Pontianak, Pena Katolik| Sebagian besar kita berpandangan bahwa memiliki banyak harta kekayaan lantas hidup akan terasa bahagia dan sempurna.
Ada pula berpandangan bahwa orang yang menghayati hidup keagamaan dengan baik (rajin ke gereja, berdoa, bersedekah), mentaati hukum dan perintah Tuhan akan mengalami damai dan tenang. Realitas hidup yang dialami tidaklah demikian.
Orang yang banyak harta kekayaan masih mengalami kekurangan dan tidak bahagia. Begitu juga dengan orang yang terkesan saleh dalam hidup keagamaan pun masih menderita dan banyak tantangan. Ternyata banyak harta dan saleh dalam hidup keagamaan belum menjamin orang merasa sukacita, damai dan tenang, apalagi sempurna.
Pengalaman orang muda yang kaya dalam injil hari ini menjadi pembelajaran bagi hidup kita. Ia bersoal jawab dengan Yesus perihal perbuatan baik, perintah dan hukum Tuhan, dan apa yang masih kurang?
Kata Yesus kepadanya, “Jikalau engkau hendak sempurna, pergilah, juallah segala milikmu dan berikanlah itu kepada orang-orang miskin, maka engkau akan beroleh harta di surga, kemudian datanglah ke mari dan ikutlah Aku” (Mat 19:16-22). Orang muda yang kaya itu pergi dengan sedih, karena banyak hartanya.
Tinggal satu saja syaratnya, juallah harta dan berikanlah kepada orang-orang miskin, dan datang mengikut Yesus. Orang muda yang kaya itu merasa sedih karena hatinya melekat pada harta kekayaan.
Kita tahu bahwa harta kekayaan duniawi ini hanyalah sarana bukan satu-satunya sumber sukacita, tetapi sifat kemelakatan itulah yang membuat kita sedih, sayang akan harta, sehingga sulit menjual dan memberikannya kepada orang miskin. Visi hidup kita adalah mencapai kesempurnaan dan menjadi berkat bagi sesama.
Namun demikian, kita dihalangi oleh harta kekayaan, sehingga orientasi kita bukan perhatian, belas kasih, solider kepada sesama manusia.
Mereka diabaikan, kita fokus mengejar dan mencari harta kekayaan. Benar kata Yesus bahwa di mana hartamu berada, di situlah hatimu berada. Hati-hatilah karena harta tidak lagi menjadi sarana, justru membutakan, membelenggu, menghalangi kita mencapai hidup kekal-sempurna.
Bahkan orang yang cinta harta selalu memandang rendah sesama, menjadi serakah dan semakin loba. Harta lebih penting daripada manusia.
Berhadapan dengan kemelekatan akan harta, kita belajar berani, rela, dan ikhlas hati melepaskannya, meniggalkannya, datang ke mari mengikut Yesus.
Apakah kita hanya menjadi orang yang biasa-biasa saja berpuasa diri dengan hidup benar tanpa dosa, tidak melanggar perintah Tuhan ataukah menjadi Kristen yang unggul mengikuti Yesus dengan segala konsekuensinya?
Banyak belum tentu cukup, sedikit belum tentu kurang, jangan mengejar kesenangan, tetapi carilah ketenangan dan ajarilah hati untuk selalu bersabar dalam kesesakan, bersyukur dalam segala hal, tekun dalam berdoa, dan bersukacita dalam pengharapan. Semoga…. (Br. Gerardus Weruin, MTB 19 Agustus 2024).[S].