ROMA, Pena Katolik – Pada 16 Januari 2014, Paus Fransiskus menjamu tamunya yang datang dari kampung halaman penerus tahta Santo Petrus itu. Abraham Skorka adalah seorang Rabi Yahudi yang berasal dari Argentina. Ia datang bersama Wakil Presiden Kongres Yahudi Dunia Julio Schlosser, serta beberapa Rabi Yahudi lain.
Tidak di restoran mewah, Paus menjamu Abraham di ruang makan di Domus Santa Marta di Kota Roma, Italia. Ruangan itu sama sekali tidak memperlihatkan kesan yang mewah. Dinding yang berwarna putih hanya menjadikan ruangan itu terkesan luas. Kursi-kursi disusun di setiap meja, tidak banyak, mungkin antara lima sampai delapan kursi untuk setiap meja makan itu.
Di akhir jamuan yang sederhana itu, Paus dan para pemimpin Yahudi menyanyikan Mazmur 133 dalam bahasa Ibrani. “Betapa baiknya dan menyenangkan saat umat Allah hidup bersama dalam kesatuan.”
Dalam jamuan sederhana semacam ini, Paus justru sering menghabiskan waktu lama dengan tamu-tamunya. Seakan tak berjarak, ada canda tawa dan obrolan seperti di café-café di sudut-sudut kota Roma. Setiap orang tak perlu berbasa-basi, juga Paus Fransiskus.
Sejak terpilih menjadi Paus, Fransiskus memilih tidak tinggal di Apartemen Kepausan. Ia memilih kamar nomer 201 di Domus Santa Marta, sebuah penginapan milik Vatikan, sebagai tempat tinggalnya.
Dari Rumah Sakit ke Rumah Konklaf
Di lokasi berdirinya Domus Santa Marta sebelumnya berdiri sebuah rumah sakit dengan nama sama pendirinya, Rumah Sakit Paus Leo XIII, yang dibangun pada tahun 1891. Pembangunan rumah sakit ini berlatar wabah kolera yang ketika itu menjangkit di beberapa negara Eropa. Saat wabah itu mereda, tempat ini digunakan untuk memberikan layanan kepada orang sakit di sekitar Roma seperti dari Borgo dan Trastevere serta sebagai rumah perawatan untuk peziarah. Tahun 1901, listrik dialirkan di bangunan rumah sakit ini. Tak berselang lama, sebuah kapel ditambahkan pada tahun 1902.
Pada awal berdirinya, pelayanan medis diperluas sehingga menjangkau Garda Swiss. Selama Perang Dunia II bangunan tersebut digunakan oleh pengungsi, Yahudi, dan duta besar dari negara-negara yang telah memutuskan hubungan diplomatik dengan Italia.
Domus Santa Marta adalah sebuah bangunan yang terletak sekitar 300 meter di sebelah Selatan Basilika Santo Petrus di Kota Vatikan. Nama Santa Marta yang dipilih, mengacu pada Marta saudari Maria ibu Yesus. Keramahan Santa Marta saudari Lazarus dari Betania seperti dalam Kitab Suci, menjadi semangat utama pemilihan nama ini.
Ketika tidak lagi difungsikan sebagai Rumah Sakit, Domus Santa Marta lalu diubah menjadi tempat tinggal para Kardinal yang bekerja di Vatikan. Adalah Paus Yohanes Paulus II menginstruksikan, untuk menjadikan rumah ini sebagai tempat tinggal para Kardinal selama berlangsungnya konklaf. Total, Paus Yohanes Paulus II, berpartisipasi dalam dua konklaf, saat masih menjadi Kardinal Karol Wojtyla, Uskup Agung Krakow.
Setelah menjadi Paus, Yohanes Paulus II memutuskan untuk membuat akomodasi yang memudahkan para Kardinal peserta Konklaf. Ia memikirkan membuat sebuah tempat penginapan yang nyaman. Di kesempatan lain, rumah ini dapat menjadi tempat tinggal beberapa anggota Kuria Kepausan dan untuk para Kardinal saat sedang berada di Roma.
Ketika itu, Joseph Ratzinger terpilih dan memilih nama Paus Benediktus XVI. Ini adalah kali pertama Kardinal peserta Konklaf diinapkan di Domus St. Marta. Kesempatan kedua terjadi setelah pengunduran diri Paus Benediktus XVI tahun 2013. Ketika Konklaf diadakan tahun 2013, Paus Fransiskus akhirnya terpilih menjadi Paus.
Kardinal Jose Mario Bergoglio SJ yag selama Konklaf tinggal di Santa Marta, memilih rumah yang sama sebagai tempat tinggalnya. Hal ini di luar kebiasaan-kebiasaan Paus sebelumnya, yang memilih tinggal di Apartemen Kepausan. Namun, Paus Fransiskus masih menggunakan Apartemen Kepausan ini saat memimpin Doa Angelus setiap hari Minggu.
Katekese Kesederhanaan
Keputusan Paus Fransiskus Ketika akan tinggal di Domus Santa Marta diumumkan pertama kali oleh Pastor Federico Lombardi, direktur Kantor Berita Tahta Suci. Menurut Pastor Lombardi, keputusan ini justru memungkinkan Paus untuk tinggal dalam kebersamaan dengan orang lain.
