BEJING, Pena Katolik – Setelah paus Fransiskus mangkat, Tiongkok menyampaikan belasungkawa yang disampaikan juru bicara Kementerian Luar Negeri Tiongkok dengan lugas pada tanggal 22 April 2025. Apakah penundaan satu hari ini bermakna khusus, tentang hubungan Vatikan-Tiongkok?
Sejak 2018, Tiongkok bersedia bekerja sama dengan Vatikan untuk mendorong peningkatan hubungan Tiongkok-Vatikan yang berkelanjutan. Sebagai Paus, Fransiskus berupaya memperbaiki hubungan yang tidak harmonis ini dengan semakin terlibat dengan Beijing. Sejak tahun 1950-an, Bejing memberlakukan pembatasan pada ekspresi keagamaan lintas agama, hal inilah yang ingin didobrak Fransiskus.
Fransiskus menyadari, Vatikan perlu perlunya meningkatkan hubungan. Berulang kali, ia mengungkapkan kekagumannya terhadap Tiongkok dan bahkan menyampaikan salam kepada Presiden Xi Jinping, dengan menambahkan: “Dunia Barat, dunia Timur, dan Tiongkok semuanya memiliki kapasitas untuk menjaga keseimbangan perdamaian dan kekuatan untuk melakukannya. Kita harus menemukan jalannya, selalu melalui dialog; tidak ada cara lain.”
Arah kebijakan ini sepertinya akan berlanjut pada masa Leo XIV. Salah satu tandanya dengan pengakuan Bejing terhadap Uskup Pembantu Fuzhou, Mgr. Giuseppe Lin Yuntuan, yang selama ini dikenal sebagai uskup untuk “umat Katolik bawah tanah”. Langkah ini menunjukkan arah perjanjian Vatikan-Tiongkok akan terus berlanjut, meskipun diketahuin Paus Leo XIV memiliki latar belakang sebagai kelahiran Amerika Serikat, sebuah negeri yang selama ini dikenal kerap berseberangan dengan Tiongkok.
Sejarah Hubungan Tiongkok-Tahta Suci
Dua tahun setelah didirikan tahun 1951, rezim Komunis ateis Republik Rakyat Tiongkokmemutuskan hubungan diplomatiknya dengan Vatikan. Bejing mengusir internunsio kepausannya atau utusan Tahta Suci dengan tuduhan “spionase”. Kisah ini jelas penolakan terhadap pengaruh Barat ketika itu.
Di sisi lain, Vatikan malah membangun hubungan formal dengan Taiwan, pulau berpemerintahan sendiri yang diklaim oleh Tiongkok sebagai wilayah kedaulatannya. Tentu, sikap Vatikan ini menjadi hambatan besar dalam “pemulihan” kembali relasi Vatikan-Tiongkok.
Pada perkembangannya, Konstitusi Tiongkok mengizinkan kebebasan beragama, dengan beberapa ketentuan: bahwa tidak seorang pun boleh menggunakan agama untuk “terlibat dalam kegiatan yang mengganggu ketertiban umum, mengganggu kesehatan warga negara, atau mengganggu sistem pendidikan negara,” dan bahwa “kelompok agama dan urusan keagamaan tidak boleh dikendalikan oleh kekuatan asing.”
Saat ini, Katolik adalah salah satu dari lima agama resmi yang diakui Partai Komunis Tiongkok. Meski begitu, umat Katolik hanya diizinkan secara hukum untuk menjalankan versi agama yang diawasi oleh negara. Masing-masing dari lima agama tersebut—empat lainnya adalah Buddha, Taoisme, Islam, dan Protestan. Semuanya memiliki badan yang dikendalikan pemerintah yang mengelola urusan masing-masing. Untuk umat Katolik, badan tersebut adalah Asosiasi Patriotik Katolik Tiongkok (The Chinese Catholic Patriotic Association/CCPA).
Katolik Tiongkok (termasuk yang diakui negara) pada dasarnya sama secara teologis dan doktrinal jika dibandingkan dengan Katolik arus utama (Gereja Roma). Perbedaannya terletak pada struktur pemerintahannya (hierarki). Secara tradisional, Vatikan mengatur Katolik secara global, tetapi untuk Katolik di Tiongkok, negara yang mengatur Gereja.
CCPA dimaksudkan untuk memastikan bahwa praktik Katolik selaras dengan “sinisasi” agama Xi. Dengan kebijakan ini, pemerintah memaksa agama untuk memasukkan agenda politik Partai Komunis ke dalam ideologi dan praktik mereka.
Dengan demikian, meskipun Paus secara umum memegang wewenang atas penunjukan uskup di seluruh dunia, namun CCPA dan Konferensi Waligereja Gereja Katolik di Tiongkok (BCCCC) juga memiliki wewenang melakukan penunjukan ini di Tiongkok. Kesepakatan inilah yang tertuang dalam perjanjian antara kedua negara, meski beberapa kali terjadi Tiongkok menunjuk uskup tanpa persetujuan Vatikan, meskipun pada akhirnya menyetujui.
Sebuah komunitas Gereja Katolik, yang selama ini dikenal sebagai “umat Katolik bawah tanah”, memilih untuk tidak berafiliasi dengan CCPA. Selama ini, mereka menjalani kehidupan menggereja dengan taat kepada Vatikan, dengan menahbiskan para uskup secara diam-diam.
Pihak berwenang Tiongkok secara historis menentang bahkan “menganiaya” faksi ini, dengan laporan penahanan beberapa imam dan menutup gereja-gerejanya. Secara resmi, di Tiongkok ada 6 juta umat Katolik yang diakui negara ditambah 6 juta umat lain yang menjadi anggota “Gereja bawah tanah”.
