Senin, Maret 10, 2025
30.7 C
Jakarta

Romo Y. B. Mangunwijaya Diusulkan Menjadi Pahlawan Nasional

SEMARANG, Pena Katolik – Romo Y. B. Mengunwijaya diusulkan menjadi Pahlawan Nasional. Uskup Agung Semarang, Mgr. Robertus Rubiyatmoko memimpin Misa yang menandai langkah awal pengusulan ini. Misa ini diadakan di Katedral St. Maria Perawan Maria Ratu Rosario Suci, Semarang, 10 Maret 2025.

Jalan Hidup Romo Mangun

Romo Mangun lahir dengan nama Yusuf Bilyarta Mangunwijaya di Ambarawa, 6 Mei 1929. Nama kecilnya adlaah “Bilyarta”. “Yusuf” merupakan nama baptisnya, sedangkan “Mangunwijaya” yang diambil dari nama kakeknya yang merupakan seorang petani tembakau.

Ia adalah sulung dari dua belas bersaudara. Ia lahir dari pasangan Yulianus Sumadi Mangunwijaya dan ibu Serafin Kamdaniah. Ayahnya merupakan seorang guru dan penilik sekolah di Magelang.

Lulus dari sebuah SD di Magelang pada tahun 1943, Bilyarta kemudian melanjutkan pendidikan di sekolah Teknik (setingkat SMP) di Yogyakarta sampai tamat di tahun 1947, dan SLA di Malang sampai tamat di tahun 1951. Tamat dari SLA, Bilyarta lalu menempuh pendidikan seminari sebagai calon imam Vikariat Apostolik Semarang.

Saat itu, Seminari Menengah tempat belajar Bilyarta berada di Jalan Code Yogyakarta dan baru dipindah ke Mertoyudan, Magelang tahun 1952. Bilyarta menjalani Pendidikan di Seminari Menengah ini hingga 1953.

Setelah tamat SLA Seminari Meryoyudan, Frater Mangunwijaya melanjutkan studi Filsafat dan Teologi di Institut Institut Filsafat dan Teologi Sancti Pauli, Yogyakarta dan tamat di tahun 1959. Romo Mangun kemudian ditahbiskan pada tanggal 8 September 1959 oleh Mgr. Albertus Soegijapranata, SJ. Sesudah tahbisan, ia diutus melanjutkan studi di jurusan Arsitektur Institut Teknologi Bandung sampai tahun 1960, dan kemudian studi di Jerman yaitu Sekolah Tinggi Teknik Rhein, Westfalen, Aachen Jerman dari tahun 1960-1966. Di sinilah, ia sudah mengenal beberapa mahasiswa Indonesia di Jerman, di antaranya B. J. Habibie, yang kemudian menjadi Presiden Indonesia.

Pada tahun 1978 Romo Mangun mengikuti Fellow of Aspen Institute for Humanistic Studies, Aspen, Colorado, Amerika Serikat.

Dinas Ketentaraan dan Perjumpaan Dengan Soeharto

Sedikit menoleh ke belakang, sebelum masuk seminari, Bilyarta sempat bergabung sebagai prajurit BKR, TKR Divisi III, Batalyon X, Kompi Zeni 1945-1946. Dalam masa dinas di ketentaraan ini, Bilyarto juga sempat berjumpa dengan Mayor Soeharto, yang saat itu juga menjadi tentara aktif. Di kemudian hari, Soeharto juga menjadi Presiden Indonesia dengan masa jabatan terlama. Dalam satu kesempatan, Bilyarta menjadi sopir pengantar makanan untuk Mayor Suharto.

Pada masa menjadi tentara ini, Bilyarta pernah menjadi komandan Seksi TP Brigade XVII, Kompi Kedu antara tahun 1947-1948. Ia ikut dalam pertempuran di Magelang, Ambarawa, dan Semarang.

Imam Kaum Miskin

Sepulang dari Jerman, Romo Mangun bertugas sebagai imam di Keuskupan Agung Semarang. Siring waktu, ia dikenal sebagai gembala yang memperhatikan kaum miskin. Langkah ini dimulai dari Paroki Salam, Magelang.

Romo Mangun dikenal sebagai aktivis bagi kaum marginal yang membantu warga di Kali Code, Yogyakarta dan Kedung Ombo, Sragen. Semua pengabdiannya kepada rakyat kecil itu membuat Romo Mangun dikenal sebagai Romo bagi kaum marginal.  Ia juga dikenal sebagai budayawan, arsitek, dan penulis yang terkenal karena karya-karyanya.

Dengan izin dari Uskup, Romo Mangun kemudian memutuskan tinggal dan berkarya sebagai “pekerja sosial” di lembah Kali Code, Yogyakarta sampai 1986. Romo Mangun membangun perkampungan di bantaran Kali Code hingga karyanya diganjar Aga Khan Award pada tahun 1992.