“Dia bereksperimen dengan cara hidup yang sederhana ini,” kata Pastor Lombardi.
Apa yang disampaikan Pastor Lombardi rasanya mirip dengan apa yang ada dalam hari Paus Fransiskus sendiri, ia tidak bisa hidup sendiri. Bagi Paus, Apartemen Kepausan terlihat sangat besar, ia menginginkan sebuah rumah yang memungkinkannya bertemu dengan banyak orang.
“Tempat tinggal di Istana Apostolik sangat besar dan dibuat dengan selera yang bagus. Sangat besar, tapi pintu masuknya sempit. Hanya satu orang bisa tinggal di sana dan saya tidak bisa hidup sendiri, saya harus menjalani hidupku dengan orang lain,” begitu kata Paus ketika itu.
Benar saja, Domus Santa Marta sepertinya lebih menampakkan kesederhanaan selaras dengan semangat pastoral Paus dari Argentina ini. Bangunan berlantai lima ini memiliki 128 kamar. Tempat ini secara teratur dihuni oleh beberapa imam dan Uskup yang bekerja di Vatikan. Kebersamaan bersama orang-orang ini akhirnya menjadi warna lain dalam masa Paus Fransiskus. Kesederhanaan boleh jadi akhirnya menjadi teladan yang disampaikan tidak saja lewat perkataan namun langsung dengan tindakan.
Hal ini mungkin yang dengan cepat ditangkap oleh pendiri Facebook, Mark Zuckerberg saat berjumpa dengan Paus di Domus Santa Marta, 29 Agustus 2016 yang lalu. Datang bersama istrinya, Priscilla Chan. Mark mengagumi belas kasih dan kelembutan Paus, ia melihat bagaimana Paus dapat berkomunikasi dengan orang dari berbagai lintas iman dari seluruh dunia.
“Priscilla dan saya mendapat kehormatan bertemu dengan Paus Fransiskus di Vatikan. Kami mengatakan kepadanya betapa kami mengagumi pesan belas kasih dan kelembutannya,” kata pendiri dan pemilik Facebook ini.
Di Santa Marta
Di Domus Santa Marta, Paus Fransiskus selalu bangun pagi pukul 4.45 waktu Roma. Waktu ini sama ketika ia masih menjadi Uskup Agung Buenos Aires, Argentina. Di Kota Abadi sepertinya nyaris tidak ada orang berjaga pada waktu sepagi itu.
Di rumah yang terletak di belakang pom bensin itu, ia tetap menjadi yang “bangun pertama”. Paus Fransikus lalu memulai setiap paginya dengan berdoa dan mempersiapkan diri untuk Misa setiap pagi. Di kamarnya, Paus biasa merenungkan bacaan hari itu dan juga mempersiapkan homilinya.
Misa di Kapel Santa Marta dimulai pukul 7. Mengikuti Misa di kapel ini, menjadi kesempatan paling istimewa untuk dekat dengan Paus. Saat lagu pembuka Misa berkumandang, seketika Paus masuk dari sisi samping altar tanpa disertai putra altar.
Suasana yang seketika membangun keintiman dengan pemimpin semilyar lebih umat Katolik ini. Saat homili mulai disampaikannya, ini menjadi sebuah pesan yang ditujukan kepada seluruh Gereja Katolik di seluruh dunia.
Saat Misa berakhir, semua orang tetap duduk. Paus Fransiskus bangkit dalam hening, sesekali ia berjalan ke kursi di barisan belakang, untuk berdoa di antara orang-orang yang datang. Saat inilah, semua mencoba berpura-pura tidak ada di sana, memberi kesempatan baginya untuk pribadi bersama Tuhan. Inilah gambaran rumah Si Fransiskus dari Amerika Latin saat ini.
Sarapan Jelata
Setiap bagian Domus Santa Marta akan menjadi gambaran kesederhanaan Paus Fransiskus. Sama juga dengan menu sarapannya setiap hari. Sesekali, Paus sarapan atau makan siang di kafetaria karyawan Vatikan yang berada dekat dari Domus Santa Marta. Di sana, ia menyantap makanan yang sama dengan Karyawan yang lain. Tidak ada yang istimewa, dia duduk di sebuah meja, ditemani beberapa orang yang bersama karyawan menyantap sarapannya.
“Rasanya lebih enak di sini,” kata Paus suatu kali.
Paus Fransiskus menyukai mate, teh khas Argentina. Dia lebih suka daging daripada ikan dan menyukai makanan manis. Kadang ia mendapat kiriman alfajores, kue khas Argentina yang diisi dengan dulce de leche dan dilapisi coklat. Namun beberapa orang di Santa Marta mengatakan, ia bukan orang yang pilih-pilih makan. Ia menghabiskan hampir semua makanan yang disajikan.
Setiap jam makan di Domus Santa Marta bersifat swalayan, bergaya kafetaria. Kadang, Paus memasak makanannya sendiri di microwave jika ia merasa makannannya tidak cukup hangat. Sebelum naik lift kembali ke atas, dia pasti akan mengucapkan terima kasih kepada Garda Swiss, polisi Vatikan, dan petugas meja resepsionis.
Dia mengatakan dia rindu pergi keluar untuk makan pizza dan ingat betapa senangnya mendapatkan pizza setelah menonton pertandingan San Lorenzo di stadion “Gasometro” Buenos Aires en famille.