JAKARTA, Pena Katolik – Keputusan Romo Frans Magnis Suseno SJ untuk menjadi saksi ahli di Mahkamah Konstitusi menghasilkan kritikan dan bahkan bully-an dari pelbagai kalangan, mesi tak kalah juga banyaknya yang mengapresiasi. Namun, kecintaan Romo Magnis kepada Indonesia tak bisa diragukan. Sebagai seorang filsuf dan ahli Etika di Indonesia, tugas Romo Magnis adalah menyampaikan kritik pada praktik politik yang salah.
Tugas ini, telah dijalankan Romo Magnis dengan sangat baik selama ia tinggal di Indonesia dna akhirnya menjadi warga negara Indonesia. Dalam satu kesempatan, ia pernah ditanya bagaimana perasaannya menjadi warga negara Indonesia? Romo magnis menjawab, ia bahagia dan mencintai Indonesia.
Siapa Romo Magnis?
Enam puluh tiga tahun lalu, pada 29 Januari 1961 sebuah pesawat terbang mendarat di Bandara Kemayoran, Jakarta. Ketika pintunya dibuka, tampak seorang pemuda bule dengan postur tubuh tinggi keluar lalu turun. Rambutnya pirang. Dia adalah sosok yang kemudian dikenal sebagai Romo Frans Magnis-Suseno SJ.
Hari itu adalah hari pertama ia datang dan mengawali karyanya di Indonesia. Tanggal 29 Januari lalu ia genap enam puluh tiga tahun berkarya di Indonesia. Ya, ia berkarya sebagai seorang imam Katolik, ahli Filsafat, etika politik dan etika Jawa.
Selama enam puluh tiga tahun, penyandang nama asli Franz Graf von Magnis dan anak sulung dari lima bersaudara ini mengaku menikmati hidup di Indonesia. Ia mengalami hidup dalam era tujuh presiden. “Selama hidup saya di Indonesia, banyak sekali peristiwa yang terjadi. Saya datang saat Presiden Soekarno berada pada puncak kekuasaannya,” ungkap imam Katolik kelahiran 26 Mei 1936 ini ketika dijumpai di ruang kerjanya di kampus Pasca Sarjana STF Driyarkara, Jakarta beberapa waktu lalu.
Sejak pertama kali menginjakkan kakinya, Romo Magnis mendapat kesan yang baik tentang Indonesia. Ia merasa diterima dengan baik, dan karenanya ia kerasan. “Saya mendapat kesan baik dengan Pulau Jawa di mana saya mendarat. Saya cukup cepat yakin bahwa saya akan kerasan di Indonesia. Dan pengalaman itu tidak pernah terancam oleh pengalaman lain sampai hari ini,” jelasnya.
Sesampai di Indonesia, ia langsung menuju Ungaran, Jateng. Di sana ia mendapat kesempatan belajar bahasa Jawa selama 13 bulan dan bahasa Indonesia selama lima bulan. Ia menggunakan kesempatan ini dengan baik. Selain berinteraksi dengan teman komunitasnya, ia berhubungan langsung dengan masyarakat. Tidak jarang orang terkagum-kagum melihat ketekunannya, khususnya ketika ia mempelajari bahasa Jawa. Selama empat bulan ia tinggal di desa di Kulon Progo untuk belajar langsung dari masyarakat.
Dari ketekunan inilah kemudian Romo Magnis fasih berbahasa Jawa dan kemudian terkenal sebagai ahli etika Jawa, bahkan menghasilkan beberapa buku tentang etika Jawa. Dalam upayanya belajar bahasa dan kebudayaan Jawa, ia menyebut nama Romo Kuntoro SJ dan Mgr. Leo Soekoto sebagai orang-orang yang banyak membantunya. Selain itu ia banyak membaca buku tentang kebudayaan Jawa.
Mendirikan STF Driyarkara
Pada tahun 1969, meski masih sangat muda Romo Magnis muda, sudah dipercaya ikut mendirikan STF Driyarkara. Dari sini dia berkenalan dengan banyak orang Indonesia seperti Fuad Hasan yang menjadi dosen pertama STF Driyarkara.
“Sampai dia meninggal tentu saja saya sangat dekat dengan beliau,” kenang Romo Magnis.
Tahun 1973 dia bertemu dengan Cak Nur yang masih muda. “Saya minta Cak Nur mengajar Islamologi. Dari situ terbangun hubungan yang sangat erat dan kritis di antara kami,” ungkap pria kelahiran Eckersdorf, Silesia, Kabupaten Glatz, Jerman ini singkat.
“Dan yang paling berarti adalah Gus Dur. Saya mengenal Abdurachman Wahid muda pada tahun 70-an, lalu sering ketemu sama-sama di Forum Demokrasi. Gus Dur kadang-kadang orang yang nganeh-anehi. Setiap kali bertemu, saya merasa diperkaya. Dari Gus Dur saya belajar mengenai wawasan, kemanusiaan,” jelas pria yang resmi menjadi WNI sejak 1977 ini.
Romo Magnis mengaku banyak belajar tentang Islam dari Gus Dur dan Cak Nur. ”Jadi pandangan saya tentang Islam tidak ditentukan oleh sedikit studi yang saya lakukan, tapi oleh perjumpaan saya dengan banyak orang termasuk Gus Dur, Cak Nur dan Pak Syafii Maarif,” jelas guru besar Filsafat pada STF Driyarkara ini.
Dalam berbagai perjumpaan dengan banyak orang, Romo Magnis mengalami pandangan-pandangannya tentang banyak hal selalu dihormati meskipun ia tidak selalu sependapat dengan mitra-mitra diskusinya. Karena perjumpaan-perjumpaan itu, Romo Magnis pernah beberapa kali diminta menjadi saksi ahli dalam perkara mahasiswa yang dicap komunis oleh Orde Baru karena aksi mereka menentang SDSB. Mereka antara lain berasal dari Partai Rakyat Demokrat.
Oleh karena keahliannya pula, Romo yang pada masa mudanya gemar naik gunung menjadi saksi ahli untuk Barada E dengan kasus yang sangat terkenal itu.
Sebagai sekolah tinggi, STF Driyarkara memang bukan yang paling pertama menjadi lembaga pendidikan untuk mendalami filsafat di tanah air. Namun, STF Driyarkara menjadi institusi pendidikan pertama yang secara khusus menjadi tempat pendidikan Ilmu Filsafat di Indonesia. Di tempat ini, filsafat yang didalami bukan saja Filsafat Barat, namun juga Filsafat Timur, Filsafat Islam, dan Filsafat khas Indonesia. (Eman Dapa Loka)
*Tulisan ini merupakan bagian kedua dari tulisan berjudul “Romo Prof Dr Franz Magnis-Suseno SJ, Podium Mahkamah Konstitusi dan Enam Puluh Tiga Tahun Mengindonesia” yang sebelumnya terbit di www.tempusdei.id. Tulisan ini diterbitkan ulang dengan izin dari www.tempusdei.id dengan sedikit penambahan.