Senin, November 18, 2024
26.1 C
Jakarta

Logu Senhor, Salib dan Lilin Duka

Perarakan Logu Senhor. IST

SIKKA, Pena Katolik – Di samping Gereja St Ignatius Loyola Sikka, terdapat sebuah kapel yang oleh umat disebut Kapela Senhor. Di tempat inilah disimpan Salib Senhor. Yaitu salib yang digunakan untuk Prosesi Logu Senhor ini.

Tidak sembarang orang bisa masuk ke dalam Kapela Senhor. Hanya umat yang masih turunan Darabogar, yang disebut-sebut sebagai pengawal raja, yang dari waktu ke waktu diberi kepercayaan untuk “menjaga” Salib Senhor dan masuk ke kapel ini. Dahulu sebelum selesai dibangun Kapela Senhor pada 1997, Salib Yesus sepanjang sekitar 75 cm itu disimpan di sakristi.

Ketika Jumat Agung tiba, Salib Senhor dikeluarkan dari kapel untuk digunakan dalam Prosesi Logu Senhor. Umat yang masih turunan Darabogar bertugas mengeluarkan salib ini, mereka juga yang nanti menjadi petugas pemanggul tandu saat prosesi. Begitulah gambaran Prosesi Logu Senhor, tradisi yang sudah ada sejak ratusan tahun lalu.

Gereja St Ignatius Loyola Sikka

Tradisi Ratusan Tahun

Prosesi Logu Shenhor sudah ada di Kampung Sikka seiring dengan masa-masa awal masuknya kekatolikan di Flores. Dari cerita turun-temurun diketahui Salib Senhor merupakan peninggalan bangsa Portugis sejak abad ke-16, tepatnya pada tahun 1607. Tokoh masyarakat Kampung Sikka, Gregorius Tamela mengisahkan,

Sekitar tahun 1600, Raja Sikka, Don Alexius Ximenes da Silva, atau yang biasa disebut Don Alesu/Mong Lesu, membawa salib itu dari Portugis. Mong Lesu adalah putra dari Moang Baga Ngang. Meski memiliki tiga anak, namun Mong Lesu lebih unggul dalam hal wawsan dan kehidupan dibanding kedua saudaranya yang lain yaitu, Moang Korung, dan Moang Keu.

Satu syair dalam Bahasa Sikka menjadi pegangan hidup Mong Lesu yang dikenal sampai hario ini. “Niang ei Beta Mate Tanah ei Herong Potat Mate Due Rate Rua Potat Due Leda Telu. Blutuk Niu Nurak di Mate Blupur Odo Korak di Potat Teri di Mate Era di Potat”.

Syair tersebut mengungkap bahwa dunia ini tidak kekal abadi. Setiap ada kehidupan pasti ada kematian. Kematian tidak dibatasi umur. Yang bayi pun mati, yang tua renta pun mati. Kapan saja kematian itu pasti ada.

Saat Moang Lesu memikirkan dan mencari. Ia memikirkan dunia yang tidak ada penderitaan dan kematian. Ia lalu mengembara mencari tanah tersebut yang dalam bahasa Sikka disebut sebagai “Tanah Moret”. Ia keluar dari Sikka menuju wilayah utara tepatnya di Pelabuhan Waidoko Maumere. Pelabuhan ini sudah menjadi tempat persinggahan atau berlabuhnya kapal-kapal dagang dari Bugis, Buton, Makassar, Bonerate, dan Portugis dari tanah Malaka.

Di pelabuhan Waidoko, Moang Lesu bertemu dengan seorang anak buah kapal dagang Portugis yang bernama Dzogo Worilla. Moang Lesu diajak untuk bersama-sama berlayar menuju tanah Malaka bersama Dzogo Worila. Ketika Moang Lesu sampai di Malaka, ia bertemu dengan Gubernur Malaka dan menyampaikan maksud kedatangannya yaitu mencari “Tanah Moret”.

Gubernur Malaka itu menyampaikan kepada Moang Lesu bahwa ada kehidupan yang bahagia dan kekal. Untuk mendapatkannya, ia harus mengikuti persyaratan-persyaratan yakni membangun gereja. Syarat itu lalu disetujui Moang Lesu. Ia lalu mengikuti pelajaran Agama Katolik, pelajaran ilmu politik, dan pemerintahan selama tiga tahun.

Moang Lesu kemudian dibaptis dengan nama Don Alexius Ximenes da Silva dan dilantik menjadi Raja Sikka oleh Gubernur Tanah Malaka. Setelah tiga tahun ia memutuskan untuk kembali ke Sikka.

