut bersama-sama dengan dia; Abram berumur tujuh puluh lima tahun, ketika ia berangkat dari Haran.

Abram membawa Sarai, isterinya, dan Lot, anak saudaranya, dan segala harta benda yang didapat mereka dan orang-orang yang diperoleh mereka di Haran; mereka berangkat ke tanah Kanaan, lalu sampai di situ.

Abram berjalan melalui negeri itu sampai ke suatu tempat dekat Sikhem, yakni pohon tarbantin di More. Waktu itu orang Kanaan diam di negeri itu.

Ketika itu TUHAN menampakkan diri kepada Abram dan berfirman: “Aku akan memberikan negeri ini kepada keturunanmu.” Maka didirikannya di situ mezbah bagi TUHAN yang telah menampakkan diri kepadanya.

Kemudian ia pindah dari situ ke pegunungan di sebelah timur Betel. Ia memasang kemahnya dengan Betel di sebelah barat dan Ai di sebelah timur, lalu ia mendirikan di situ mezbah bagi TUHAN dan memanggil nama TUHAN. Sesudah itu Abram berangkat dan makin jauh ia berjalan ke Tanah Negeb.

Demikianlah Sabda Tuhan

U. Syukur Kepada Allah

Mzm. 33:12-13,18-19,20,2

  • Berbahagialah bangsa, yang Allahnya ialah TUHAN, suku bangsa yang dipilih-Nya menjadi milik-Nya sendiri!
  • TUHAN memandang dari sorga, Ia melihat semua anak manusia; Sesungguhnya, mata TUHAN tertuju kepada mereka yang takut akan Dia, kepada mereka yang berharap akan kasih setia-Nya, untuk melepaskan jiwa mereka dari pada maut dan memelihara hidup mereka pada masa kelaparan.
  • Jiwa kita menanti-nantikan TUHAN. Dialah penolong kita dan perisai kita! Kasih setia-Mu, ya TUHAN, kiranya menyertai kami, seperti kami berharap kepada-Mu.

Bacaan Injil – Mat. 7:1-5.

“Jangan kamu menghakimi, supaya kamu tidak dihakimi. Karena dengan penghakiman yang kamu pakai untuk menghakimi, kamu akan dihakimi dan ukuran yang kamu pakai untuk mengukur, akan diukurkan kepadamu. Mengapakah engkau melihat selumbar di mata saudaramu, sedangkan balok di dalam matamu tidak engkau ketahui?

Bagaimanakah engkau dapat berkata kepada saudaramu: Biarlah aku mengeluarkan selumbar itu dari matamu, padahal ada balok di dalam matamu. Hai orang munafik, keluarkanlah dahulu balok dari matamu, maka engkau akan melihat dengan jelas untuk mengeluarkan selumbar itu dari mata saudaramu.”

Demikianlah Sabda Tuhan.

U. Terpujilah Kristus.

***

Belajar Melihat dengan Kasih

Yesus berkata, “Jangan kamu menghakimi, supaya kamu tidak dihakimi.” Perkataan ini bukan sekadar nasihat moral, melainkan undangan untuk hidup dalam kerendahan hati dan kasih. Kita sering tergoda untuk cepat menilai orang lain: dari penampilan, ucapan, bahkan kelemahannya yang tampak jelas. Tapi Yesus mengingatkan, sebelum kita menunjuk kesalahan orang lain, lihatlah dahulu ke dalam diri sendiri.

Ia menggambarkan dengan sangat tajam: bagaimana mungkin kita melihat selumbar di mata saudara kita, sementara balok di mata sendiri tidak kita sadari? Ini bukan hanya soal ukuran kesalahan, tapi tentang sikap hati. Ketika kita sibuk mencari kekurangan orang lain, kita bisa menjadi buta terhadap dosa dan kelemahan kita sendiri. Akibatnya, kita kehilangan kemampuan untuk mengasihi dengan tulus.

Yesus tidak melarang kita untuk menegur atau menasihati. Tapi Ia ingin agar kita melakukannya dengan kerendahan hati, bukan dengan penghakiman. Orang yang menyadari bahwa dirinya juga rapuh akan lebih lembut dalam menyentuh luka sesama. Ia tidak datang sebagai hakim, melainkan sebagai saudara yang mau membantu.

Renungan ini menantang kita untuk berkaca. Apakah kita lebih mudah mengkritik daripada memahami? Apakah kita lebih cepat menilai daripada mengampuni? Apakah kita mengandalkan standar kita sendiri, ataukah kita belajar memandang orang lain dengan mata Kristus yang penuh belas kasih?

Hari ini, marilah kita membuka hati untuk diubah. Biarlah Roh Kudus menyingkap “balok” yang mungkin tersembunyi dalam hati kita—kesombongan, kepahitan, atau ketidaksabaran. Dengan demikian, kita dimurnikan dan dimampukan untuk menjadi berkat bagi sesama, bukan batu sandungan.

