Pontianak, Pena Katolik | Selasa 20 Agustus 2024 – Suku Dayak adalah penduduk asli Kalimantan. Sebagai sebuah kelompok etnis, jumlah mereka sekitar 50 persen dari total populasi sekitar tahun 1905.
Menurut perkiraan, jumlah mereka sekitar satu setengah hingga dua juta orang, terbagi dalam beberapa subsuku, masing-masing dengan bahasanya sendiri.
Agama mereka adalah animisme. Mereka sebagian besar tinggal di pedalaman Kalimantan.
Menurut Pacificus Bos, orang-orang Dayak yang lebih tua khususnya “tidak mau berpindah agama”. Oleh karena itu, misi harus memperhatikan kaum muda Dayak.
Mendirikan sekolah rakyat (volksschooltjes), dengan atau tanpa asrama, adalah cara terbaik untuk menjangkau kaum muda.
Hal ini dimulai oleh Eugenius van Disseldorp, Camillus Buil dan Theodoricus van Lanen di Sejiram pada tahun 1906/1907.
Mereka membangun sebuah gereja baru dan sebuah sekolah kecil, yang dimulai pada tanggal 1 Juli 1907 dengan tujuh belas murid.
Setelah awal yang sangat sulit, Sejiram mengalami kemajuan pesat pada tahun 1920-an, sebagian berkat hasil dari kebun karetnya sendiri, menjadi sebuah stasi model dengan fungsi sentral untuk seluruh kawasan Hulu Kapuas.
Pada 28 November 1906, gelombang kedua yang terdiri dari enam kapusin dari Belanda tiba di Singkawang bersama lima suster Fransiskanes dari Veghel (sekarang disebut SFIC).
Keenam saudara kapusin tersebut adalah Bruder Leopold Schellekens dari Riel, Pater Gonzalvus Buil dari Pannerden, Pater Liberatus Cluts dari Exel, Pater Marcellus Winnemuller dari Dodewaard, Pater Marius Zom dari Zevenbergen dan Bruder Ivo van Schijndel dari Volkel.
Prefek Bos memilih Liberatus sebagai pemimpin misi Borneo-Timur ditemani oleh Pater Camillus dan Bruder Ivo.
Dua Prefektur Mandiri
Hampir enam setengah tahun setelah provinsi kapusin Belanda di Borneo ditugaskan sebagai wilayah misi, tanggung jawab atas Sumatera juga diberikan.
Pada 30 Juni 1911, Sumatra menjadi prefektur apostolik yang terpisah, mengakhiri perdebatan tentang apakah Borneo dan Sumatra sebaiknya menjadi satu misi atau dua misi terpisah.
Prefek Apostolik Borneo Barat, Pacificus Bos, menginginkan satu misi untuk memanfaatkan dana dari pemerintah Belanda yang digunakan untuk mendukung beberapa pastor di Sumatera.
Namun, Propaganda Fide dan minister general kapusin Pater Carletti memilih dua prefektur mandiri. Setelah keputusan ini, provinsial Anastasius de Goeij berangkat ke Hindia Belanda pada 21 September 1911 untuk mengatur pelaksanaan praktis bersama dengan definitor Robertus Roos, Fidelis Tonus, Bavo van Gils, dan beberapa suster Fransiskan Veghel.
Di Pontianak, disepakati bahwa Prefek Bos mengirim lima saudara untuk misi baru dan mengusulkan Pater Liberatus Cluts sebagai prefek kepada Propaganda Fide dan diangkat sebagai prefek apostolik sumatera pada 24 Mei 1912.
13 juni 1912 ditetapkan sebagai awal misi Kapusin di Sumatera bersamaan dengan tibanya Liberatus Cluts sebagai prefek apostolik Sumatera yang bertakhta di Padang.
Setelah tiba di Padang pada 13 Juni 1912, Pater Liberatus memutuskan untuk mengikuti saran dari Uskup Luypen dan membagi sembilan saudara yang tersedia mulai akhir Agustus 1912 ke lima stasi (Padang, Kota Raja, Medan, Sungai Selan, Tanjung Sakti).
Ini termasuk empat misionaris dari Borneo dan lima pastor serta bruder yang baru tiba dari Belanda.
Setelah kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945, ketegangan dengan Belanda berlanjut, terutama mengenai Irian Jaya, hingga penyelesaian pada 1969.
Selama periode ini, pemerintah Indonesia menerapkan peraturan ketat bagi warga Belanda, yang mengakibatkan kesulitan bagi misionaris Belanda dalam melanjutkan misi mereka di Indonesia.
Untuk mengatasi kekurangan misionaris, Kuria General di Roma mengalihkan misionaris Belanda yang seharusnya pergi ke Indonesia ke Tanzania, dan misionaris Swiss menggantikan mereka di Kalimantan Barat.
Pada tahun 1957, tiga saudara kapusin dari Swiss: Pater Franz Xaver Brantschen, Pater Ewald Beck, dan Pater Rene Roschy dipilih untuk bermisi di Kalimantan Barat.
Mereka mempersiapkan diri melalui kursus misi di Friborg dan belajar bahasa Inggris di Irlandia. Setelah visa mereka disetujui, mereka tiba di Pontianak pada 1 November 1959, dan memulai pelayanan dengan mempelajari bahasa Indonesia dan melayani di berbagai lokasi.
Beberapa misionaris Swiss lainnya bergabung hingga tahun 1977, dengan total 14 saudara Kapusin terlibat dalam misi di Kalimantan Barat. (Samuel) – Bersambung…