MOGADISHU, Pena Katolik – Sore itu, 12 September 2006, Suster Leonella Sgorbati MC baru saja mengakhiri karya hariannya di sebuah rumah sakit anak di Mogadishu, Somalia. Sepeti biasa, ia berjalan menyusuri kota itu untuk mencapai biara tempat ia tinggal.
Baru beberapa langkah ia berjalan keluar dari rumah sakit, tiba-tiba terdengar suara tembakan. Tak dinyana, seketika sebuah peluru menembus tubuh Sr. Sgorbati. Ia langsung terkapar. Beberapa orang, termasuk beberapa rekan suster, datang menolongnya.
Tembakan itu berasal dari dua pria bersenjata yang muncul dari taksi dan kios di dekat rumah sakit tempat Sr. Sgorbati bekerja. Ia ditembak sebanyak tiga atau empat kali. Pengawalnya Mohamed Osman Mahamud sempat berusaha melindungi. Namun, pengawal itu juga tertembak.
Sgorbati sempat dilarikan ke rumah sakit, tetapi kemudian ia meninggal di sana di meja operasi. Namun akhirnya, itu menjadi hari terakhir untuk Sr. Sgorbati melayani di Somalia. Sebelum menghembuskan nafas pada perhentian terakhirnya, ia berseru memaafkan pembunuhnya.
“Saya mengampuni, saya mengampuni, saya mengampuni,” demikian kata-kata terakhir Sr. Sgorbati.
Ia ditembak bersama pengawal dan sopirnya, Mohamed Osman Mahamud. Ayah empat anak itu juga terbunuh dalam peristiwa itu.
Banyak Muslim di Somalia mengutuk pembunuhan ini. Masyarakat di Somalia mengakui pelayanan yang telah diberikan Sr. Sgorbati yang sudah mulai melayani di sana sejak 2001.
Pejabat Somalia berusaha untuk menegakkan keadilan atas pembunuhan biarawati itu. Mereka menangkap dua tersangka yang dilanjutkan penyelidikan atas pembunuhan itu.
Kesalahpahaman
Sekitar 9000 kilometer dari Mogadishu, seminggu sebelumnya Paus Benediktus XVI berbicara di Universitas Regensburg 12 September 2006. Pidato ini sebenarnya hanay sebuah tema biasa bagi seorang Paus Bavaria ini.
Namun, salah satu bagian dari pidato ini salah dipahami dan dinilai menyinggung umat Muslim. Sontak, pidato ini memicu reaksi keras di negara-negara Islam. Protes dan kekerasan terjadi di beberapa tempat, salah satunya di Mogadishu, di mana Sr. Sgorbati akhirnya yang jatuh sebagai korban.
Kematian Sr. Sgorbati terjadi tepat setelah pernyataan 15 September 2024, saat seorang ulama garis keras mengatakan kepada para jamaah di sebuah masjid di MOgadishu untuk memburu dan membunuh semua orang yang menyinggung Islam. Setelah itu, beberapa pekerja kemanusiaan dan relawan Kristen terbunuh.
Setelah penyelidikan panjang, Paus Fransiskus mengakui kemartiran Suster Sgorbati. Biarawati Misionaris Consolata (Institutum Missionum a Consolata/MC) ini kemudian diangkat menjadi beata. Ia dinyatakan kudus karena telah mengorbankan nyawanya dalam pelayanan penuh belas kasih di Somalia. Hari rayanya untuk mengenang Sr. Sgorbati dirayakan setiap 17 September.
Kematian Sr. Sgorbati disinyalir sebagai buntut dari pidato di Regensburg, yang disampaikan lima hari sebelumnya. Meski begitu, banyak Muslim di Somalia mengutuk pembunuhannya.
Sr. Sgorbati menjalani kursus keperawatan di Inggris dari tahun 1966 sampai 1968. Ia lalu dikirim pada bulan September 1970 ke Kenya. Di sinilah ia bekerja di klinik milik kongregasinya antara tahun 1970 sampai 1983, yaitu di Rumah Sakit Consolata Mathari di Nyeri dan di Rumah Sakit Nazareth di Kiambu, pinggiran Nairobi. Saat itu, ia bekerja sebagai bidan.
Pada pertengahan tahun 1983, Sr. Sgorbati memulai studi lanjutannya dalam bidang keperawatan. Pada tahun 1985, ia menjadi tutor utama di sekolah keperawatan yang berdidir melekat di Rumah Sakit Nkubu di Meru.
Pada bulan November 1993, Sr. Sgorbati terpilih sebagai kepala daerah ordo di Kenya dan menjalankan tugas itu sampai tahun 1999. Sr. Sgorbati mengambil cuti panjang pada tahun 2000 dan kemudian pada tahun 2001 mulai karyanya di Mogadishu di Somalia.
