Pontianak, Pena Katolik | Selasa 20 Agustus 2024 – ‘PAH Cap’, merupakan semiotika kedekatan umat katolik khususnya bagi karya-karya Kapusin di tanah Borneo alias Kalimantan.
Mulai dari teladan hidup, ‘cara hidup apa adanya’ dan semboyan ‘ramah’ yang menunjukkan rasa ‘hormat’ pada segala kelompok.
Semangat kesederhanaan dan pancaran ‘jubah’ coklat sebagai semiotika ‘sederhana’ ditambah lingkaran ‘tali putih’ di pinggangnya.
Merasuk dalam kehidupan masyarakat dari berbagai kalangan dengan teladan dan semangat Santo Fransiskus Assisi untuk mewartakan kasih dan semangat injil serta menjadi garam dan terang dunia.
Bumbu garam tersebut memberikan nuansa berbeda pula pada dunia. Menjelang perayaan 30 tahun Kapusin Provinsil Pontianak, Minister Provinsial Ordo Saudara Dina Kapusin Provinsi Pontianak RP. F. Bagara Darmawan OFM.Cap menyampaikan bahwa Kapusin Provinsi Pontianak telah mencapai 30 tahun.
“Ini mau menunjukkan bahwa kehadiran Kapusin mengalami suatu pertumbuhan menyentuh kehidupan masyarakat karena itu dengan penuh kegembiraan mengajak kita untuk bersyukur Bersama dan berdoa agar para saudara Kapusin senantiasa bertumbuh, menyebar dan bercahaya,” kata Pastor Bagara OFMCap, (18/07).
Dalam akun resmi Paroki Santa Sesilia Sungai Raya Dalam yang terposting pada 18 Juli 2024, dia berharap semoga kehadiran Kapusin sungguh memancarkan sesuatu yang berasal dari Allah dan mendatangkan berkat untuk umat sekalian.
Santo Fransiskus dari Assisi
Santo Fransiskus dari Assisi merupakan tokoh yang mendirikan tiga ordo.
Ordo Pertama yang didirikan adalah untuk laki-laki, sementara Ordo Kedua adalah Ordo Santa Klara yang ditujukan bagi perempuan, dan Ordo Ketiga untuk religius regular dan awam sekular (baik laki-laki maupun perempuan).
Ordo Pertama yang Santo Fransiskus dirikan terdiri dari tiga ordo utama mandiri: Ordo Fratrum Minorum (OFM), Ordo Fratrum Minorum Conventualium (OFMConv), dan Ordo Fratrum Minorum Capuccinorum (OFMCap) atau yang dikenal sebagai Ordo Kapusin.
Ordo Kapusin, yang diinisiasi oleh Matteo Serafini da Bascio, secara resmi didirikan pada tanggal 3 Juli 1528 dengan Bulla Religionis Zelus.
Nama “Kapusin” sendiri berasal dari sorakan anak-anak yang melihat para saudara dina yang mengenakan jubah dengan kap panjang dan runcing, yang mereka sebut “Scapucini” (pakai kap), dan dari situlah lahir nama Kapusin.
Ordo Kapusin telah tersebar luas ke seluruh dunia.
Kapusin di Negeri Belanda
Menurut sumber yang dituliskan dalam website resmi Kapusin Pontianak, diterangkan bahwa dalam negeri Belanda, setelah tarik ulur dalam mengirim misionaris ke luar negeri Kapusin Belanda akhirnya menerima tawaran bermisi dan mendapat dukungan dari Propaganda Fide.
Pada 16 Oktober 1905, enam misionaris Kapusin pertama untuk Kalimantan berangkat dari Tilburg.
Mereka itu ialah: Pater Johannes Pacificus Bos van Uden (41 tahun); Pater Eugenius Adrianus F. van Disseldorp (30 tahun); Pater Beatus Joseph G. A. Baijens van Dennenburg (29 tahun); Pater Camilius Franciscus Buil van Pannerden (28 tahun); Bruder Wilhelmus Johannes Verhulst van Oosterhout (30 tahun); dan Bruder Theodoricus Wilhelmus van Lanen (31 tahun).
