Minggu, Desember 22, 2024
30.1 C
Jakarta

Maria Bunda Segala Suku: Ikonografi Maria Indonesia

Patung Maria Bunda karya Basuki Abdullah yang disimpan di Den Haag Belanda. IST

Pastor Edmund C. Nantes OP

Dosen Mariologi dan Teologi Kontekstual di STT Pastor Bonus, Pontianak Kalimantan Barat

*Tulisan ini adalah penggalan dari makalah berjudul “Musings on Christian Iconography and the Indonesian Gua Maria. Di mana untuk edisi Arue hanya diambil pada bagian ikon Maria khas Indonesia.

Penggunaan ikonografi berakar pada sifat inkarnasi agama Kristen. Tuhan yang tidak terlihat membuat diri-Nya tidak hanya terlihat tetapi juga mengambil kemanusiaan kita sendiri. Yohanes Penginjil bersusah payah menjelaskan bahwa Dia bukan sekedar penampakan, imajinasi, melainkan “logos”, ‘sabda’ yang menjadi daging adalah seseorang yang dapat dicerap oleh indra kita.

Ketika Gereja mempunyai pemahaman yang jelas bahwa Yesus dari Nazaret adalah Allah sejati dan manusia sejati, maka terbukalah jalan untuk memandang Maria dari sudut pandang yang sama sekali berbeda. Maria bukan sekedar pembawa Kristus sebagai manusia (Christotokos) namun juga pembawa Tuhan (Theotokos).

Jika Tabut Perjanjian dianggap suci, apalagi Maria! Tabut yang disimpan di bagian tersuci Bait Suci Yerusalem berisi tanda-tanda keperkasaan Tuhan pada peristiwa eksodus: loh hukum, tongkat Musa, dan beberapa contoh manna. Yesus, Putra Maria, bukan sekadar tanda Tuhan. Dia adalah Tuhan dan hubungan antara Yesus dan Maria lebih dari sekedar hubungan spasial antara wadah dan beberapa kenang-kenangan suci. Itu adalah ikatan hidup yang intim dan tak terpisahkan. Pernyataan pengakuan iman yang keluar dari Efesus pada tahun 431 M bahwa Maria adalah Bunda Allah mengukuhkan statusnya sebagai layak menerima hyperdulia, yaitu layak dihormati di atas semua malaikat dan orang suci.

Devosi kepada Maria adalah konsekuensi dari kepercayaan kita kepada Yesus Kristus. Jika Kristus mempunyai monogramnya sendiri, yang secara khusus disebut “Kristogram”, umat Kristiani juga mulai membuat “Mariogram”. Benda-benda tersebut dapat ditemukan pada medali, sulaman pada kasula dan linen altar, ornamen arsitektur di gereja, gambar suci, kartu, dan hampir di mana saja orang menghormati Maria.

Dalam bahasa apapun nama Mary dimulai dengan M: Mary (Inggris), Maria (Latin, Spanyol, Italia, Jerman, Portugis, Polandia, Filipina), Marie (Prancis), Mariam (Arab), Mari (Jepang, Korea), dll Secara universal monogram M dikaitkan dengan nama suci Maria. Perkembangan selanjutnya adalah penambahan huruf A, dan digabungkan dengan M, menunjuk pada huruf pertama salam malaikat, “Ave Maria.” Frasa ini adalah awal dari doa dan himne paling populer yang dibuat untuk menghormati dan menyapa Bunda Allah.

Karena dia juga Ratu Langit dan Bumi, variannya menambahkan mahkota di atas monogram. Varian lainnya adalah penambahan dua belas bintang yang mengelilingi dan membingkai monogram. Dua belas bintang menunjukkan bahwa wanita yang digambarkan dalam Wahyu 12:1 adalah Maria, atau bahwa dia adalah Ratu Para Rasul, ibu pemimpin Umat Allah Baru yang meneruskan warisan 12 suku Israel. Selama bertahun-tahun para seniman telah menghasilkan berbagai interpretasi terhadap monogram dengan menambahkan lebih banyak simbol dan perkembangan. Berikut beberapa contohnya.

Patung Maria di Gua Maria Njongan Kalimantan Barat. IST

Maria Segala Suku, Maria Indonesia

Di Indonesia, banyak upaya menarik untuk mendekatkan Perawan Terberkati di hati masyarakat seperti gambar yang terdapat di Gereja Hati Kudus di Ganjuran Yogyakarta dan gambar Maria Ratu Segala Bangsa (Suku Bangsa) di Katedral Jakarta. Penulis memilih untuk fokus pada gambar-gambar yang melibatkannya.