Di tempat karya yang baru ini, Sr. Sgorbati melihat potensi mendirikan sekolah perawat baru di rumah sakit. Sekolah Keperawatan Komunitas Terdaftar Hermann Gmeiner dibuka pada tahun 2002 dengan Sr. Sgorbati sebagai penanggung jawabnya. Sebanyak 34 perawat pertama lulus dari sekolah tersebut pada tahun 2002. Saat inilah, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menganugerahkan sertifikat dan diploma kepada mereka.
Sr. Sgorbati berbicara bahasa Somalia dengan lancar. Ia dikenal sebagai pribadi yang ramah. Karyanya diterima oleh masyarakat di Mogadishu, di mana ia melayani masyarakat yang mayoritas adalah umat Muslim.
Beberapa hari sebelum ia terbunuh, Sr. Sgorbati baru saja mendapatkan visa untuk tetap melayani. Ia menghadapi kesulitan dalam memperoleh visa masuk kembali ke Mogadishu. Hal ini karena aturan baru pengadilan Islam, yang mengendalikan kota dan sekitarnya. Pada tanggal 13 September 2006, ia berhasil kembali ke Mogadishu
Peluru dengan Namanya
Somalia terlibat dalam konflik yang lebih luas, dengan pemerintahannya yang goyah selama beberapa dekade. Hal ini diakui Sr. Sgorbati. Pada satu kesempatan, ia pernah menyampaikan situasi ancaman dalam karyanya ini.
Meskipun begitu, ketakitan tidak menyurutkan semangat Sr. Sgorbati untuk tetap berkarya di Somalia dengan berani. Ia tidak takut dengan bahaya, bahkan, ia menghadapinya dengan berani.
“Saya tahu ada peluru dengan nama saya di atasnya. Saya tidak tahu kapan itu akan tiba, tetapi selama itu belum tiba, saya akan tetap tinggal (di Somalia),” kata Suster Sgorbati dalam sebuah wawancara televisi di Italia pada bulan Maret 2006.
Kemartiran
Pada hari Minggu setelah kematian Sr. Sgorbati, Paus Benediktus XVI menyebut namanya dalam pidatonya sebelum memimpin Angelus di Lapangan St. Petrus.
“Kadang-kadang, orang-orang tertentu diminta memberikan kesaksian darah yang tertinggi, yang juga terjadi beberapa hari yang lalu kepada Religius Italia, Sr Leonella Sgorbati, yang meninggal sebagai korban kekerasan.”
Paus Benediktus XVI mengenang kepergian Sr. Sgorbati sebagai sebuah kesaksian akan Kristus. Menurutnya, kematian Sr. Sgorbati adalah bentuk kesaksian paling sejati.
“Suster ini, yang melayani orang miskin dan orang-orang hina di Somalia selama bertahun-tahun, meninggal dengan kata-kata ‘saya mengampuni’ di bibirnya. Ini adalah kesaksian Kristiani yang paling sejati, tanda pertentangan yang damai yang menunjukkan kemenangan cinta atas kebencian dan kejahatan.”
Kenangan dan Beatifikasi
Upacara pemakaman Sr. Sgorbati dilaksanakan pada tanggal 21 September di Kapel Consolata di Nairobi yang dipimpin Uskup Djibouti, Mgr. Giorgio Bertin OFM. Saat itu, Duta Besar Italia untuk Kenya hadir bersama perwakilan Kenya dari Perserikatan Bangsa-Bangsa.
Dalam sambutannya, Mgr. Bertin mengatakan, bahwa ia menekankan pesan cinta dan kebersamaan dengan menambahkan bahwa “hidup bersama itu mungkin”. Rekan Sr. Sgorbati di misi di Kenya, Sr. Rose MC, mengatakan di pemakamannya bahwa “Sr. Sgorbati adalah pribadi yang sangat murah hati” kepada semua orang yang ditemuinya.
Sr. Sgorbati dimakamkan di Nairobi. Beberapa tahun kemudian, makamnya digali dan jenazahnya pemeriksaan secara kanonik pada tanggal 30 September 2017. Jenazahnya lalu ditempatkan di sebuah sebuah gereja di Nairobi. Paus Fransiskus mengunjungi gereja itu pada tanggal 22 April 2017.
Proses keuskupan diadakan di Mogadishu sejak tanggal 16 Oktober 2013. Kongregasi untuk Penggelaran Orang Kudus mengesahkan penyelidikan ini pada tanggal 19 September 2014. Paus Fransiskus mengonfirmasi pada tanggal 8 November 2017 dan menyatakan bahwa Sr. Sgorbati dibunuh karena kebencian terhadap iman, sebuah pernyataan yang menjadikannya seorang kudus bergelar beata.
Misa Beatifikasi untuk Sr. Sgorbati berlangsung pada tanggal 26 Mei 2018 di Piacenza, Italia yang dimpimpin Sekretaris Negara Vatikan, Kardinal Angelo Amato SDB yang memimpin perayaan atas nama Paus. (AES)