Dari Tilburg mereka pergi ke Marseille (sebuah kota pelabuhan yang terletak di pesisir Laut Mediterania di Prancis) dengan kereta api, dan dari sana naik kapal ke Singapura pada tanggal 20 Oktober.
Mereka menggunakan kapal “Cholon” sampai ke Singapura dan berganti kapal “Camphuys”, sebuah kapal dari perusahaan pelayaran Belanda Koninklijke Paketvaart-Maatschappij untuk me-lanjutkan perjalanan ke Batavia, di mana mereka tiba pada tanggal 20 November 1905.
Mereka tinggal beberapa hari di Batavia, di mana Mgr. E.S. Luypen SJ menerima mereka dengan sangat baik, sebelum melanjutkan perjalanan mereka ke Kalimantan. Empat dari mereka (Pacificus, Eugenius, Wilhelmus dan Theodoricus) tiba di Singkawang pada tanggal 30 November.
Dua orang lainnya tetap tinggal di Batavia untuk belajar bahasa Tionghoa dan India, dan tiba di Singkawang pada tanggal 23 Februari 1906. Namun, tidak satu pun dari mereka yang benar-benar siap untuk pekerjaan misi mereka.
Seperti yang pernah dikatakan oleh salah satu dari mereka, “Kami tiba di sana tanpa persiapan, tanpa pengetahuan teoritis tentang metode misi, dan sebagainya.” Mereka benar-benar harus mencari jalan dan meraba-raba dalam ketidakpastian.
Setelah berkonsultasi dengan imam Jesuit H. Schräder, diputuskan untuk terus melanjutkan kerasulan di antara orang Tionghoa di Singkawang dan melakukan karya misi di antara suku Dayak di Nanga Sejiram, serta mengembangkannya lebih lanjut jika memungkinkan.
Dua kelompok sasaran utama misi kapusin ini menjadi fokus perhatian sementara, meskipun, paling tidak bagi Pacificus Bos, misi kepada orang Tionghoa selalu mendapat perhatian paling besar.
Seperti yang ditulisnya dalam sebuah catatan tak lama sebelum pensiun pada tahun 1935:
“Kalimantan Barat adalah daerah dengan banyak orang Tionghoa. Unsur Tionghoa adalah penting dan selalu tetap murni sebagai orang Tionghoa meskipun mereka adalah pendatang.
Mereka adalah orang-orang yang rajin dan materialistis, tetapi juga sangat ingin belajar. Itulah sebabnya kita harus berusaha memiliki pengaruh yang lebih besar terhadap mereka, terutama melalui sistem sekolah yang murni Tionghoa.”
Selama masa jabatannya, dari November 1905 hingga Februari 1935, banyak energi dicurahkan untuk mendirikan sekolah-sekolah Belanda-Tionghoa dan kemudian sekolah-sekolah Inggris-Tionghoa di kota-kota besar sepanjang pesisir pantai sejauh dua ratus kilometer, yaitu di Singkawang, Pontianak, Pemangkat, dan Sambas.
Pada tahun 1905, ada sekitar 60.000 orang Tionghoa yang tinggal di seluruh Borneo Belanda.
Beberapa dari mereka, terutama yang telah menetap di Borneo sejak abad ke-18, telah kehilangan sebagian besar budaya dan agama Tionghoa asli mereka melalui perkawinan dengan orang Dayak.
Dalam beberapa dekade setelah tahun 1905, banyak kelompok orang Tionghoa kembali beremigrasi ke Kalimantan, sehingga pada tahun 1930 jumlah orang Tionghoa mencapai 12% dari populasi. Mereka termasuk dua kelompok bahasa dan budaya yang berbeda: Hakka dan Hoklo.
Untuk berhubungan dengan mereka, para misionaris pada awalnya harus bergantung sepenuhnya pada kemampuan bahasa asisten guru dan katekis Tionghoa, Tsang A. Kang, yang telah dididik oleh para pastor Jesuit.
Dia telah tinggal di Singkawang sejak 1895 dan memimpin ibadah Minggu di sana tanpa kehadiran seorang imam. – (Samuel, Bersambung….).