KAIRO, Pena Katolik | Senin, 29 Juli 2024 – “Rusia-Ukraina, Palestina-Israel, yang sampai saat ini tak kunjung menemukan titik temu, menjadi hal yang memilukan.
Atau beberapa kasus persekusi terhadap agama minoritas seperti yang terjadi di Tangerang akhir-akhir ini, masih menyisakan PR bagi kita untuk bisa hidup berdampingan dengan perbedaan keyakinan yang ada.
Konflik antar ras seperti di Amerika antara orang berkulit hitam dan putih yang akarnya masih tetap ada hingga sekarang.”
Itu tulisan dari Muhammad Yusmi Ridho, Mahasiswa di Universitas Al-Azhar Mesir yang terbit di ibtimes.id dengan judul, “Saya Islam dan Saya Dominikan” pada 25/07/2024 baru-baru ini.
Menurutnya, konflik yang terjadi sungguh sangat menjauhkan manusia dari nilai esensial yang ada dalam dirinya sendiri, karena manusia yang seharusnya dapat menjaga hak dan nilai tersebut justru masih menjadi pelaku atas konflik yang ada karena ego sectoral, ego kelompok dan ego golongan masing-masing.
Dia juga mengutib bahwa ribuan tahun lalu ada seorang filsuf yunani bernama Diagones yang menawarkan sebuah pandangan hidup yang melihat dunia dengan kacamata lebih luas, sebuah pandangan kosmosentris yang menolak anggapan bahwa kita berasal dari kota tertentu.
Dia di tanya dari mana sejatinya ia berasal? Lalu Diagones menjawab dengan lugas bahwa dirinya merupakan “Warga Dunia”, dari jawaban itu kita bisa belajar bahwa sejatinya kita harus memaknai hidup ini dengan kacamata lebih luas, alih-alih mempersempitnya dengan label-label yang erat kaitannya dengan ego kelompok, golongan atau sektor.
Melalui kesadaran bahwa manusia berasal dari tempat yang sama yaitu dunia, akan memberikan implikasi bahwa kita sebetulnya merupakan anak kandung dari dunia yang kita tinggali saat ini, maka dengan itulah sikap kemanusiaan, persaudaraan antar manusia akan benar-benar terwujud.
“Ide hidup berdampingan dengan melepas label dengan menyisakan fakta bahwa saya manusia, kamu manusia dan kita manusia, saya kira perlu terus digalakkan untuk meredam kejadian yang mencederai nilai kemanusiaan. Hal itu yang saya lihat terus digalakkan sebagai wacana dan tindakan di lembaga IDEO Kairo ini,” tulisnya (25/07).
Saya Muslim dan saya Dominikan
Berangkat dari kasus yang sama dengan yang dirasakan oleh mbak Lili, Muhammad Yusmi Ridho sebagai orang Islam Muhammadiyah merasa sangat dihargai dan jauh dari sikap-sikap diskirminasi atau bahkan ada upaya kristenisasi.
Justru dengan fasilitas yang ada di lembaga tersebut, dia semakin semangat untuk belajar dan menelaah beberapa buku di sana.
“Alih-alih saya dipaksa untuk masuk agama Katolik, saya justru merasa semakin meyakini keimanan saya dengan fasilitas yang disediakan perpustakaan untuk membaca dan mempelajari agama saya sendiri,” katanya dalam tulisan itu, (25/07).
Di tengah berbagai konflik dan perpecahan yang kerap mewarnai berita dunia, contoh kecil namun berharga mengenai toleransi dan penghormatan antar umat beragama muncul dari dua lokasi yang berbeda namun saling terhubung: Universitas Muhammadiyah Surakarta dan lembaga penelitian IDEO Kairo milik Ordo Dominikan Katolik.
Tulisan ini dia rangkai karena terinspirasi dari artikel IBTimes berjudul “Saya Kristen, dan Saya Muhammadiyah”, yang mengisahkan seorang mahasiswi Kristen bernama Lili di Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS), (25/07).
Lili, meski merupakan minoritas di kampus yang berafiliasi dengan Muhammadiyah, merasakan suasana inklusif dan penghargaan terhadap hak-haknya sebagai mahasiswa.
Menurut Lili, ia tidak mengalami diskriminasi, dan semua hak sebagai mahasiswa diperolehnya tanpa adanya pembedaan.
Pengalaman serupa juga dirasakan oleh Muhammad Yusmi Ridho, Mahasiswa di Universitas Al-Azhar, Mesir yang terbit di ibtimes.id dengan judul, “Saya Islam dan Saya Dominikan”, saat mengikuti pelatihan di IDEO Kairo, lembaga penelitian yang didirikan oleh Ordo Dominikan Katolik, (25/07).
Selama sebulan mengikuti pelatihan bertema “Agama dan Ilmu Kemanusiaan”, Muhammad Yusmi Ridho merasa dihargai dan diterima tanpa adanya diskriminasi.
Bahkan, suasana yang tercipta di lembaga ini penuh dengan sikap saling menghormati dan toleransi, baik antara penyelenggara maupun peserta pelatihan.
IDEO Kairo memang mengusung wacana dialog antar agama sebagai salah satu fokus utamanya.
Lembaga ini terbuka bagi semua orang tanpa memandang latar belakang agama atau etnis, dan memberikan fasilitas serta pelayanan yang sangat baik kepada semua peserta.
Selama pelatihan, Muhammad Yusmi Ridho tidak merasakan adanya perbedaan perlakuan, meskipun ia adalah seorang Muslim Asia di antara peserta lain yang kebanyakan adalah orang Arab beragama Kristen dan Islam.
Fenomena ini menggarisbawahi pentingnya penerapan sikap kemanusiaan yang mendalam di tengah dunia yang kian mendegradasi nilai-nilai kemanusiaan.
Konflik global seperti ketegangan Rusia-Ukraina, Palestina-Israel, dan kasus persekusi agama minoritas seperti yang terjadi di Tangerang menjadi pengingat bahwa kita masih jauh dari pencapaian toleransi sejati.
Begitu pula dengan konflik rasial di Amerika Serikat yang menunjukkan bahwa masalah ini masih menyisakan pekerjaan rumah yang besar.
Filsuf Yunani kuno, Diogenes, pernah menyatakan bahwa ia adalah “Warga Dunia” ketika ditanya dari mana asalnya. Pandangan kosmosentris ini mengajak kita untuk melihat dunia dari perspektif yang lebih luas, melampaui batas-batas label yang seringkali mempersempit pandangan kita tentang kemanusiaan.
Pengalaman di IDEO Kairo, seperti yang diungkapkan penulis, menunjukkan bahwa melalui sikap terbuka dan komunikasi yang baik, kita dapat memupuk persaudaraan dan saling menghormati.
Dengan memanfaatkan fasilitas perpustakaan yang menyediakan literatur dari berbagai bahasa dan mengadakan seminar bersama, penulis merasakan betapa pentingnya dialog dan kerjasama dalam menjaga nilai-nilai dasar kemanusiaan.
Harapan dari pengalaman ini adalah agar kita terus menggalakkan komunikasi dan kerjasama yang baik antar sesama manusia.
Melalui kesadaran akan kesamaan kita sebagai bagian dari dunia yang sama, diharapkan tidak ada lagi persekusi atau konflik yang mengganggu keharmonisan hidup kita.
Dengan semangat ini, mari kita upayakan kehidupan yang lebih akur dan rukun sebagai warga dunia, tanpa terjebak pada label-label yang membatasi kemanusiaan kita. (Sam – berdasarkan Muhammad Yusmi Ridho dalam ibtimes).