Jumat, November 22, 2024
25.6 C
Jakarta

Sulit Menjadi Imam di Tiongkok, tetapi Ia Tidak Takut

JAKARTA, Pena Katolik – Frater Xiaolong Wang, atau yang dikenal sebagai Fr. Felipe, adalah seorang seminaris dari Keuskupan Agung Beijing (Tiongkok). Saat ini, ia sedang belajar di Spanyol untuk menjadi imam di tanah kelahirannya.

Fr. Felipe berusia 24 tahun dan, sejak kecil, dia merasa Tuhan memanggilnya untuk menjadi imam. Pada tanggal 19 Maret, hari raya St. Yosef, ia diterima menjadi seminaris di sebuah biara di Bidasoa, Spanyol.

Fr. Felipe berasal dari sebuah Desa Liuhe di daerah utara Tiongkok. Wilayah ini terdapat persentase penganut Katolik yang sangat tinggi. Di daerah itu, situasi kehidupan bagi umat Katolik relatif mudah. ​​Namun, di bagian lain negara itu, seperti di selatan, masih banyak tantangan bagi praktik agama Katolik dan mereka yang percaya kepada Tuhan.

Hal ini tetap berlaku meskipun ada pemulihan hubungan antara Vatikan dan Pemerintah Republik Rakyat Tiongkok. Felipe menjelaskan:

“Di Tiongkok, dalam beberapa tahun terakhir hubungan keagamaan kami telah membaik, tetapi masih banyak yang harus dilakukan,” ujar Fr. Felipe.

Paus Fransiskus mendorong pemulihan hubungan yang lebih baik dengan pemerintah Tiongkok. Saat ini, beberapa keuskupan di Tiongkok selatan tidak memiliki uskup. Mereka hanya dilayani sedikit imam dan masih ada aneka larangan terkait kehidupan keagamaan.

Sulit untuk mengetahui angka sebenarnya, tetapi diperkirakan umat Katolik di Tiongkok berjumlah 0,46% dari populasi, Protestan 2,06%, Muslim 0,50%, dan Buddha 8,96%. Jumlah pembaptisan setiap tahun berkisar antara 40.000 hingga 50.000 umat.

Gereja Katolik telah ada selama bertahun-tahun di bawah tanah, tetapi ada juga Gereja paralel yang disetujui pemerintah yang menahbiskan pendeta tanpa persetujuan Vatikan. Banyak uskup telah menghabiskan waktu bertahun-tahun di penjara atau harus menanggung penganiayaan lainnya.

Dididik dalam iman Katolik

Fr. Felipe beruntung menjadi bagian dari keuskupan agung dengan jumlah umat Katolik yang besar. Di Keuskupan Agung Bejing terdapat lebih dari 50.000 umat. Namun, ia menyadari bahwa untuk menyebarkan Injil, seseorang harus terlebih dahulu menghayati adat istiadat budaya Tiongkok, dan tradisi khusus setiap provinsi, serta mengatasi kekhasan Tiongkok komunis saat ini.

Fr. Felipe maupun kedua saudaranya dibesarkan dalam iman Katolik. Pada usia enam tahun, ia sudah merasakan panggilan untuk menjadi imam dalam dirinya.

“Saya ingat suatu hari menghadiri Misa bersama ibu saya. Saat itu saya berusia enam tahun. Saya merasakan kedamaian batin yang begitu besar, dan sejak saat itu saya ingin menjadi seorang imam. Itu selalu menjadi impian Tuhan dan impian saya.”

Setahun kemudian, sebelum Fr. Felipe berusia delapan tahun, ia mulai melayani di altar membantu pendeta parokinya. Selanjutnya di masa remaja, ia mulai mempertimbangkan cara hidup lain, seperti menjadi guru musik, hasrat yang ia cintai. Namun, ketidakpastiannya tidak berlangsung lama. Peristiwa lain menandainya selamanya dalam panggilannya:

“Saya menghadiri dan membantu sebagai akolit pada Misa pertama seorang pendeta muda di paroki kota saya. Itu berdampak pada saya. Kemudian saya menyadari bahwa saya harus melanjutkan mimpi saya, dan saya masuk seminari kecil pada usia 16 tahun.”

Menurut pendapatnya, kunci evangelisasi di Tiongkok adalah contoh baik dari para imam.

“Pertama-tama berdoa kepada Tuhan; kemudian contoh dari para pendeta, mendampingi umat beriman dan mendukung mereka. Adorasi Sakramen Mahakudus dan Rosario suci juga merupakan dua praktik yang sangat diperlukan untuk mencapai pertobatan di negara saya,” ujar Fr. Felipe.

Fr. Felipe sangat mengagumi para martir yang telah menabur benih evangelisasi di Tiongkok.

“Saya tahu bahwa menjadi pendeta di Tiongkok sangat sulit, tetapi saya tidak takut. Tuhan akan memberi saya rahmat dan Roh Kudus akan membimbing umat beriman di negara saya,” kata Wang.

Diutus ke Spanyol oleh uskupnya, Fr. Felipe mempersiapkan diri untuk menjadi seorang imam yang baik sambil belajar Studi Gerejawi di Universitas Navarra, tempat ia menerima pembinaan integral.

Pengalamannya di Spanyol

Ia mengakui bahwa tahun pertama di Spanyol sulit, karena Fr. Felipe sama sekali tidak tahu bahasa Spanyol. Namun, berkat para formator dan rektor, bersama dengan sesama mahasiswa dan profesor, bahasa tidak lagi menjadi kendala.

“Pembinaan di Bidasoa sangat baik dan liturginya mengesankan. Sekarang saya menjadi organis seminari dan saya sangat bahagia.”

Fr. Felipe juga menikmati perjalanan keliling Spanyol: Torreciudad, Almeria, Zaragoza, Javierada.

“Doakan saya seperti yang saya lakukan untuk semua dermawan Yayasan CARF, agar Tuhan, Tuhan, akan terus membangkitkan lebih banyak panggilan untuk kehidupan imamat, khususnya di Tiongkok.” (AES)

Komentar

Tinggalkan Pesan

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Terhubung ke Media Sosial Kami

45,030FansSuka
0PengikutMengikuti
75PengikutMengikuti
0PelangganBerlangganan

Terkini