Pada saat penulis menghadiri Misa Konsekrasi Katedral Palembang, penulis berkunjung ke Provinsial Kongregasi Hati Kudus (SCJ), penulis melihat sebuah lukisan tergantung di belakang meja kantor. Lukisan Maria yang merupakan intepretasi yang dilukis oleh Basoeki Abdullah. Karya ini sangat mirip dengan karya yang lebih populer dan terdokumentasi yang dibuat pada tahun 1933 di Nijmegen, Belanda, yang diberikan Basuki kepada para Jesuit sebagai tanda penghargaan atas beasiswa yang diterimanya.

Yang satu ini di Provinsial SCJ, lukisan ini lebih sederhana, tanpa berlatar belakang pegunungan Merapi dan Merbabu. Hanya awan sebagai latar belakangnya. Wajah Perawan berkulit gelap dan ia mengenakan kebaya batik khas Jawa. Secara halus, bagian ini mengajarkan antara lain bahwa Surga bukan hanya diperuntukkan bagi orang-orang berkulit putih dari negara lain, surga juga terbuka bagi semua orang dan khususnya bagi masyarakat Indonesia. Ikonografi memiliki cara yang ampuh untuk mengajar orang.

Patung Maria Bunda Segala Suku. IST

Maria Ratu Damai

Contoh kedua yang ditampilkan dalam ilustrasi di bawah ini adalah gambar Bunda Maria Damai di Anjongan, Keuskupan Agung Pontianak. Penulis diminta oleh Bendahara Keuskupan Agung untuk merancang gambar yang terlihat jelas dari jalan utama yang menuju ke tempat suci yang lebih tua. Citra yang lebih besar, lebih umum, dan lebih baru ini mempunyai beberapa hal yang menarik. Sedangkan Bunda Maria memakai warna merah dan biru, mirip dengan Bunda Penolong Abadi, pada pakaian berwarna merah terdapat karakter Tionghoa perdamaian di bagian atas dan di bagian bawah bermotif Dayak.

Dengan memadukan kedua elemen ini dalam satu tunik mulus, Maria mengajarkan harmoni. Kelompok utama yang berselisih sebelum perjanjian damai yang diperingati tahun 1973 adalah masyarakat keturunan Tionghoa dan Dayak. Semula dalam desainnya hanya ada tiga anak yang hadir di bawah jubah Bunda Maria untuk mewakili tiga suku utama di sekitarnya (Dayak, Tionghoa, dan Melayu), Uskup Agung Agus memerintahkan untuk menambahkan lebih banyak lagi untuk secara simbolis merangkul seluruh suku di Indonesia.

Yang tidak terlihat dalam gambar ini adalah 12 ekor merpati perdamaian yang melayang dan terbang keluar sebagai latar belakang. Umat ​​beriman yang merupakan murid-murid saat ini dipanggil untuk membawa pesan perdamaian dan pembawa perdamaian bagi diri mereka sendiri. Seluruh ansambel ditempatkan di atas podium. Podium ini berbentuk seperti sapu lidi. Salah satu pahlawan nasional Indonesia, Jendral Soedirman pada tahun 1944 pernah mempopulerkan pepatah “Sebatang lidi tidak berarti apa-apa, tapi bila terikat jati satu, akan menyapu semuanya.” (Tongkat tidak berarti apa-apa, tetapi jika disatukan, ia akan menyapu bersih segalanya.) Jadi, sapu menunjukkan pentingnya persatuan. Indonesia merupakan negara kepulauan yang terdiri lebih dari 17.000 pulau. Perlunya persatuan tidak pernah bisa dilebih-lebihkan. Ciptakan perdamaian, bukan perang.

Mari kita mengundang dan menyambut Maria ke dalam rumah kita dan merasakan berkat melimpah berupa kedamaian dan sukacita yang dibawanya. Sama seperti di Kana, dia bisa berdoa kepada Putranya untuk memberikan kita rahmat yang kita butuhkan. Tolong, jangan hanya mengurung Maria di dalam gua.

Komentar

Tinggalkan Pesan

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Terhubung ke Media Sosial Kami

45,030FansSuka
0PengikutMengikuti
75PengikutMengikuti
0PelangganBerlangganan

Terkini