Minggu, Desember 22, 2024
25.2 C
Jakarta

Wayang Wahyu: Awal Kelahiran dan Perkembangannya Kini

Wayang Wahyu>IST

SURAKARTA, Pena Katolik – Suatu malam pada bulan Oktober 1957, M.M. Atmowiyono mementaskan wayang di Gedung Himpunan Budaya Surakarta. Tidak seperti pementasan wayang pada umumnya, Atmowiyono memainkan lakon “Dawud Mendapat Wahyu Keraton”, ‘Daud Mendapat Wahyu akan Menjadi Raja’. Kisah yang dimainkan guru di Sekolah Guru Bantu Il Surakarta, Jawa Tengah itu tidak diambil dari kepos Mahabarata namun dari penggalan kisah Kitab Suci Perjanjian Lama.

Satu di antara ratusan penonton malam itu adalah Bruder Timotheus L. Wignjosoebroto FIC. Ia tergugah dengan lakon yang dimainkan Atmowiyono, dari situ, ia mendapat ide satu bentuk pewartaan melalui wayang.

Tak butuh waktu lama, Br. Wignjo tergerak menjadikan wayang sebagai sarana pewartaan untuk menyampaikan firman Tuhan. Ia pun lalu mendiskusikan idenya itu bersama banyak pihak dari lingkup Gereja Katolik, Vikariat Apostolik Semarang, termasuk Atmowiyono.

“Rasanya pewartaan melalui media wayang ini akan sangat bagus, umat akan senang menyambut wayang ini, apalagi masyarkat di Jawa Tengah dan Yogyakarta yang sangat mencintai kesenian wayang ini, ujar Br. Wignjo yang saat itu menjadi Kepala SD Pangudi Luhur Purbayan Surakarta.

Romo Agustinus Handi Setyanto saat mementaskan Wayang Wahyu. Dok. Sesawi.net

Membentuk Panitia

Sejarah awal kelahiran Wayang Wahyu ini diceritakan dalam sebuah tulisan di Mingguan Djaja yang terbit pada Agustus 1963 yang ditulis Anton Sudjiono.  

Setelah melihat pementasan wayang dengan lakon Dawud itu, Br. Wignjo kemudian membentuk tim yang tugasnya merumuskan bentuk-wayang. Ide-ide dari tim ini kemudian dilukis oleh Roosradi, yang saat itu bekerja sebagai Kepala Inspeksi Pendidikan Jasmani Kota Sala. Urusan penyusunan pedalangan kemudian diserahkan kepada tiga orang: M. Atmawidjaja (Guru SMP), Marosudirdjo (Kepala Sekolah Rakyat Kanisius), dan A. Suradi (Letnan Tentara yang juga Katekis di Kalangan Militer). Pada awal penyusunan wayang ini, tim ini menamainya sebagai “Wayang Katolik”.

Sebagai seorang biarawan, Br. Wignjo sadar bahwa adanya Wayang Katolik perlu mendapat legitimasi dari hierarki. Ia perlu mendapat masukan dan ide-ide dari para imam. Untuk itu, ia lalu memohon kesediaan tiga orang imam untuk menjadi penasihat yakni: Romo Sutapanitera, SJ; Romo Hadisudjana MSF; dan Romo J. Darmajuwana, Vikaris Jenderal Vikariat Apostolik Semarang, yang kelak menjadi Kardinal Pertama asal Indonesia.

Setelah perencanaan selama hamper tiga tahun, mimpi Br. Wignjo untuk menghadirkan Wayang Katolik sebagai media perartaan akhirnya menjadi kenyataan. Wayang Katolik hasil pengembangan Br. Wignjo, Atmowiyono dan teman-temannya dipentaskan pertama kali pada 2 Februari 1960 di Gedung Sekolah Kejuruan Kepandaian Puteri Purbayan Solo. Tak hanya satu, malam itu, pementasan Wayang Wahyu menampilkan tiga lakon” “Malaikat Mbalela”, “Manusia Pertama Jatuh dalam Dosa”, dan “Kelahiran Tuhan Yesus Kristus”.

Seiring waktu, nama Wayang Katolik rasanya kurang pas. Maka, atas saran PC Soetopranito SJ, dinamakan wayang wahyu.

Pementasan di Depan Uskup

Setelah pementasan pertama ini, sambutan umat Katolik, khususnya di Vikariat Apostolik Semarang sangatlah bagus. Pada 17 Oktober 1960, Wayang Wahyu mendapat kesempatan tampil di depan Vikariat Apostolik Semarang, Mgr. Albertus Soegijapranata SJ.

Mgr. Soegijapranata atau yang sering disapa Romo Kanjeng, memberi apresiasi atas ide pewartaan melalui wayang yang dicetuskan Br. Wignjo dan tim. Ia sangat menghargai jerih Lelah Br. Wignjo yang mampu menghadirkan media pewartaan khas Jawa, dan dekat dengan budaya lokal.

“Menarik sekali, saya sangat senang melihat pementasan ini,” ujar Romo Kanjeng.

