Selasa, September 17, 2024
28.6 C
Jakarta
spot_img

Kisah Mgr. Albertus Soegijapranata SJ saat Melindungi Megawati dan Keluarga Soekarno

YOGYAKARTA, Pena Katolik – Salah satu yang tak henti meneteskan air mata, ketika kepergian Mgr. Albertus Soegijapranata SJ adalah Fatmawati, suami Presiden Soekarno dan Ibu Negara kala itu. Mgr. Soegija yang wafat di Belanda pada 22 Juli 1963, dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Giri Tunggal Semarang, Jawa Tengah. Di hari itu juga, Fatmawati mengantar kepergian Romo Kanjeng, panggilan umat Katolik kepada Mgr. Soegija, ke tempat peristirahatannya.

Cerita kedekatan Mgr. Soegija dengan keluarga Soekarno membentang setidaknya sejak 15 tahun sebelumnya. Ketika Agresi Militer Belanda II, di salah satu babak, Belanda penahan Soekarno dan mengasingkannya ke Pulau Bangka 6 Februari 1949.

Situasi itu memaksa Soekarno berpisah dengan keluarganya. Padahal, saat itu Soekarno baru saja memiliki bayi mungil yang lahir Yogyakarta, 23 Januari 1947. Bayi yang diberi nama Megawati itu harus berpisah dair ayahnya, dan tinggal bersama ibu dan kakaknya.

Pada masa sulit inilah, Mgr. Soegija berperan melindungi Fatmawati dan kedua anaknya. Saat itu, Yogyakarta sepenuhnya dikuasai Belanda, situasi yang menjadikan Ibu Kota sempat dipindahkan ke Bukittinggi, Sumatera Barat.

Sekitar setengah tahun, Soekarno ditahan di Bangka. Pada masa inilah, Fatmawati dan kedua anaknya tinggal di Yogyakarta. Di masa inilah, terbangun kedekatan antara keluarga Soekarno dan Mgr. Soegija.

Air mata Fatmawati pada hari pemakaman Mgr. Soegija, boleh jadi adalah ungkapan terima kasih, atas bantuan Mgr. Soegija dalam melindungi Fatmawati dan kedua anaknya, pada saat Soekarno diasingkan di Bangka. Pada masa ini, Fatmawati dan kedua anaknya pernah disembunyikan di Jalan Bintaran Kidul 17, Yogyakarta.

“Ibu Fat untuk sementara dapat berlindung di pastoran ini, di sini relatif aman,” ujar Mgr. Soegija.

Ibu Negara Fatmawati saat menghadiri pemakaman Mgr Albertus Soegijapranata SJ di Semarang. IST

Pindahkan Pusat Keuskupan

Ketika itu, Pemerintahan Indonesia pindah ke Yogyakarta pada 4 Januari 1946 akibat Agresi Militer Belanda I. Sebagai wujud solidaritas, Mgr. Soegija lalu memindahkan pusat keuskupan ke Yogyakarta, tepatnya ke Gereja St. Yusuf di Kawasan Bintaran.

Gereja ini dibangun seorang arsitek Belanda bernama J.H. van Oijen B.N.A pada tahun 1933–1934. Gereja St. Yusuf ini dibangun untuk umat Katolik dan diresmikan pada hari Minggu 8 April 1934. Selain bangunan gereja, terdapat bangunanbangunan lain yang menjadi satu sebagai satu kompleks Gereja Bintaran.

Pada saat pusat keuskupan dipindah ke Bintaran inilah, Mgr. Soegija memberikan perlindungan kepada Fatmawati dan kedua anankya dari ancaman tentara Belanda. Fatmawati disembunyikan di salah satu gedung di kompleks Gereja St. Yusuf ini.

Bung Karno sendiri diasingkan di pesanggrahan Menumbing pada periode 1948-1949. Selain Bung Karno (presiden), ada Bung Hatta (wakil presiden), Agus Salim (menteri luar negeri), RS Soerjadarma (kepala angkatan udara), Sutan Sjahrir (mantan perdana menteri), MR Asaat (ketua KNIP) dan AG Pringgodigdo (mensesneg) yang diterbangkan ke Pangkalpinang, Bangka.