Jejak karya Romo Mangun juga ada di Gunung Kidul. Pada tahun 1986 hingga 1988, Romo Mangun berkarya di pantai Grigak Gunung Kidul dengan mendampingi penduduk setempat dalam program lingkungan hidup dan pengadaan air bersih.

Dalam kondisi sakit, Romo Mangun juga sempat membantu warga korban pembangunan waduk Kedung Ombo, Jawa Tengah sampai tahun 1994.

Sampai akhir hayatnya, Romo Mangun masih menghimpun dan mengayomi anak-anak jalanan di sepanjang Kali Code, Yogyakarta, dalam komunitas Pinggir Kali Code (Girli).

Anak-anak dalam keseharian di Sekolah Eksperimental Mangunan, Kalasan, Sleman, Yogyakarta. Dok. IST

Sekolah Mangunan

Dalam dunia pendidikan, Romo Mangun pernah menjadi dosen luar biasa di pada Jurusan Arsitektur, Fakultas Teknik, Universitas Gadjah Mada Yogyakarta pada tahun 1967-1980.

Ketika kembali bertugas di Yogyakarta, Romo Mangun mendirikan Laboratorium Dinamika Edukasi Dasar, sebuah lembaga nirlaba yang memusatkan perhatian pada bidang pendidikan dasar terutama bagi anak-anak miskin dan terlantar.

Sejak tahun 1994, atas izin dan dukungan Mendikbud Wardiman Djojonegoro, Romo Mangun merintis program pendidikan dasar eksperimental di SD Kanisius Mangunan, Kalasan. Pada tahun itu, SD Kanisius ini sebenarnya hamper mati. Romo Mangun berinisiatif menjadikannya menjadi Sekolah Eksperimental yang mengembangkan kurikulum ala Romo Mangun. Sekolah Eksperimental Mangunan menerapkan kurikulum ala Romo Mangunwijaya.

Setelah Romo Mangun meninggal, sekolah ini pernah vakum selama 2 tahun 1999-2001 setelah wafatnya Romo Mangun. Sekolah ini dilanjutkan lagi dengan bantuan dari Keuskupan Agung Semarang dan dari pelbagai pihak.

Sekolah ini dibuka kembali pada tahun 2002 dan terus berkembang hingga sekarang. Pada awal berdirinya sekolah ini hanya dibuka untuk SD tetapi sekarang sudah dibuka untuk TK dan SMP.

Sekolah ini terletak di Desa Cupuwatu, Kalasan, Sleman Yogyakarta. Di sekolah ini, sejak awal, siswa dikenalkan dengan kurikulum yang menekankan kemerdekaan anak untuk belajar dan mengembangkan potensi anak. Banyak nilai di sekolah ini sekarang menjadi nilai yang dikembangkan dalam Kurikulum Merdeka Belajar.

Sastrawan Sosial

Eksistensi Romo Mangun dalam dunia “tulis-menulis” Indonesia dimulai di waktu bersamaan dengan aktivitasnya sebagai dosen di UGM, tepatnya sejak 1968. Romo Mangun mulai aktif menulis kolom di berbagai surat kabar dan majalah. Aktivitas ini semakin berkembang bahkan ketika ia berhenti sebagai dosen di UGM. Di saat inilah, Romo Mangun terus berkarya sebagai arsitek independent.

Romo Mangun juga aktif dalam dunia kepenulisan dengan berbagai karya berupa artikel, esai, cerpen, novel dan buku nonfiksi. Novelnya yang berjudul Burung-Burung Manyar mendapatkan penghargaan sastra Ramon Magsaysay pada tahun 1996.

Dalam dunia sastra, Romo Mangun memiliki beberapa nama samaran yaitu “Wastuwijaya” atau “Thalib Yusuf”.

Akhir Hayat Y.B. Mangunwijaya Romo Mangun berpulang pada hari Rabu siang, tanggal 10 Februari 1999, di Hotel Le Mendien Jakarta. Beliau tutup usia setelah menyampaikan makalah “Peran Buku demi Kearifan dalam Iptek” dalam symposium Meningkatkan Peranan Buku dalam Upaya Membentuk Masyarakat Baru Indonesia yang diselenggarakan oleh Yayasan Obor Indonesia. Romo Mangun dimakamkan di Kompleks Seminari Tinggi Santo Paulus Kentungan, Yogyakarta. (AES)

Komentar

Tinggalkan Pesan

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Terhubung ke Media Sosial Kami

45,030FansSuka
0PengikutMengikuti
75PengikutMengikuti
0PelangganBerlangganan

Terkini