BUENOS AIRES, Pena Katolik – HARI itu berjalan seperti biasa di daerah Jalan Membrillar, Flores, Buenos Aires, Argentina. Amalia Damonte masih mengingat, hari di mana seorang tetangganya yang berusia 12 tahun mengiriminya sepucuk “surat cinta”.
Amalia hanya lebih muda setahun dari anak itu. Di dalam surat itu, Amalia mendapati sebuah gambar rumah dengan atap berwarna merah. “Rumah inilah yang akan aku beli ketika kita menikah,” bunyi salah satu kalimat dalam surat itu.
Bagian lain dari surat itu juga tidak akan pernah dilupakan Amalia. Pemuda itu mengatakan, kalau ia tidak menikahi Amalia, maka ia akan menjadi seorang imam. Sebuah “gombalan” yang boleh jadi khas pada zaman itu.
Tahun 1930-an, relasi antara anak perempuan dan laki-laki berjalan dengan begitu manis. Nilai sopan-santun masih begitu kuat, sehingga kisah cinta yang bergelora di antara anak-anak remaja, menjadi suatu yang “sakreal”.
Hal itu juga terjadi dalam diri Amalia. Saat sang ayah mengetahui, bahwa Amalia menerima sepucuk surat dari seorang pemuda. Amalia harus menerima sebuah pukulan dari ayahnya. Alhasil, Amalia tidak membalas surat itu, karena takut sang ayah akan menjadi semakin marah.
Satu hal yang diharapkan Amalia, ia ingin lelaki itu menghilang dari peta. “Ayah saya telah memukul saya karena saya berani menulis pesan untuk seorang anak laki-laki, ” kenang Amalia.
Waktu pun berlalu, pemuda yang mengirim surat kepada Amalia, pada akhirnya menjadi seorang imam. Pemuda itu adalah Jorge Mario Bergoglio yang kini menjadi Paus Fransiskus. Amalia mencoba mengingat, boleh jadi tak hanya ia seorang yang mendapat “surat cinta” dari Jorge.
Namun, kenyataan bahwa tak ada satupun gadis-gadis itu yang membalas, ternyata menjadi satu babak dalam perjalanan panggilan Paus Fransiskus. Sejarah mungkin akan berbeda, kalau saja salah satu dari gadis itu membalas surat yang ditulis Jorge ketika itu.
Amalia melihat pengalaman itu lalu berpikir, mungkin itu adalah rencana Tuhan. “Beruntung baginya, dia tidak menikah denganku, dan di sanalah dia sekarang, sebagai paus,” ungkap Amalia.
Berjarak Empat Rumah
Tempat tinggal Amalia hanya berjarak empat rumah dari kediaman Jorge. Itu berarti, keduanya sebenarnya bertetangga. Amalia mengaku “romantisme” masa kecil mereka layu akibat tentangan orang tuanya. Sejak peristiwa surat cinta itu, Amalia kemudian dicegah untuk melakukan kontak lebih lanjut dengan Jorge oleh ayahnya yang marah.
Amalia pada akhirnya pun tidak pernah membalas surat itu. Hal ini karena ayahnya melarang dengan keras, anak perempuannya itu untuk menemui Jorge lebih jauh, “Orang tua saya melarang saya sepenuhnya. Sejak saat itu, mereka (ayah dan ibu Amalia-red) melakukan segala kemungkinan untuk memisahkan kami,” katanya, “saat itu, yang kuinginkan adalah dia menghilang dari peta,” kenang Amalia.
Sejak peristiwa itu, Amalia mengingat, setidaknya ia sekali bertemu dengan Jorge. Keduanya sempat saling sapa dan berbicara satu dengan yang lain. Amalia mengingat, ia melarang Jorge untuk lebih jauh mendekatinya. Dengan itu, ia telah menutup sama sekali pintu hatinya untuk pemuda dari keluarga tetangganya itu. “Aku bilang padanya, tolong, jangan dekati aku lagi, menjauhlah sejauh mungkin, karena kalau kamu dekat dengan ayahku, dia akan membunuhmu.”
Apakah ancaman ayah Amalia untuk “membunuh” Jorge adalah sesuatu yang serius? Rasanya tidak. Amalia mengenang, pengalaman masa kecilnya bersama Jorge itu hanyalah sebuah pengalaman remaja yang banyak dialami oleh anak-anak remaja seusia mereka pada masa itu. “Kenangan bersama Jorge adalah sesuatu yang kekanak-kanakan, tidak lebih,” ujarnya.
Orang yang Baik
Keluarga Bergoglio pindah dari Jalan Membrillar beberapa dekade lalu. Hal yang sama terjadi dengan Amalia keluarganya. Bersama kedua orangtuanya, Amalia dia pindah dan kemudian menikah dan membesarkan keluarga.
Amalia sempat kembali tinggal bersama kedua orangtuanya beberapa tahun kemudian. Amalia juga mengetahui bagaimana Jorge akhirnya memilih menjalani panggilannya sebagai imam. Sejak saat itu, Amalia tidak pernah mencoba untuk berbicara dengan Jorge lagi.
“Saya pikir Paus Fransiskus benar-benar sangat membumi, dan begitulah saya juga. Saya sangat rendah hati. Mungkin dalam arti itu, kami mungkin menjadi belahan jiwa. Karena kami ‘sangat rendah hati, kami mencintai orang miskin.
Masalahnya adalah hari ini tidak ada cinta untuk orang miskin. Orang suka pakaian mewah dan tidak lebih,” kata Amalia.
Di mata Amalia, sahabatnya itu adalah seorang pemuda yang baik. Di hari ketika Paus Fransiskus terpilih menjadi pemimpin umat Katolik di seluruh dunia, Amalia melihatnya dari televisi. Ia terkejut ketika mengetahui dia telah menjadi Paus.
Teman masa kecilnya itu, ternyata menjadi Paus kini. Satu kenyataan yang tidak pernah dibayangkannya di tahun ketika ia dan Jorge kadang bertemu di sekolah atau di gereja pada hari minggu. “Saya membeku di depan televisi. Saya tidak percaya bahwa Jorge adalah Paus,” katanya kepada wartawan.
Ketika Uskup Agung Buenos Aires, Cardinal Jogrge Bergoglio akhirnya terpilih menjadi Paus, koran dan televisi Argentina menyebut Amalia sebagai “pacar Paus”. Mereka, media-media itu, bertanya-tanya apakah Amalia akan mencoba menemui Paus Fransiskus.
Namun, ide ini ditanggapi Amalia sebagai sesuatu yang konyol. Amalia menyadari, kebersamaannya dengan Jorge hanya bagian dari masa lalu dan hanya tinggal kenangan.
Amalia menyadari, Paus Fransiskus kini berada di satu posisi yang sangat tinggi. Amalia bangga dengan pencapaian sahabatnya itu. “Saat ini, dia dalam posisi yang sangat tinggi, dan saya masih sangat rendah hati. Bersahabatan kami terjadi di masa lalu. Masa lalu yang indah, bersih, rendah hati,” ujar Amalia. (AES)