Uskup pertama asli Indonesia itu kemudian memberi saran supaya wayang wahyu menjadi lebih baik. Di antaranya, ia mengusulkan agar Wayang Wahyu dilakukan perbaikan/percobaan di lingkungan sendiri sebelum mendapat Imprimatur dari Gereja. Hal ini penting, sebagai media pewartaan, Wayang Wahyu perlu mendapat pengakuan dari otoritas Gereja, bahwa setiap bagian dan kontennya sesuai dengan ajaran Gereja dan tidak bertentangan dengannya. Imprimatur adalah pengakuan resmi dari otoritas Gereja, yang menyatakan bahwa sebuah buku atau karya-karya lainnya boleh diterbitkan atau disampaikan kepada umat.

Meski diminta untuk melakukan perbaikan, namun Br. Wignjo justru semakin bersemangat. Pengakuan dari Romo Kanjeng melecut semangat untuk terus mengembangkan Wayang Wahyu. Ia dan tim kemudian melakukan perbaikan wayang dan pementasan.

Semula, Wayang Wahyu dibuat sangat sederhana, terbuat dari karton atau kardus. Br. Wignjo kemudian berusaha untuk menyempurnakan dan membuatnya dari bahan kulit. Br. Wignjo juga menambah lakon yang dipentaskan. Setiap lakon dipentaskan tak lebih dari tiga jam dan sedapat mungkin tidak mengabaikan seni pedalangan dan karawitan.

Sejak saat itu, Wayang Wahyu dipentaskan pada hari-hari besar Katolik, utamanya Natal dan Paskah. Pementasan juga dilakukan untuk mernsyukuri ulang tahun gereja atau paroki.

Kemunculan Wayang Wahyu diakui pertama kali dari Kalangan Katolik. Namun, kehadirannya kemudian menjadi inspirasi untuk Wayang Warta yang berkembang di kalangan umat Kristen Protestan di Jawa Tengah dan Yogyakarta yang muncul sekitar tahun 1970. Wayang Warta ini pertama kali merupakan hasil kreasi Hadi Subroto yang bekerja sama dengan Ki Sumiyanto, mantan pegawai dinas pendidikan dan kebudayaan, atas inisiatif Sukimin, seorang guru SD di Klaten.

Pementasan Wayang Wahyu di Seni Budaya Bhuana Alit Ganjuran. IST

Wayang Wahyu di Zaman Kini

Saat ini, Gereja Hati Kudus Ganjuran rutin mementaskan Wayang Wahyu ini setiap tahun pada hari-hari istimewa Gereja. Tak jauh dari gereja ini, ada juga sentra pembuatan Wayang Wahyu yang terletak di Sumbermulyo, Ganjuran, Bantul, Yogyakarta. Di sini, ada Sanggar Seni Budaya Bhuana Alit dan Museum Wayang Beber Sekartaji.

Sanggar Seni Budaya Bhuana Alit merupakan inisiatif dari Fransiscus Asisi Trias Indra Setiawan, yang dikenal juga sebagai pengrajin Wayang Wahyu. Nama Sanggar Seni Budaya Bhuana Alit memiliki makna filosofis, yang berarti ‘dunia anak-anak’. Di sini, anak-anak diajari untuk menjadi dalang pada pertunjukan Wayang Wahyu.

Di Keuskupan Purwokerto, ada Romo Agustinus Handi Setyanto yang mulai mengembangkan kebudayaan lokal bagi umat Katolik sebagai sarana untuk mewartakan Kerajaan Allah. Hal ini ia awali saat mulai bertugas di Paroki Tyas Dalem Kroya pada Agustus 2008.

Romo Handi awalnya melihat antusias masyarakat di sekitar paroki yang sangat menggemari wayang kulit dan krawitan. Hal ini memunculkan ide untuk mengembangkan Wayang Wahyu sebagai media pewartaan di paroki ini.

Romo Handi berharap Wayang Wahyu bisa makin dikenal oleh orang-orang Katolik. Ia menilai, Wayang Wahyu adlah kekayaan Gereja Katolik Indonesia, yang membuka ruang untuk adanya inkulturasi iman khususnya untuk umat Katolik di Jawa.

“Dengan adanya Wayang Wahyu, perkembangan wayang di Nusantara makin bertambah. Dengan hadirnya Wayang Wahyu, maka kita sebagai bangsa Indonesia makin bangga karena bertambahnya jumlah jenis wayang,” tambahnya.

Sebuah sanggar kemudian didirikan di Pastoran Tyas Dalem untuk mengekspresikan kesenian tradisional tersebut. Romo Handi mengakui, hadirnya sanggar wayang dan krawitan mempunyai dampak yakni: liturgi Gerejani menjadi lebih hidup. Dampak yang lain adalah kerukunan masyarakat sesama pecinta kesenian tradisional ini.

Dari Keuskupan Bandung ada Romo Y. Istimoer Bayu Ajie yang juga mengembangkan Wayang Wahyu sebagai media pewartaan. Perkembangan ini, menunjukkan bahwa Wayang Wahyu terus berkembang, khususnya di komunitas umat di Pulau Jawa.

Mimpi Br. Wignjo yang pertama kali menghadirkan Wayang Wahyu bersama Atmowiyono dan timnya seakan terus dipelihara dan disirami dengan ide-ide baru yang menyesuaikan pementasan wawang ini sebagai satu bentuk pewartaan. (AES)

Komentar

Tinggalkan Pesan

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Terhubung ke Media Sosial Kami

45,030FansSuka
0PengikutMengikuti
75PengikutMengikuti
0PelangganBerlangganan

Terkini