Saat pesawat mendarat di Bandara Pangkalpinang, Bung Karno, Agus Salim dan Sutan Sjahrir tak ikut turun. Mereka dipisahkan dan diterbangkan lagi ke Parapat, Sumatera Utara. Baru kemudian pada Februari 1949 diterbangkan ke Pulau Bangka dengan pesawat amfibi.

Dalam situasi yang serba tidak menentu akibat serangan agresi Belanda, Mgr. Soegijo menunjukkan rasa kesetiakawanan dan rasa persahabatannya kepada kepada Bung Karno dan keluarganya. Ini ditunjukkannya dengan mengurus semua keperluan-keperluan keluarga Bung Karno, ketika Proklamator itu mengalami pembuangan pada tahun 1948-Juli 1949.

“Ibu Fat jangan khawatir, untuk keperluan sehari-hari, nanti ada yang menyediakan,” demikian pesan Romo Kanjeng suatu kali kepada Ibu Negara Indonesia itu.

Soekarno diasingkan di Bangka sampai 6 Juli 1949. Ia kembali ke Yogyakarta setelah penandatanganan perjanjian Roem-Roijem. Mgr. Soegija ikut menyambut Presiden Soekarno saat itu. Dalam catatan hariannya, Mgr. Soegija menulis bahwa hari itu ia merayakan Misa seperti biasa, namun pada siang hari, ia dijemput I. J Kasimo untuk bersama menuju Istana Presiden di Yogyakarta.

“Mis lumrah, Djam 12 Menteri Kasima sowan. Djam 12,45 Menteri Kasima metuk R.K. ngagem auto negeri tindak menjang Istana, perlu ndjènengi upatjara resmi nampi Rawuhe Presiden. Wakil Pres. lan Pemerintah Rep. saka Bangka. Ana ing Istana suasana resep, bungah, beres. Djam 3,40 kundur karo Menteri Kasima lan Maskur.”

Barangkali, saat ini juga Soekarno berterima kasih kepada Mgr.Soegija atas bantuannya menjaga Fatmawati dan anak-anaknya. Satu peristiwa yang akhirnya membentuk hubungan akrab antara Mgr. Soegija dengan Soekarno pada masa-masa selanjutnya.

Gereja St Yusuf Bintaran menjadi tempat persembunyian Fatmawati selama Agresi Militer Belanda II. IST

Selalu Minta Doa

Usaha-usaha Mgr. Soegija nyatanya tidak hanya menyankut pada persoalan-persoalan kecil dan pribadi saja. Mgr. Soegija pun melakukan tindakan-tindakan yang sangat penting artinya bagi Republik Indonesia.

Pada masa ini, Mgr. Soegija melakukan tindakan yang sangat mengejutkan pihak Kolonial Belanda. Ia berusaha menembus blokade dari Belanda dan berhasil berhubungan dengan pelbagai pihak di luar negeri, antara lain dengan Amerika Serikat dan Inggris.

Usaha ini terbukti dengan dimuatnya tulisan-tulisan karangan beliau di dalam sebuah majalah Amerika Serikat (AS). Beberapa kali, tulisan Mgr. Soegija dimuat dalam Majalah Commonwealth yang terbit di AS. Di dalam karangan itu, Mgr. Soegija menggambarkan situasi pendudukan yang dilakukan oleh Belanda. Dengan kata lain, ia memberitakan situasi pendudukan Belanda di Indonesia.

Sontak, mata dunia terbuka untuk melihat Indonesia, dukungan pun mengalir semakin kuat untuk kemerdekaan Indonesia.

“Dengan pendudukan dan blokade Belanda di daerah Republik, maka tidak ada pakaian dan makanan, pun juga tidak ada imbangan ideologis, tidak ada susu, buku-buku, majalah dan ide-ide guna bahan informasi,” demikian seruan mgr. Soegija di Majalah Commonwealth.

Mgr. Soegija berseru kepada redaksi dan para pembaca Commonwealth, supaya mereka memberi jalan guna mengirimkan bahan bacaan ke daerah Republik, agar bangsa Indonesia tidak saja bebas dari komunisme, tetapi juga dari imperialisme.

Lewat tulisan ini, dukungan akan perjaungan bangsa Indonesia di luar negeri semakin kuat, khususnya di AS. Suatu angin segar bagi perjuangan bangsa Indonesia dalam mengusir Belanda.

