JAKARTA, Pena Katolik – Ada perdebatan cukup panas antara Harry Chan Silalahi dan Kardinal yang mengatur rencana protokol kunjungan Paus Paulus VI ke Indonesia pada 3 Desember 1970. Ada perbedaan antara rencana protokol yang disiapkan Pemerintah Indonesia dan yang disiapkan Vatikan. Dari pihak Indonesia menginginkan Paus adalah tamu negara, maka pemerintah menghendaki Paus dapat tinggal di penginapan yang disiapkan pemerintah. Namun, protokol Vatikan mengatakan, bahwa Paus akan tinggal di Kedutaan Besar Vatikan, rumah resmi Kepausan di Indonesia.
Perdebatan kedua menyangkut mobil yang akan membawa Paus selama kunjungannya di Indonesia. Vatikan menghendaki agar mereka dapat memakai mobil mereka sendiri. Saat itu, ada kebiasaan bahwa tamu negara akan dibawa semobil dengan Presiden Suharto. Pemerintah Indonesia ingin menyiapkan mobil khusus untuk Paus sebagai tanda penghormatan sebagai tamu.
Saking panasnya perdebatan ini, Kardinal yang mengatur protokol Vatikan, menyampaikan bahwa Paus bisa saja membatalkan perjalanannya ke Indonesia seandainya permintaan mereka tidak dituruti. Namun, mendengar “ancaman” dari Kardinal itu, Harry kemudian keras menegur. Ia mengingat, hal ini seperti dalam satu adegan dalam Kitab Suci.
“Itu tidak boleh diucapkan, karena Ini persis yang dibuat oleh Yesus waktu dia ngantuk dirubung anak-anak lantas murid-murid-Nya bilang ‘jangan repot-repot Sri Yesus baru tidur’,” ujar slah satu pendiri Centre for Strategic and International Studies (CSIS).
Setelah perdebatan keras ini, Harry menyerah. Ia memilih mengikuti protokol yang diminta dari Vatikan. Saat itu, Harry adalah Ketua Panitia Kunjungan Paus Paulus VI. Tugas Harry selanjutnya adalah melobi Pemerintah Indonesia agar mengikuti protokol dari Vatikan. Gayung bersambut, Presiden Suharto menyetujui permintaan itu.
Dimanfaatkan Secara Politik
Harry yang dikenal sebagai tokoh pemuda dan politik Katolik, karena perannya dalam Perhimpunan Mahasiswa Katolik Indonesia (PMKRI). Ia mengatakan, kengototan Kardinal dari Vatikan ini karena mereka takut bahwa kehadiran Paus dimanfaatkan secara politik. Ini bisa dipahami, karena ketika kunjungan ke Filipina sebelum ke Indonesia, kunjungan Paus di negeri Manny Pacquiao ini dimanfaatkan oleh Presiden Ferdinan Marcos yang saat itu pamornya sudah turun.
Namun, mendengar kekhawatiran dari Kardinal dari Vatikan, Harry tegas menjelasakan, bahwa situasi di Indonesia berbeda dengan yang ada di Filipina. Ia mengatakan, secara politik, kunjungan Paus ke Indonesia adalah murni kunungan seorang “bapak” kepada anak-anaknya, alias kunjungan Paus sebagai gembala kepada umat katolik di Indonesia.
“Di sini siapa yang mau menyalahgunakan Paus,” ujar Harry mengenang kata-kata yang ia ucapkan saat itu.
Saat kunjungan ke Filipina, nyatanya Paus sempat mendapat “percobaan pembunuhan”. Namun menurut Harry, peristiwa ini adalah sandiwara yang dirancang Marcos, di mana diatur agar Paus dicoba dibunuh, namun Marcos yang menyelamatkan.
“Paus mau dibunuh di Manila yang ditangkis oleh Marcos, ditangkap pembunuhnya. Ini sandiwara menurut saya, supaya pemilihan umum ia bisa bilang menyelamatkan Paus, karena dia sudah melorot secara politis,” ujar Harry.
Harry mengenang, tidak ada kekhawatiran dalam dirinya akan keselamatan Paus. Saat itu, Harry adalah teman dekat Brigjen Benny Moerdani yang saat itu sudah sangat disegani dan dipercaya untuk menjadi pengatur kemanan Presiden Suharto dalam berbagai kunjungan ke luar negeri.