Prosesi Logu Senhor. IST

Pulang

Ketika tiba saatnya pulang, Moang Lesu memberi Gubernur Malaka sejumlah emas dan wewangian khas Sikka, yang disebut “ambar menik” ‘muntahan ikan paus’. Moang Lesu juga mendapat hadiah dari Gubernur Malaka berupa sebuah salib. Salib inilah yang ia bawa pulang dan kini disebut Salib Senhor.

Selain itu, Moang Lesu juga mendapat Patung Meninung (Patung Kanak-kanak Yesus sebagai Raja), Tugur Griang (panji yang bergambar orang kudus), Regalia kerajaan, dan sejumlah batang gading berukuran besar dan sedang. Ketika pulang ke Sikka, Moang Lesu didampingi seorang guru agama berkebangsaan Portugis bernama Agustino Morenho.

Tiba di Sikka, Agustino menyelenggarakan upacara pengukuhan Moyang Lesu menjadi Raja Sikka. Ia juga mulai mengajar iman Katolik. Pelajaran itu dimulai dari keluarga Raja Sikka. Ia pun mulai kegiatan ibadah bersama masyarakat di sana. Ketika paskah tiba, ia memimpin Liturgi Logu Senhor pada hari raya Jumat Agung. Selanjutnya, tradisi ini dalam bahasa Sikka disebut “Sexta Vera”.

Salib dan Lilin

Seperti katekese Agustino di awal kedatangannya di Sikka, istilah Logu Senhor berarti berjalan di bawah usungan Salib Senhor sambil membawa lilin. Umat ketika melewati bawah salib ini, mereka menyampaikan doa dan keinginan dalam hati. Para peserta Logu Senhor memberikan kesaksian iman, bahwa dengan mengikuti upacara ini, Tuhan mengabulkan doa dan permohonan mereka.

Saat prosesi berlangsung, Salib Senhor diletakkan di atas sebuah tandu akan diusung empat petugas. Selama prosesi, Salib Senhor juga diarak dengan melewati tiga Irmida (perhentian). Irmida I Yesus Dihukum Mati yang berlokasi di halaman depan Kantor Desa Sikka. Irmida II Simon dari Kirene Dipaksa Memikul Salib Yesus yang berlokasi di halaman Lepo Gete. Irmida III Yesus Wafat di Salib yang berlokasi di halaman depan Pastoran Paroki Sikka.

Selama mengikuti prosesi, para peserta akan mengenakan pakaian serba hitam sebagai simbol berkabung. Romo Albertus Novena SVD menyampaikan, Logu Senhor adalah tradisi memperingati kisah sengsara Tuhan Yesus Kristus yang biasa dilakukan menjelang Hari Raya Paskah. yakni pada Jumat Agung. Logu Senhor berarti ‘merunduk di bawah salib’. Dengan tunduk, berarti orang percaya Kristus sumber kehidupan manusia. Dia adalah jalan yang paling benar untuk kembali ketika kita jatuh dalam berbagai permasalahan hidup.

Romo Albertus mengatakan, saat manusia tak berdaya dan dilanda masalah, manusia harus sadar bahwa Tuhan lebih dahulu mencintai manusia. Pribadi yang tergantung di kayu salib yang diprosesikan dalam tradisi Logu Senhor adalah pribadi yang akan menyelamatkan manusia.

Harus diakui bahwa tradisi dan perkembangan gereja di Kabupaten Sikka tidak lepas dari orang-orang Portugis. Prosesi Logu Senhor merupakan tradisi peninggalan bangsa Portugis. Untuk itu harus diakui, perkembangan Gereja di Keuskupan Maumere tidak lepas dari peran bangsa Portugis.

Masyarakat Kampung Sikka meyakini bahwa tradisi Logu Senhor adalah sebuah penghayatan yang wajib dilakukan dengan sungguh-sungguh bukan sekadar hura-hura. Dengan tunduk di bawah Logu Senhor, maka segala perhatian, keluh kesah dan semua permasalahan akan dilebur dalam Salib Kristus.

“Beban hati karena tidak mendapat keturunan, keluarga broken home dan belum mendapatkan jodoh adalah beberapa contoh dari intensi khusus umat ketika merunduk di bawah salib. Umat meyakini bahwa segala in tensi yang mereka bawa kebawah Senhor akan terkabul,” ujar Romo Albertus.

Komentar

Tinggalkan Pesan

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Terhubung ke Media Sosial Kami

45,030FansSuka
0PengikutMengikuti
75PengikutMengikuti
0PelangganBerlangganan

Terkini