Tulisan Mgr. Albertus Soegijapranata SJ di Majalah Commonwealth yang terbit di Amerika Serikat. IST

Meminta Doa

Perjuangan Mgr. Sogija ini berjalan seiring dengan hubungannya dengan Soekarno. Seiring waktu, kedua tokoh bangsa ini terus bertukar kabar, seperti layaknya sesame pejuang, bahkan seperti saudara.

Ada pelbagai catatan yang menunjukkan kedekatan keduanya. Kedekatan Soekarno dengan Vatikan juga merupakan jasa Mgr. Soegija yang sejak awal kemerdekaan, ia membuka jalan diplimatik antara Republik Indoensia dan Vatikan.

Pada 1962, Mgr. Soegija ikut menghadiri siding-sidang ke-2 Konsili Vatikan II. Namun, kondisi kesehatan Mgr. Soegija saat itu semakin menurun. Maka, di sela-sela siding konsili, Mgr. Soegija memanfaatkannya untuk berobat.

Pada saat yang hampir bersamaan, Presiden Soekarno juga sedang berada di Roma. Keduanya pun sempat bertemu. Saat itu, Presiden Soekarno sedang dalam perjalanan menuju Perancis untuk bertemu dengan Presiden Prancis, Charles de Gaulle.

Di dalam suatu perjamuan, Presiden Soekarno menyatakan meminta doa kepada Mgr. Soegija agar lawatan ke Prancis ini dapat membawa berkat bagi bangsa Indonesia.

“Rama Agung, kula bade dateng Paris perlu rerembaga perkawis ingkang penting sanget kalian presiden de Gaulle, pramila kulo nyuwun donga pangestunipun Rama Agung, (Romo Agung, saya akan ke Paris untuk satu tujuan penting berjumpa dengan Presiden de Gualle, untuk itu saya minta doa dan berkat dari Romo Agung), demikian Soekarno meminta doa kepada Mgr. Soegija.

Pada kesempatan itu, Mgr. Soegija pun menjawab pula dalam bahasa Jawa.

“Kulo bade memuji mugi-mugi pepanggihan kaliyan Presiden de Gaulle mangke sukses, inkang murakabi kita sedoyo. Saya akan berdoa semoga perjumpaan dengan Presiden de Gualle berjalan sukses, berguna bagi kita semua),” demikian janji Mgr. Soegija kepada Soekarno.

Percakapan ini menunjukkan bahwa kedua tokoh ini, adalah dua orang yang “berteman akrab” dan selalu dilakukan dalam bahasa Jawa. Namun, rasanya itu menjadi perjumpaan terakhir keduanya.

Untuk tujuan pengobatan, Mgr. Soegija menyempatkan diri berkunjug ke Belanda. Di sini, ia juga mengunjungi para imam dan kenalan-kenalannya di Negeri Kincir Angin itu. Mereka ini terutama yang dianggapnya telah berjasa di dalam membantu usaha pengembalian Irian Barat.

Namun, di negeri inilah Mgr. Soegija haru mengakhiri peziarahannya di dunia. Ia wafat di Belanda pada 22 Juli 1963.

Sedianya, Mgr. Soegija akan dimakamkan di negeri itu oleh para imam Serikat Yesus. Namun, Soekarno tidak menghendaki “teman karibnya” itu dimakamkan di tanah air bangsa lain. Ia lalu memerintahkan untuk membawa pulang jenazah Mgr. Soegija ke Indonesia untuk dimakamkan di Taman Pahlawan Semarang.

Jenazah Mgr. Soegija tiba pada tanggal 28 Juli 1963 di Lapangan Terbang Kemayoran Jakarta. Di lapangan terbang telah datang menjemput jenazah beliau sejumlah tokoh-tokoh pemerintahan, tokoh-tokoh agama, dan tokoh masyarakat. Taman Makam Pahlawan Nasional Giri Tunggal Semarang akhirnya menjadi perhentian terakhirnya. (AES)

Komentar

Tinggalkan Pesan

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Terhubung ke Media Sosial Kami

45,030FansSuka
0PengikutMengikuti
75PengikutMengikuti
0PelangganBerlangganan

Terkini