Sempat ada kekhawatiran dari pihak keamanan Indonesia ketika merencanakan pengaturan keamanan dengan Kepala Korps Polisi Militer (CPM) yang saat itu bertanggung jawab dari segi keamanan. Saat itu akan dilaksanakan Misa di Stadion Utama Senayan, Jakarta. Namun Harry menjelaskan bahwa umat Katolik memiliki paroki. Pengaturan bisa dibuat untuk setiap paroki, yang umatnya sudah saling mengenal, sehingga mudah diatur. Ia juga menambahkan, untuk dukungan keuangan juga bisa melalui paroki ini.
“Saya kirim surat, selama di Indonesia Paus akan kami jaga sebaik-baiknya karena Paus sangat ‘welcome’ (diterima-red) di Indonesia,” kenang Harry.
Lilin dan Tacik-Tacik
Untuk urusan anggaran, Harry tidak khawatir. Ia mendapat dana awal sekitar 180 juta dari Presiden Suharto. Dana ini digunakan untuk membayar listrik di Stadion Utama Senayan. Namun, soal uang ini tidak menjadi soal yang besar, ada dukungan dari banyak pihak untuk mencukupi kebutuhan dana untuk kunjungan Paus di Indonesia ini.
“Uangnya ini persis saya bawa, namun pas untuk membayar listrik di stadion Utama Senayan,” ujar Harry.
Untuk urusan “minta uang” ini, Harry mendapat teguran dari Frans Seda yang saat itu merupakan Menteri Keuangan. Frans menegur mengapa tidak minta uang kepadanya.
“Mengapa kamu marah saya minta duit,” kenang Harry saat bicara dengan Frans.
Urusan keamanan dan keuangan selesai, masalah selanjutnya adalah lilin. Untuk mencukupi kebutuhan lilin untuk sekitar 100 ribu umat, saat itu bukan perkara mudah. Harry memutar otak, bagaimana cara mendapat uang ini. Agar semua lancar, Harry kemudian menemui Ibnu Sutowo. Kepada Direktur Utama Pertamina itu, Harry meminta untuk bisa mendapatkan lilin yang diproduksi Pertamina pada hari di mana Misa dengan Paus dilaksanakan.
Urusan ini lancar, Ibnu memerintahkan agar lilin yang diproduksi Pertamina menjelang diadakannya Misa dengan Paus, agar tidak dijual. Semua lilin itu akan diperuntukkan untuk kebutuhan Misa bersama Paus. Harry mengenang, dari penjualan lilin, panitia juga mendapat dana cukup besar untuk mendukung Misa bersama Paus ini.
Ketika Misa berlangsung, Paus menyalakan lilin besar yang kemudian dari lilin itu, seluruh umat menyalakan lilin yang mereka pegang. Ada suasana syahdu saat itu, ketika di tengah-tengah Misa, ada ribuan nyala lilin.
“Sri Paus sangat kagum, sembayang dia punya lampu dinyalakan, dan seluruh umat menyalakan lilin dari nyala lilin yang ia pegang,” kenang Harry. Kekaguman Paus ini disampaikan oleh pemimpin Gereja Katolik sedunia itu dalam sebuah sinode para uskup di Roma.
Ada satu cerita lagi tersisa, ketika Harry berjibaku mempersiapkan kunjungan Paus Paulus VI ke Indonesia. Bukan soal Gereja, juga bukan soal negara, tetapi soal tacik-tacik (ibu-ibu kaya) yang boleh jadi hanya candaan, menginginkan dapat memilik segala macam benda yang digunakan Paus Paulus VI ketika berada di Indonesia. Benda ini misalnya tempat tidur, piring, meja, kursi, sendok dll. Harry mengatakan, tacik-tacik itu berharap dapat mendapat “berkat” kalau bisa mendapat benda-benda yang “bekas” dipakai Paus.
“Tacik-tacik, Kasur yang dipakai Sri Paus nanti dia pakai buat tidur, klambunya gelasnya yang untuk minum Sri Paus,” kata Harry.
Rasa Syukur
Harry mensyukuri, dengan persiapan yang singkat, ia dapat menyiakan kedatangan Paus di Indonesia. Ia menegakui sebagai pribadi yang “progresif revolusioner” yang menjadi alasan mengapa ia yang dipilih untuk memimpin penyambutan Paus ini.
“Banyak di kalangan kami yang bicara kiri kanan, akhirnya saya yang ditunjuk, ‘biar Harry saja lah,” kenang Harry.
Bagi Harry, Paus Paulus VI adalah pribadi yang suci. Untuknya, pengalaman menjadi ketua panitia penyambutan kunjungan Paus Paulus VI. Baginya, kunjungan ini penting bagi Indonesia. Lewat kunjungan ini, Harry melihat Indonesia yang berhasil dilihat dunia. (Antonius E. Sugiyanto)