NAGASAKI, Pena Katolik – Dalam pengeboman di Nagasaki, 9 Agustus 1945, dr. Takashi Nagai termasuk salah satu korbannya. Dalam keterpurukan, ia membantu para penyintas bom atom Nagasaki dan menghibur komunitas Katolik Jepang. Nagai awalnya seorang ateis, namun kemudian ia menjadi Katolik.
Nagai adalah seorang dokter medis pada peristiwa keji itu, ia kehilangan istrinya, Midori. Ledakan bom atom pada 9 Agustus 1945 di Nagasaki menjadi satu peristiwa kelam yang ia kenang hingga hayatnya berakhir.
Bom itu jatuh di daerah Urakami. Lokasi ini terdapat mayoritas warga beragama Katolik. Bom lalu menewaskan ribuan umat Katolik di kota itu dan puluhan ribu warga sipil Jepang lainnya. Konon, jumlah orang Katolik yang gugur pada pagi itu sama dengan 10 persen jumlah umat Katolik di seluruh Jepang.
Setelah pengeboman, Nagai bekerja keras untuk merawat para penyintas dan memahami kehancuran yang terjadi. Bertahun-tahun kemudian, ia terbaring di tempat tidur karena kanker yang tumbuh pada awal tahun 1945, beberapa bulan sebelum pengeboman. Meskipun menderita, ia terus menjalani hidup yang penuh kegembiraan, kerendahan hati, dan iman.
“Begitu bangun tidur, pikiran pertama yang muncul di benak saya setiap pagi adalah bahwa saya bahagia,” katanya dalam buku hariannya.
“Jantung seorang anak berdetak di dalam dada saya. Kehidupan di hari yang baru menanti saya.”
Rela Berkorban
Nagai memilih untuk berkorban dengan melepaskan (dari) segala sesuatu yang mati dan memberikan hidupnya hanya untuk apa yang tidak pernah mati.
Pekerjaan dokter tersebut sebagai penulis membantu menceritakan kisah para penyintas dan berupaya menempatkan pengeboman dalam konteks spiritual. Buku-buku dan tulisan-tulisannya yang lain menjadi buku terlaris, dan ia mendedikasikan dana tersebut untuk upaya rekonstruksi. Karya Nagai yang paling terkenal, “The Bells of Nagasaki,” dibuat menjadi film pada tahun 1951.
Ia meninggal pada tanggal 1 Mei 1951, dikagumi oleh masyarakat Nagasaki dan banyak tokoh terkemuka di seluruh dunia sebagai “orang suci Urakami.”
Nagai menghabiskan tahun-tahun terakhirnya tinggal di sebuah lubang kecil di tengah gurun atom. Dari tempat ini, ia menulis banyak buku dan esai, sebagian besar berpusat pada bom atom.
Saat ini, Nagai paling dikenang sebagai aktivis bom atom dan perdamaian yang tulisannya membantu negara yang telah hancur total oleh perang. Dominic Higgins, sutradara film tahun 2016 “All That Remains,” sebuah drama biografi tentang dokter Jepang itu, mengatakan, dalam hidup Nagai, ada kisah-kisah luar biasa untuk diceritakan.
Higgins menghabiskan sekitar lima tahun untuk membuat “All That Remains.” Dalam prosesnya, ia mewawancarai para penyintas pengeboman Nagasaki dan mempelajari lebih lanjut tentang agama Kristen Jepang.
Nagai memainkan peran penting dalam pemulihan Nagasaki.
Nagai mengajukan argumen bahwa pengeboman itu bukanlah hukuman. Dia telah kehilangan istrinya dan berusaha menemukan makna dalam kematian istrinya dan dalam penderitaan para penyintas yang hidup dengan trauma yang tak terukur.
Selama upacara pemakaman massal pada 23 November 1945 di reruntuhan katedral Nagasaki, Nagai menyampaikan pandangan ini “untuk membantu memahami trauma dan memulai pemulihan komunitas dan individu.”
Dokter tersebut menggambarkan pengeboman itu sebagai tindakan perang terakhir dan mengklaim bahwa pertempuran tidak terjadi setelahnya. Bagi Nagai, ini berarti ada hubungan yang mendalam antara kehancuran Urakami dan berakhirnya perang. (AES)