YERUSALEM, Pena Katolik – Pada tahun 1852, Sultan Ottoman Abdul Majid II mengeluarkan dekrit yang memerintahkan Gubernur Yerusalem dan dewannya, serta semua gereja, untuk tidak melakukan perubahan di tempat-tempat suci kota tersebut. Dekrit tersebut kemudian dikenal sebagai Status Quo.
Sejak keputusan itu, anggota komunitas Kristen yang mempunyai hak atas Basilika Makam Suci memulai hidup, merayakan, membersihkan, masuk, dan keluar sesuai dengan ritme kuno. Masa Prapaskah dan Paskah, biasanya merupakan saat-saat di mana ketepatan waktu dalam perayaan dan berbagai liturgi diatur dengan cermat di tempat-tempat suci seperti Makam Suci. Ini sangat penting untuk menghindari tumpang tindih yang tidak diinginkan.
“Apa yang diatur saat ini setidaknya berlangsung sejak tahun 1880-an,” kata Pastor Athanasius Macora, seorang biarawan Fransiskan asal Amerika Serikat, yang telah menjadi sekretaris Komisi Status Quo Penjagaan Tanah Suci selama lebih dari 25 tahun.
Apa yang dilakukan Status Quo?
Status Quo berkaitan dengan kepemilikan dan hak komunitas Katolik dan Kristen Ortodoks di tempat-tempat suci penting termasuk Basilika Makam Suci, Basilika Kelahiran di Betlehem, Kapel Kenaikan (yang dimiliki oleh umat Islam), dan Makam Perawan Maria di Yerusalem. Tempat-tempat suci non-Kristen yang diatur oleh Status Quo antara lain Makam Rahel di Betlehem dan Tembok Barat di Yerusalem.
“Setiap Gereja mempunyai komisi dan anggotanya masing-masing yang selalu diberi wewenang untuk bertemu bersama. Bagaimanapun, para pemimpin Gereja adalah orang-orang yang bertanggung jawab atas Status Quo,” jelas Pastor Macora.
Pastor Macora mengambil bagian dalam negosiasi di antara tiga Gereja Kristen yang bertanggung jawab atas Basilika Makam Suci yakni: Gereja Katolik (diwakili oleh Penjagaan Tanah Suci), Gereja Ortodoks Yunani, dan Gereja Apostolik Armenia.
Sebenarnya, ada lima komunitas yang dapat memanfaatkan ruang di basilika Makam Suci, antara lain komunitas Koptik dan Suriah, serta komunitas Etiopia, yang memiliki hak kepemilikan atas area atap dan kapel. Namun hanya umat Katolik, Ortodoks Yunani, dan Armenia yang berhak mengambil keputusan terkait perbaikan dan perubahan basilika.
“Mandat Ottoman bukanlah sebuah aturan hukum, peraturan, seperti yang diyakini banyak orang, namun sebuah dekrit yang memaksakan kepada kita bahwa kita tidak dapat melakukan perubahan apa pun,” kata Pastor Macora kepada CNA.
Bertahun-tahun yang lalu, Pastor Macora mengenang, ada masalah mengenai komunitas mana yang bertanggung jawab untuk mengumpulkan kembali lilin nazar dari penyangga besi yang ditempatkan di sekitar edicule, yang berisi makam Yesus pada penghujung hari. Hal ini tidak disebutkan dalam [keputusan]. Masalah tersebut akhirnya teratasi dengan dilepasnya penyangga besi untuk pekerjaan restorasi edicule pada tahun 2016-2017.
“Tangga itu milik orang-orang Armenia dan menunjukkan bahwa area fasad ini adalah milik mereka, meskipun alasan mengapa tangga itu ada sudah hilang dalam sejarah,” kata Pastor Macora.
“Saya rasa, orang-orang tidak tahu mengapa hal itu ada di sana saat ini. Untuk memindahkannya, orang-orang Armenia harus menyetujuinya. Anda bisa melakukan perubahan jika ada kesepakatan di antara ketiga komunitas Gereja itu,” ujar Pastor Macora.
Untuk setiap perubahan kecil atau kejadian tak terduga, ketiga komunitas tersebut tidak hanya harus melihat ke masa lalu (keputusan dan tradisi lama), namun mereka “wajib” terlibat dalam dialog untuk mencari solusi dan kesepakatan untuk melangkah maju. Contohnya adalah berbagai pekerjaan restorasi struktural yang berdampak pada Basilika Makam Suci dalam beberapa dekade terakhir, termasuk pekerjaan yang sedang berlangsung yang melibatkan seluruh lantai basilika.
Selama 25 tahun pengabdiannya, Pastor Macora telah mengalami pasang surut hubungan antara tiga komunitas yang bertanggung jawab atas Basilika Makam Suci dan juga dengan komunitas Ortodoks lainnya yang memiliki ruang dan momen liturgi sendiri.
“Umumnya setiap komunitas menuntut hak-haknya, jadi terkadang hubungan menjadi rumit, dan beberapa permasalahan muncul seiring berjalannya waktu,” tambahnya.
Pastor Macora pernah mengalami momen-momen yang sangat sulit, seperti “pengepungan Basilika Kelahiran Yesus” dan kejadian aneh lainnya.
“Situasi yang paling aneh adalah upaya memulihkan toilet di Basilika Makam Suci karena salah satu komunitas mencoba menggunakannya sebagai alat untuk melakukan hal lain yang mereka inginkan, ‘semacam pemerasan’.”
Salah satu yang diingat Pastor Macora yang paling berkesan adalah kunjungan Paus Yohanes Paulus II.
“Kami harus melakukan beberapa hal khusus, seperti menutup gereja sepenuhnya, mengizinkan orang masuk hanya dengan izin atau tiket khusus, dan saat itu pengamanannya sangat ketat. Selain itu, pada hari Minggu, komunitas lain juga mengadakan liturgi. Hal ini tidak mudah, namun masyarakat sangat kooperatif.”