Doa Penutup

Ya Tuhan Yesus, Engkau mengajar kami untuk tidak menghakimi, melainkan mengasihi. Ampunilah kami yang sering gagal melihat kelemahan diri sendiri dan terlalu cepat menunjuk kesalahan orang lain. Singkapkanlah “balok” dalam hati kami, agar kami dibebaskan dari kesombongan dan diberi hati yang rendah dan lemah lembut. Ajarlah kami memandang sesama dengan kasih-Mu, mendengarkan dengan empati, dan menegur dengan kasih. Ubahlah kami menjadi pribadi yang membawa damai, bukan penghakiman. Dalam nama-Mu kami mohon, ya Yesus, Penebus dan Sahabat kami. Amin.

***

Santo Yosef Kafasso, Pengaku Iman

Yosef Kafasso lahir di Kastenuovo d’Asti di Piemonte pada tanggal 15 Januari 1811. Pendidikan sekolah menengahnya berlangsung di Chieri. Pada mulanya dia diolok-olok kawan-kawannya karena badannya bungkuk dan kecil. Tetapi ia baik hati dan ramah kepada semua kawannya. Maka lama-kelamaan ia mulai dicintai oleh mereka.

Pada umur 20 tahun, Kafasso ditabhiskan menjadi imam. Untuk melanjutkan studinya, ia tinggal di kediaman pastor-pastor di Torino. Disini ia diangkat menjadi pemimpin rumah dan menjadi Pastor Kepala. Semboyannya yang terkenal ialah “membantu sebanyak mungkin orang untuk masuk ke surga.”

Salah satu muridnya yang terkenal ialah Santo Yohanes Don Bosco. Bersama Don Bosco, ia mengunjungi rumah-rumah piatu dan merawat anak-anak itu dengan penuh cinta. Ia menaruh perhatian besar terhadap perlayanan Sakramen Pengampunan bagi para tahanan, khususnya mereka yang dijatuhi hukuman mati.

Kepada orang-orang ini, ia memberikan bimbingan rohani yang sungguh meneguhkan hati, sehingga mereka menjalani hukuman mati itu dengan iman yang teguh. Oleh bimbingannya pun para tahanan merasakan suatu ketenangan batin yang membahagiakan sehingga mereka dapat mati dengan tenang.

Tentang sifat Kafasso, Don Bosco memberi kesaksian, bahwa sebagai pemimpin para imam dan penasehat kawan-kawannya, Kafasso memadukan dalam dirinya sifat-sifat unggul Santo Aloysius Gonzaga, Vinsensius a Paulo, Karolus Borromeus dan Alfonsus Ligouri. Setelah lama berkarya sebagai abdi Allah dan sesamanya, ia meninggal dunia pada tanggal 23 Juni 1860.

Santa Etheldreda, Pengaku Iman

Santa Etheldreda yang disebut juga “Santa Audrey”, lahir di Exning, Suffolk, Inggris kira-kira pada tahun 630. Ia adalah puteri Raja Anna dari Anglia Timur dan saudara St. Sexburga, St. Ethelburga dan St. Withburga.

Walaupun Santa Etheldreda menikah dua kali-keduanya karena alasan kenegaraan, ia tetap bersikeras menghayati kaul kemurnian hidup bagi Allah. Suaminya yang pertama setuju menjalankan pantang perkawinan demi tagaknya kaul kemurnian itu. Ketika suaminya meninggal, ia mengundurkan diri ke Pulau Ely, salah satu wilayah yang berada di bawah kekuasaan Inggris. Disini Etheldreda menyepi seorang diri dalam khlawat yang mendalam.

Di kemudian hari, dia memenuhi keinginan keluarganya, ia menikah lagi dengan Pangeran Muda Egfrid dari Northumbria. Mulanya, Etheldreda sanggup menjalankan kaul kemurnian tanpa ada gugatan dari Egfrid suaminya; namun ketika Egfrid menjadi Raja Northumbria, ia menuntut Etheldreda agar memenuhi kewajibannya sebagai isteri. Ia menuntut penghayatan hidup perkawianan yang sungguh-sungguh sebagaimana layaknya suami dan isteri.

Dengan tegas Etheldreda menolak tuntutan Egfrid itu karena ia tidak sudi mengkhianati kaulnya. Ia meminta bantuan Santo Wilfrid, Uskup York, untuk mendukung pendiriannya dan memperkuat keputusannya. Dengan dukungan Winfrid, Etheldreda kembali ke Ely untuk bertapa dan berdoa. Disana ia mendirikan sebuah biara pada tahun 673. Sebagai abbas, ia memimpin biaranya dengan aturan hidup yang keras.

Etheldreda meninggal dunia pada tanggal 23 Juni 679 di Pulau Ely. Jenazahnya dikuburkan di Ely. Konon terjadi banyak sekali mukzijat di kuburnya.

Komentar

Tinggalkan Pesan

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Terhubung ke Media Sosial Kami

45,030FansSuka
0PengikutMengikuti
75PengikutMengikuti
0PelangganBerlangganan

Terkini