MEMPAWAH, Pena Katolik | Jumat, 02 Agustus 2024 – Setelah berminggu-minggu bergelut dengan rutinitas kampus yang padat, aroma tanah basah dan udara segar di kampung halaman terasa seperti oase yang menenangkan.
Setibanya di rumah, saya disambut hangat oleh orang tua, yang senyumannya sehangat matahari pagi.
Pagi hari di kampung dimulai dengan suara ayam berkokok dan embun yang masih melekat di dedaunan.
Setelah sarapan sederhana tapi lezat, saya mengambil waktu sejenak untuk membaca Alkitab di bawah pohon rindang di halaman belakang.
Salah satu ayat favorit saya, Mazmur 23:1, “Tuhan adalah gembalaku, takkan kekurangan aku,” mengingatkan saya akan kedamaian dan pemeliharaan Tuhan dalam setiap aspek kehidupan.
Ayat ini memberikan ketenangan di tengah-tengah hiruk-pikuk rutinitas sehari-hari.
Kebun sawit dan jalan setapak
Setelah itu, saya membantu orang tua pergi ke kebun sawit.
Kami berjalan bersama melewati jalan setapak yang mengarah ke kebun, mendengarkan suara burung berkicau, dan merasakan sentuhan angin yang lembut.
Panen sawit menjadi kegiatan yang menyenangkan. Setiap buah sawit yang jatuh ke dalam keranjang terasa seperti hasil kerja keras yang memuaskan.
Saya dan ayah bergantian mengangkat tandan sawit yang berat ke dalam gerobak, sementara ibu menyiapkan makanan ringan untuk kami nikmati di sela-sela pekerjaan.
Setiap kali saya merasa lelah, saya mengingat ayat yang saya baca tadi pagi, dan itu memberikan saya kekuatan baru.
Sinar matahari
Setelah itu, saya membantu menjemur padi. Sinar matahari yang terik membuat butiran padi berkilauan, hampir seperti permata.
Saya menyebarkan padi di atas tikar, meratakannya dengan rapi, dan sesekali mengusir ayam-ayam yang mencoba mencuri beberapa butir.
Dalam kesederhanaan ini, saya menemukan kebahagiaan yang tulus. Ada sesuatu yang sangat memuaskan saat melihat butiran padi mengering dengan sempurna di bawah sinar matahari.
Selama menjemur padi, saya berbincang dengan ibu tentang kenangan masa kecil dan cerita-cerita dari nenek moyang kami, yang menambah rasa syukur saya atas warisan yang kami miliki.
Angin dan hembusannya
Sore harinya, saya mengajak ayah untuk pergi memancing di sungai dekat rumah. Dengan peralatan sederhana, kami duduk di tepi sungai, melemparkan kail, dan menunggu ikan datang.
Suara gemericik air dan angin yang berhembus pelan membuat suasana menjadi sangat damai.
Kami berbicara tentang banyak hal, dari masa kecil saya hingga harapan dan mimpi di masa depan. Tiba-tiba, saya merasakan tarikan kuat di ujung kail.
Dengan sedikit usaha, saya berhasil menangkap ikan yang cukup besar. Wajah ayah berseri-seri, bangga melihat keberhasilan saya.
Kegiatan memancing ini juga mengajarkan saya tentang kesabaran dan ketekunan, dua hal yang sangat berharga dalam kehidupan.
Di malam hari, ibu memasak ikan hasil tangkapan kami. Aroma sedap menyebar ke seluruh rumah, mengundang perut kami yang lapar.
Kami makan malam bersama di meja makan yang sederhana, tapi penuh kehangatan. Setiap suapan makanan membawa kenangan manis dan rasa syukur.
Selama makan malam, kami membicarakan rencana-rencana untuk hari-hari berikutnya dan mengenang kembali momen-momen indah yang telah kami lalui bersama.
Setelah makan malam, kami duduk di beranda rumah sambil menikmati teh hangat dan kue tradisional.
Bintang-bintang berkelap-kelip di langit malam, memberikan pemandangan yang tak bisa ditemukan di kota.
Kami berbincang hingga larut malam, menikmati kebersamaan yang jarang terjadi.
Ayah bercerita tentang masa mudanya, sementara ibu mengingatkan saya tentang pentingnya selalu bersyukur dan mengandalkan Tuhan dalam segala hal.
Tak ternilai
Liburan kali ini mungkin tidak diisi dengan perjalanan jauh atau aktivitas glamor, tapi bagi saya, membantu orang tua di kebun, menjemur padi, memancing ikan, dan sekadar menghabiskan waktu bersama keluarga adalah pengalaman yang tak ternilai.
Ketenangan dan kebahagiaan yang saya rasakan di kampung akan selalu menjadi pengingat akan akar dan nilai-nilai yang saya bawa ke mana pun pergi.
Di tengah kesibukan dan hiruk-pikuk kampus, kenangan manis ini akan selalu menjadi pelipur lara dan sumber inspirasi.
Saya bersyukur atas kesempatan untuk merasakan kasih sayang dan kehangatan keluarga, serta menguatkan iman saya di setiap langkah perjalanan hidup.
By. Bertnego Balarama, Mahasiswa Pendidikan Bahasa Inggris San Agustin.