Pontianak, Pena Katolik | Gereja Katolik Santo Yoseph Katedral Pontianak, Selasa, 15 April 2025, pukul 17.00 WIB, umat Katolik di Keuskupan Agung Pontianak menyaksikan Misa Krisma dan Pembaharuan Janji Imamat yang dipimpin langsung oleh Uskup Agung Pontianak, Mgr. Agustinus Agus.
Setidaknya pada perayaan misa tersebut dihadiri oleh seluruh imam yang bertugas di Keuskupan Agung Pontianak. Uskup Agustinus juga mengungkapkan bahwa sebelum perayaan misa Krisma dan Pembaharuan Janji Imamat, para imam diajak untuk rekoleksi bersama dan menjadikannya sebagai momen penting dalam kehidupan imamat di wilayah tersebut.
Pengampunan dan Kerendahan Hati
Dalam homilinya, Uskup Agustinus mengajak para imam dan umat untuk merenungkan dua nilai penting dalam kehidupan imamat: pengampunan dan kerendahan hati.
Bapa Uskup mengatakan bahwa untuk menjadi pewarta dan gembala yang baik, salah satu keutamaan yang harus dimiliki oleh seorang imam adalah sikap rendah hati. Namun, kali ini Uskup Agustinus menyoroti pentingnya berani mengampuni.
Uskup Agustinus mengutip ajaran Injil yang menekankan pentingnya pengampunan tanpa batas, yaitu “70 kali 7”. Dia mengingatkan bahwa semangat pengampunan memiliki dampak yang sangat besar dalam hidup kita.
Bapa Uskup Agustinus berbagi pengalaman pribadi saat awal menjalani hidup imamat di Sekadau, di mana beliau sebagai imam pribumi pertama di antara Imam Italia yang berasal dari tarekat Passionis. Pada masa itu, beliau menghadapi berbagai kelemahan dalam gereja, termasuk kelemahan pada diri pastor, suster, dan umat.
Suatu ketika, beliau menerima surat dari seorang imam yang mencantumkan banyak kelemahannya. Merasa tidak berdaya, Uskup Agustinus (waktu itu masih imam muda) mendatangi imam tersebut dan berkata, “Tolong deh, tambah lagi keburukan saya, karena ini masih kurang karena saya mengakui bahwa saya banyak kesalahan.”
Beliau tidak marah dengan imam tersebut, melainkan merasa lega karena dapat menerima kritik dengan hati yang terbuka.

Pengampunan Seorang Korban
Di tengah homilinya, Uskup Agustinus juga membagikan kisah inspiratif yang ia dengar saat retret bersama imam Diosesan Keuskupan Agung Pontianak di Sydney, Australia.
Kisah itu mengisahkan seorang wanita yang pada usia 16 tahun menjadi korban pemerkosaan dan pembunuhan pacarnya. Gadis tersebut juga menyaksikan perceraian orang tuanya dan hidup dalam penderitaan yang mendalam. Meskipun pelaku dihukum mati dan si gadis diberikan kesempatan untuk menembak pelaku tersebut, namun dia merasa tidak mendapatkan ketentraman dalam hidupnya.
Setelah 19 tahun, melalui pengalaman rohani dan bimbingan, si gadis memutuskan untuk mengampuni pelaku tersebut. Ia bahkan mendoakan agar pelaku yang bernama Robert masuk dalam kerajaan Surga. Kisah ini menunjukkan bahwa pengampunan bukanlah hal yang mudah, tetapi memberikan kedamaian dan kebebasan batin bagi yang mengampuni.
Tantangan dalam Mengampuni
Sebagai gembala di Keuskupan Agung Pontianak, Uskup Agustinus mengakui bahwa mengampuni bukanlah hal yang mudah, terutama bagi mereka yang telah mengalami luka batin yang mendalam.
Bapa Uskup juga menyatakan bahwa meskipun pelaku telah dihukum dan dipenjara, korban seringkali masih terpenjara dalam ketakutan, kegelisahan, dan keinginan untuk membalas dendam. Oleh karena itu, Uskup Agustinus mengajak para imam dan umat untuk berani mengampuni dan melepaskan beban tersebut.
Beliau juga berbagi pengalaman pribadi saat baru tiga bulan bertugas menjadi Uskup Agung di Pontianak, di mana beliau menerima pesan berantai melalui WhatsApp yang berisi tuduhan tidak berdasar.
Beliau memilih untuk tidak menanggapi pesan tersebut dan menerima kritik dengan lapang dada. Menurut beliau, “Ketika kita tidak berani untuk memaafkan maka beban ada pada dalam diri kita.”
Sebagai penutup homilinya, Uskup Agustinus mengajak para imam dan umat untuk belajar dan terbiasa dalam hidup untuk mengampuni. Bapa Uskup juga menekankan bahwa pengampunan adalah kunci untuk hidup damai dan harmonis, baik dalam kehidupan pribadi maupun dalam pelayanan gereja.
Misa Krisma dan Pembaharuan Janji Imamat malam itu menjadi momen sakramental tahunan, juga menjadi kesempatan bagi setiap imam dan umat untuk merenungkan kembali panggilan mereka dalam melayani Tuhan dan sesama dengan hati yang penuh pengampunan dan kerendahan hati. *Sam