PONTIANAK, Pena Katolik – Uskup Agung Pontianak, Kalimantan Barat Mgr. Agustinus Agus diterima ke dalam Keluarga Dominikan di Pontianak, Pontianak, Jumat 23 Agustus 2024. Dengan penerimaan ini, ia menggabungkan hidup dan karyanya dengan misi pelayanan pewartaan Ordo Dominikan.
Di penghujung perayaan misa sore itu, Mgr. Agustinus juga menyampaikan sapaannya pada umat atas perayaan penerimaannya sebagai fraternitas Dominikan.
“Kesempatan pertama, tentu saya mengucapkan terima kasih kepada provinsial, yang telah menerima lamaran saya, untuk menjadi bagian atau anggota dari persaudaraan Dominikan,” kata Mgr. Agustinus.
Dorongan Hati
Mgr. Agustinus mengikuti Asian Youth Day di Taiwan pada tahun 2001. Saat itulah, ia sempat dia mampir ke Filipina dan bertemu Provinsial Ordo Pewartaa saat itu, dan beberpa Imam Dominikan termasuk, termasuk Pastor Gerard Francisco Timoner III OP yang sekarang menjadi Master Jenderal Ordo Dominikan. Mgr. Agustinus juga sempat berjumpa dengan pastor-pastor Dominikan di Roma.
Itulah, asal mulanya Mgr. Agustinus mengundang Ordo Dominikan untuk berkarya di Keuskupan Agung Pontianak. Karya ordo ketika itu dimulai di STT Pastor Bonus, Pontianak.
Panjangnya peristiwa-peristiwa itu akhirnya Uskup Agustinus merenungkan. Ia mencermati, ada beberapa uskup, bahkan kardinal yang menjadi Dominikan. Butuh waktu enam tahun hingga Mgr. Agustinus akhirnya memutuskan untuk bergabung dengan Keluarga Dominikan.
“Jadi saya bukanlah orang yang pertama dan akhirnya saya mengambil keputusan selama, enam tahun memikirkan dan satu tahun terakhir saya serius mengajukan lamaran dan terjadi hari ini,” tambahnya.
Mgr. Agustinus menceritakan, pertama-tama yang mendorongnya adalah pilihan hidup, yang selalu penuh iman. Ia mengungkapkan, pada 22 November 2024 umurnya akan menjadi 75 tahun. Namun, ia merasa masih seperti 57 tahun.
“Saya kan ingin terus-menerus mengabdi. Kadang saya pikir aneh sendiri, tidak pernah sakit. Zaman Covid pun tidak,” tuturnya.
Akhir-akhir ini, Mgr. Agsutinus merenungkan bahwa panggilannya adalah untuk membuat terobosan-terobosan. Untuk berbuat hal-hal yang tak biasa. Istilah Mgr. Agustinus adalah membuat hal-hal yang “aneh-aneh” dulu. Karena baginya berbuat hal yang biasa-biasa sudah banyak orang yang melakukannya.
“Jadi saya sangat menikmati panggilan,” katanya.
Pendekatan Intelektual
Di mata Mgr. Agustinus, Dominikan merupakan spritualitas untuk mewartakan sukacita dengan pendekatan intelektual tetapi tetap rendah hati.
“Pendekatan Intelektual artinya memperhatikan pendidikan, dan dimana-mana di mana Dominikan berkarya selalu ada beasiswa untuk orang-orang miskin dan mereka yang mendapat beasiswa itu dididik,” kata Mgr. Agustinus.
Dominikan merupakan spritualitas dengan pendekatan intelektual dengan semangat kerendahan hati, tetap terbuka dan merakyat. Dengan masuk Dominikan, ia berharap agar bisa meyalani dengan lebih baik lagi. Dengan bergabung ke dalam keluarga besar Dominikan, ia merasa diperkuat dan bisa melayani lebih lagi.
“Dengan kondisi fisik yang prima ini, seakan-akan Tuhan mau mengatakan bahwa ‘Mgr. Agus, saya beri kesehatan yang prima untuk kamu, tetapi jangan coba berhenti melayani’ dan saat saya melayani, tidak mungkin saya sendiri, tetapi bersama orang lain dalam hal ini ingin bergabung dalam Dominikan,” kata Mgr. Agustinus.
Penyelenggaraan Allah
Mgr. Agustinus heran, pada momen ketika ia berada mengenakan jubah Dominikan. Tetapi, ia mengaitkan semua perjalanan panggilannya, dari sana, umat bisa mengambil kesimpulan sendiri. Berasal dari kampung Lintang, pada tahung 1959, Agustinus sekolah di Bodok, waktu itu di asrama yang diasuh oleh Pastor Kapusin. Di sekolah ini, ia bahkan mengaku menjadi “anak emas” Pastor Ewald OFMCap.
Sampai dengan SMA, Agustinus dididik oleh Kapusin. Dia masuk seminari menengah Nyarumkop karena kampungnya masuk wilayah Keuskupan Ketapang. Selanjutnya, ia menjalani pendidikan sebagai calon imam Keuskupan Ketapang.
Ketika berdiri Perfektur Apostolik Sekadau, yang kemudian menjadi Keuskupan Sanggau, Agustinus sempat mengirim surat lamaran kepada Ordo Passionis. Namun, surat itu rasanya tak berbalas. Itu menjadi alasan mengapa Frater Agustinus akhirnya memilih menjadi calon imam projo Keuskupan Sanggau.
Pastor Agustinus ditahbiskan menjadi imam itu 19 Juni 1977. Kemudian pada 1 Januari 1978, belum genap satu tahun, ia sudah diangkat menjadi Pastor Paroki di Senanga. Saat itu, ia bekerja dengan dua Imam Passionis orang Italia. Satu diantaranya mantan Propinsial Italia, Pastor Damasus CP.
“Bertahun-tahun saya satu-satunya imam pribumi, dan projo pertama berkarya ditengah-tengah imam Passionis dan semuanya orang Italia dalam kurun 4 sampai 5 tahun,” kata Mgr. Agustinus.
Pengalaman Ditolak
Sebetulnya Frater Agustinus, pada tahun 1974, sempat melamar untuk jadi imam Passionis. Namun, ia mengatakan bahwa lamarannya saat itu tidak pernah ‘digubris’, mungkin dibaca-pun tidak.
Setelah menyelesaikan studi di Yogyakarta sebegai calon imam projo tahun 1976, Provinsial Passionis kala itu, Pastor Vincent Carleti CP baru membuka suratnya dan ditanya lagi, “saudara Agus saya lihat ada lamaran untuk jadi Passionis bagaimana sekarang? Kemudian, saya jawab, enggak, sekarang yang penting saya jadi Imam,” katanya.
Mgr. Agustinus mengakui, semua pengalaman ini adalah pengalaman yang meneguhkan. Mulai dari dimana dia bertugas, bahkan selalu ditempat yang tidak dia kenal.
“Kemudian bayangkan, saya menjadi Uskup Sintang namun belum pernah menjadi Pastor Paroki diwilayah Sintang. Begitupun menjadi Uskup Agung Pontianak, saya tidak pernah menjadi pastor di wilayah Keuskupan Agung Pontianak,” katanya.
Uskup Agustinus berterima kasih atas dukungan saudara-saudari yang terkasih, dan tentunya dukungan doa itulah yang dia butuhkan. Menurutnya seperti yang dikatakan Pastor Deng, atas dasar apa seseorang memutuskan untuk mencintai, semakin ditanya, semakin mengetahui maka semakin tahu kita merasa kita semakin kecil. (Samuel/Media Center San Agustin)