Minggu, November 17, 2024
33 C
Jakarta

Romo Y. B Mangunwijaya yang Memilih Menemui “Orang Kecil” dari Pada Orang Dekat Menteri

YOGYAKARTA, Pena Katolik – Romo Y. B. Mangunwijaya dikenal karena perhatiannya pada orang-orang kecil. Baginya, perhatian ini begitu mendalam sehingga untuk Romo Mangun, setiap orang perlu mendapat perlakuan sama. Cara Romo Mangun bergaul dengan sesama, menunjukkan seberapa dalam nilai “kemanusiaannya”.

Memilih Bertemu Parto

Suatu hari, Romo Mangun diberi tahu oleh seorang karyawan di Rumah Kuwera, bahwa ada salah satu “orang dekat” seorang menteri di Kabinet Orde Baru, yang memohon untuk bertemu dengannya. Sebagai seorang yang telah dikenal karena karya-karyanya, Romo Mangun sering mendapat undangan semacam ini.

Ketika kabar itu sampai di telinga Romo Mangun, ia tak langsung mengiyakan. Permintaan itu ia terima, dengan sikap hati yang biasa saja.

“Nggih mba matur nuwun, nanti permintaannya akan saya pikirkan,” demikian kurang lebih jawaban yang diberikan Romo Mangun kepada karyawannya itu.

Beberapa saat kemudian, Romo Mangun teringat, ada seorang warga di Kali Code, sebut saja namanya Parto. Parto adalah rakyat biasa, pekerjaannya juga tidak istimewa hanya buruh lepas harian, sama dengan kebanyakan warga di kali code. Parto begitu ingin sekali main dan menemui Romo Mangun.

Romo Mangun ingat, rencana kunjungan Pak Parto dan permintaan untuk bertemu dengan “orang dekat menteri” tadi ternyata di hari yang sama.

Pada suatu sore, Romo Mangun ngobrol dengan karyawannya tadi. Tiba-tiba, Mangun menyinggung soal permintaan pertemuan dengan dua orang tadi. Satu adalah Pak Parto, dan yang lain adalah “orang dekat menteri”.

“Saya harus menemui yang mana ya? Menemui “orang dekat menteri” itu, atau saya jumpai saja Pak Parto?” tanya Romo Mangun.

Romo Mangun sejenak berpikir, ia juga meminta pertimbangan karyawannya, sebelum akhirnya ia memutuskan.

“‘Orang dekat menteri’ itu kan pasti orang penting, ada banyak orang yang ingin bertemu denganya. Sementara Pak Parto, dia hanya buruh lepas biasa, barang kali tak ada orang mau menemuinya, dia datang karena ingin bertemu dengan saya,” kata Romo Mangun.

Romo Mangun hening sejenak, tak lama kemudian ia sampai pada kesimpulan.

“Baiklah, saya menemui Pak Parto saja,” kata Romo Mangun menyimpulkan.

Karyawan Romo Mangun pun hanya bisa mengiyakan. Meski begitu, sejenak ia sulit menerima fakta, Romo Mangun justru memilih menemui Pak Parto dari pada “orang dekat menteri” tadi.

“Romo yakin mau menemui pak Parto?” tanya karyawan itu memastikan.

“Iya, saya memilih menemuinya, tolong sampaikan kepada bapak itu (orang dekat menteri), bahwa saya berhalangan untuk menemui beliau,” kata Romo Mangun.

Obrolan itu pun selesai, beberapa hari kemudian, Romo Mangun kedatangan tamu, yaitu Pak Parto yang sebelumnya sudah berencana ingin main. Obrolannya berlangsung begitu akrab, Romo Mangun lebih banyak mendengar. Sementara Pak Parto bercerita tentang suka dukanya hidup di kawasan sederhana di Kota Yogyakarta.

Begitulah, mungkin kedatangan Pak Parto tidak membawa cerita yang luar biasa, bukan cerita tentang mimpi-mimpi besar. Pak Parto juga tidak membawa buah tangan untuk Romo Mangun. Pak Parto hanya membawa cerita biasa tentang hidupnya. Namun, Romo Mangun begitu antusias, ia dengan penuh perhatian mendengar cerita Pak Parto. Romo Mangun hanya menanggapi seperlunya, namun rasanya itu cukup bagi Pak Parto yang datang hanya ingin bercerita tentang “kehidupan”-nya.

Bagi Romo Mangun, cerita kehidupan dari Pak Parto memiliki nilai yang begitu dalam dan tulus. Berbeda dengan cerita yang mungkin akan ia dapat kalau ia berjumpa dengan “orang dekat menteri” itu.

Begitulah, seorang Romo Mangun menunjukkan kualitas kemanusiaannya. Bagi Romo Mangun, setiap orang patut mendapat penghargaan, bukan karena jabatan, bukan karena koneksinya. Setiap orang siapa saja, dapat memiliki hak untuk didengarkan, karena dalam obrolan itu, setiap orang dapat memahami dan dipahami, di situ ada ungkapan kasih dan juga iman.

Profil Singkat

Tahun ini, Gereja Indonesia mengenang 25 tahun kepergian Romo Mangun. Pejuang kemanusiaan itu lahir di Ambarawa 6 Mei 1929.

Ia menyelesaikan pendidikan SD di Magelang pada tahun 1943. Kemudian, ia melanjutkan pendidikan di sekolah Teknik (setingkat SMP) di Yogyakarta sampai tamat di tahun 1947, dan SLA di Malang sampai tamat di tahun 1951.

Tamat dari SLA, ia kemudian menempuh pendidikan seminari sebagai calon imam Keuskupan Agung Semarang. Seminari Menengah tersebut berada di Jalan Code Yogyakarta hingga 1952, yang kemudian pindah ke Seminari Menengah Mertoyudan, Magelang hingga 1953.

Setelah tamat SLA Seminari Meryoyudan, Y.B. Mangunwijaya melanjutkan studi Filsafat dan Teologi di Institut Institut Filsafat dan Teologi Sancti Pauli, Yogyakarta dan tamat di tahun 1959. Romo Mangun kemudian ditahbiskan pada tanggal 8 September 1959 oleh Mgr. Albertus Soegijapranata, SJ.

Sesudahnya, ia melanjutkan studi di jurusan Arsitektur Institut Teknologi Bandung sampai tahun 1960. Selanjutnya Y.B. Mangunwijaya melanjutkan studi di Jerman yaitu Sekolah Tinggi Teknik Rhein, Westfalen, Aachen Jerman dari tahun 1960-1966.

Sepulang dari Jerman, Romo Mangun bertugas sebagai pastor yang memperhatikan kaum miskin dan tinggal di paroki Salam, Magelang. Pada tahun 1978 Romo Mangun mengikuti Fellow of Aspen Institute for Humanistic Studies, Aspen, Colorado, Amerika Serikat. (AES)

Komentar

Tinggalkan Pesan

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Terhubung ke Media Sosial Kami

45,030FansSuka
0PengikutMengikuti
75PengikutMengikuti
0PelangganBerlangganan

Terkini