Sejak kepausan sejauh Paus Yohanes Paulus II, Vatikan telah mencoba memperbaiki hubungan tersebut. Lankah ini berlanjut ketika Benediktus XVI. Syarat Beijing untuk rekonsiliasi penuh dengan Vatikan dilaporkan termasuk memutuskan hubungan dengan Taiwan dan tidak mencampuri cara PKT menjalankan Gereja Katoliknya, termasuk pengangkatan uskup.
Terobosan Paus Fransiskus
Ketika Fransiskus menjadi Paus pada tahun 2013, ia melihat bahwa hubungan Vatikan-Tiongkok perlu diubah (baca ditingkatkan). Untuk itu, Fransiskus berulang kali menyatakan keinginannya untuk mengunjungi Tiongkok. Negara ini belum pernah dikunjungi oleh Paus mana pun.
Fransiskus pernah begitu berharap dapat bertemu dengan Presiden Xi Jinping saat keduanya berada di Kazakhstan pada waktu bersamaan, namun Bejing menolak, pertanda yang disampaikan Vatikan. Pada akhirnya, Fransiskus tidak pernah menginjakkan kaki di sana, tetapi, sebagai tanda mencairnya ketegangan, Beijing mengizinkannya terbang di atas wilayah udara Tiongkok pada tahun 2014. Itu adalah pertama kalinya seorang Paus diizinkan memasuki wilayah udara Tiongkok dalam perjalanan ke negara Asia.
Sejak awal kepausannya, Fransiskus menyampaikan ungkapan kedekatan kepada Tiongkok. Ia memberi ucapan selamat kepada Xi, saat ia melewati wilayah udara Tiongkok untuk perjalanan ke Korea Selatan.
Pada tahun 2018, kepausan Fransiskus menyaksikan perkembangan bersejarah lainnya: kesepakatan bersama antara Tiongkok dan Vatikan menyetujui kompromi tentang pengangkatan uskup, tanda kesediaan untuk berbagi otoritas Katolik. Rincian kesepakatan tersebut belum dipublikasikan, tetapi selama ini dilaporkan bahwa kesepakatan tersebut mencakup kerangka kerja di mana otoritas Tiongkok dan masyarakat lokal akan mengajukan nama-nama uskup baru yang akan disetujui Vatikan.
Paus Fransiskus pada akhirnya memilih menyetujui banyak usul Tiongkok, meski mendapat banyak kritikan, termasuk dari umat Gereja bawah tanah. Tampaknya, fokus Fransiskus adalah ingin agar kehidupan umat di Tiongkok dapat semakin aman dan nyaman, meski dengan demikian ia harus “berkompromi” untuk banyak urusan. Ia mengatakan, keengganan untuk duduk di meja perundingan akan lebih buruk. Hingga kini, kesepakatan itu telah diperpanjang tiga kali dan akan tetap berlaku hingga tahun 2028.
Ada capaian positif dalam relasi Vatikan-Tiongkok selama masa kepausan Fransiskus. Paus Argentina itu meningkatkan profil diplomatik Vatikan dengan kea rah positif meski juga banyak kritikan. Salah satu tanda keberhasilannya adalah saat Fransiskus, pada tahun 2023, mengirim Kardinal Matteo Maria Zuppi ke Tiongkok. Ini sudah merupakan prestasi langka, meski bukan untuk misi gerejawi, tetapi sebagai bagian dari misi perdamaian untuk Ukraina.
Fransiskus sebagai Paus pertama yang mengirim kardinal ke Tiongkok dan meminta bantuan Tiongkok dalam upaya internasional. Langkah ini menjadi gambaran positif, meskipun Tiongkok sepertinya masih akan terus “jual mahal”, satu sikap yang bisa dimaklumi, sebab memang begitu lah mereka selama ini, juga kepada negara-negara lain.
Arah Kebijakan Paus Leo XI
Sepertinya, Paus XIV harus mendekati Tiongkok dengan cara yang sama seperti yang dilakukan Fransiskus, jika Vatikan ingin terus menjalankan pengaruh internasional serta memastikan Gereja Katolik tetap relevan di negara tersebut.
Dipercaya, Tiongkok dapat dengan mudah meninggalkan perjanjian 2018 dengan Vatikan terkait pengangkatan uskup dan menghadapi akibat. Lai Pan Chiu, profesor studi agama di Universitas Cina Hong Kong, mengatakan, Vatikan di bawah kepausan berikutnya harus tetap menjalin hubungan baik dengan Tiongkok untuk bekerja sama secara efektif dalam memecahkan masalah seperti kelaparan dan kemiskinan. Chambon berpendapat, Paus berikutnya harus mencoba mengunjungi Tiongkok, jika memungkinkan. Harus diakui, Tiongkok adalah negara yang sangat penting di dunia saat ini, Gereja Katolik harus menerimanya.
Rasanya konsistensi sikap Vatikan terhadap Tiongkok, seperti yang dilakukan Paus Fransiskus adalah pilihan yang paling masuk akal untuk diambil. Vatikan perlu terus memperkuat relasi ini, dan membangun citra bahwa negara terkecil di dunia ini dapat semakin menjadi perantara perdamaian internasional.
Pengakuan otoritas Tiongkok pada Mgr. Lin tampaknya sebuah sunyal positif. Apalagi gestur ini justru diinisiasi Tiongkok yang menyetujui seorang uskup yang selama ini dianggap sebagai bagian dari “Gereja bawah tanah” yang sekian lama berada di bawah tekanan Tiongkok. Meski akan ada kompromi, perjuangan untuk melindungi umat Katolik di Tiongkok tetap menjadi sebuah pilihan yang bijaksana.